Sabtu, Juni 02, 2012

Guru profesional di Indonesia, Mungkinkah?

GURU PROFESIONAL DI INDONESIA, MUNGKINKAH?
Prawacana 
Guru (dalam bahasa Jawa) adalah seorang yang harus digugu dan harus ditiru oleh semua muridnya. Harus digugu artinya segala sesuatu yang disampaikan olehnya senantiasa dipercaya dan diyakini sebagai kebenaran oleh semua murid. Segala ilmu pengetahuan yang datangnya dari sang guru dijadikan sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu dibuktikan atu diteliti lagi. Seorang guru juga harus ditiru artinya seorang guru menjadi suri tauladan bagi semua muridnya. Mulai dari cara berpikirnya, cara bicaranya, dan cara berperilaku sehari-hari. Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru seorang dengan sendirinya memiliki peran yang luar biasa dominannya bagi murid.
Dalam sebuah proses pendidikan guru merupakan salah satu komponen yang sangat penting, selian komponen lainnya seperti tujuan, kurikulum, metode, sarana dan prasarana, lingkungan, dan evaluasi. Dianggap sebagai komponen yang paling penting karena yang mampu memahamai, mendalami, melaksanakan dan akhirnya mencapai tujuan pendidikan adalah guru. Guru juga yang berperan penting dalam kaitannya dengan kurikulum, karena gurulah yang seara langsung berhubungan dengan murid. Demikian guru berperan penting dalam hal sarana, lingkungan, dan evaluasi karena seorang guru lah yang mampu memanfaatkannya sebagai media pendidikan secara langsung bagi muridnya. Dari sini diskursus tentang guru menjadi sangat relevan, apalagi bila dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia yang lagi mengalami krisis multidimensional.
Guru dianggap oleh sebagian besar pe ngamat pendidikan sebagai yang bertanggung jawab besar terhadap kegalalan pendidikan nasional yang ternyata hanya mampu menghasilkan alumni yang korup, suka bertengkar, dan mata duitan. Trilogi Hubungan Guru dan Murid: Pengalaman di Indonesia Dalam sejarahnya guru senantiasa memiliki hubungan yang khas dengan muridnya. Hubungan tersebut dapat dikategorikan ke dalam tiga bentuk yaitu hubungan instruksional, hubungan emosional dan hubungan spiritual. Ketiga bentuk hubungan antara guru dan murid ini mempunyai implikasi yang berbeda antara satu dengan yang lain. Hubungan tersebut ada yang bersifat abadi, temporal, dan hanya sekejap saja dalam rentang waktunya. Masing-masing bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan yang secara inheren ada di dalamnya. Hubungan instruksional adalah hubungan antara guru dan murid yang lebih bersifat teknis.
Dalam hubungan yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, antara guru dan murid terjadi interaksi yang bersifat mekanis. Guru memberikan beberapa instruksi kepada murid untuk melakukan suatu pekerjaan yang telah disusun secara rapi dan sistematis. Pemberian instruksi tersebut sifatnya monologis dimana guru menjadi lebih dominan. Kedua, antara guru dan murid terjadi interaksi yang bersifat kognitif-intelektual. Artinya guru menyampaikan pengetahuan dan memberikan instruksi kepada muridnya tentang segala sesuatu yang bernuansa pengetahuan intelektual. Pada dataran ini murid seperti botol yang masih kosong yang harus diisi oleh sang guru. Sebaliknya guru bagaikan sebuah bank yang memberikan atau mengcurkan kredit sebanyak-banyaknya kepada murid. Ketiga, karena hubungannya berbentuk instruksional, maka hubungan yang terjadi tidak memiliki ikatan perasaan di antara keduanya. Seolah-olah di antara guru dan murid adalah dua pihak yang berbeda yang berada di alam lain tanpa adanya kemampuan untuk berinteraksi lebih intes dan berjiwa. Karena inilah yang kemudian menghasilkan murid atau alumnus yang tidak berjiwa dan kurang berperasaan meskipun kepada gurunya sendiri. Dan keempat, hubungan instruksional ini tidak mensyaratkan adanya kesamaan pandangan atau ideologi yang dimiliki oleh guru dan siswa. Yang menonjol dalam hubungan bentuk instruksionalini adalah kesamaan kepentingan yang bersifat ilmiah dan intelektual. Dengan demikian, bisa saja terjadi antara guru dan murid terjadi perbedaan pendapat yang bahkan bertentangan. Karena memang hal itu tidak ditabukan sama sekali. Hubungan emosional adalah hubungan antara guru dan murid yang dilandasai perasaan.
Dalam hubungan yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, hubungan yang terjadi tidak hanya bersifat lipstik belaka, melainkan merupakan hubungan yang berjiwa dan sangat membekas di antara keduanya. Dalam waktu yang lama di antara keduanya masih akan terus terjadikontak batin, meskipun sudah berada di tempat yang sangat jauh. Hubungan yang terjadi benar-benar merasuk sampai di lubuk hati sang guru maupun sang murid. Kedua, hubungan emosional kadang-kadang mengalahkan rasioa kemanusiaan. Di kala sang guru memberikan suatu pelajaran atau perintah yang sebenarnya secara rasio tidak bisa diterima oleh sang murid akan diterima juga sebagai sebuah kebenaran. Hubungan yang demikian ini memang kadang-kadang menyebabkan sesuatu akibat yang jauh dari harapan dan keinginan sebelumnya. Karenanya, hubungan dengan bentuk emosional ini perlu dilakukan secara hati-hati dan sistematis. Ketiga, hubungan yang terjadi mensyaratkan adanya kesamaan perasaan di antara guru dan murid. Perasaan di sini bisa diartikan sebagai perasaan individual dan perasaan sosial, atau bahkan perasaan komunal. Perasaan yang sama antara satu pihak dengan pihak lain akan membentuk sebuah hubungan yang bukan hanya bersiofat artifisial, akan tetapi bersifat substantif.
Dengan hubungan yang demikian diharapkan akan terwujud suasana perasaan yang selalu sama dan seirama. Hubungan spiritual adalah hubungan antara guru dan murid yang didominasi oleh adanya kepentingan spiritual. Hubungan dalam bentuk yang demikian ini memunculkan beberapa kondisi. Pertama, hubungan yang terjadi antara guru dan murid lebih didorong oleh semangat spiritual keagamaan dan ketuhanan. Hubungan antara gru dan murid yang didorong oleh semangat keagamaan dan ketuhana merupakan hubungan yang sangat kuat. Hubungan dalambentukini kadang-kadang tidak hanya tidak rasional, akan tetapi kadang-kadang berbau nekad. Hubungan yang demikian ini diaykini sampai saat masih ada. Bahkan pada masa sebelumnya hubungan yang demikian ini adalah hubungan yang palig dominan. Kedua, hubungan spiritual antara guru dan murid memunculkan suasana feodalistik dimana guru merupakan seseorang yang tidak boleh dianggap salah baik dalam berbicara, bertindak, atau memberi perintah. Ketika terjadi perkataan, perbuatan, atau perintah yang jelas-jelas salah baik dalam bingkai agama, tradisi, atau rasio, maka tidak langsung disalahkan. Akan tetapi harus dicari hikmah di balik perkataan, perbuatan, atau perintah tersebut. Inilah yang menjadikan hubungan spieitual ini sangat unik yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh orang-orang awam. Ketiga, hubungan spiritual ini tidak akan terputus sepanjang zaman. Hubungan antara guru dan murid dengan bentuk hubungan ini tidak mungkin terputus walaupun dalam rentang waktu yang panjang dan jauhnya jarak geografis. Bahkan sampai berbilang generasi hubungan yang demikian ini masih sangat kental. Dan keempat, hubungan ini terjadi di antara guru dan murid yang memiliki akar tradisi, agama, ideologi, dan obsesi masa depan yang sama. Artinya primordialisme sangat kuat dalam hubungan bentuk ini. Hubungan yang mendasarkan diri pada pandangamn primordialisme yang sangat kuat bukan lagi hubungan pemberian ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, akan tetapi sudah mengarah pada indoktinasi nilai-nilai yang selama ini dipegang oleh sang guru. Hubungan ini sekali lagi tidak mungkin terputus meskipun nyawa taruhannya. Hubungan instruksional lebih banyak diadopsi oleh lembaga pendidikan modern yang sebisa mungkin menghilangkan subyektifitas sang gru maupun sang murid. Hubungan isntruksional ini juga diadopsi oleh sebagian besar lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hubungan emosional lebih banyak diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan pionir dengan berbagai ragam budaya dan agamanya. Meskipun hubungan emosional ini tidak menafikan transfer ilmu pengetahuan yang mensyaratkan adanya netralitas sang guru, akan tetapi transfer nilai-nilai budaya primordialisme masih sangat kuat. Di lembaga pendidikan yang menggunakan bentuk hubunan emosional, secara mencolok lebih menekankan pada nilai-nilai budaya dan adiluhung. Meskipun demikian, juga tidak mengabaikan sama sekali transfer pengetahuan. Sedangkan, hubungan spiritual banyak diadopsi oleh lembaga pendidikan keagamaan yang mengedepankan pendekatan transendental daripada realitas keduniaan. Hubungan spiritual banyak dilakukan oleh pesantren yang menekankan arti perjuangan Islam secara sempit, sehingga memunculkan murid atau orang-orang yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk memenuhi seruan sang guru. Dalam kaitannya dengan bentuk hubungan guru dan murid di Indonesia dapat dilihat metamorfose dan dialektikanya. Pada masa kerajaan Hindu dan Islam hubungan antara guru dan murid cenderung berbentuk spiritual. Hubungan bentuk ini berlansgung sampai masa-masa perjuangan bangsa Indonesia. Memasuki masa kemerdekaan mulai terjadi pergeseran bentuk hubungan yang mengarah pada hubungan emosional. Hubungan ini dapat dilihat pada pemerintahan masa Orde Lama. Pada masa ini lebih banyak materi ideologis yang diberikan kepada murid, sehingga bentuk hubungan yang menonjol adalah hubungan emosional. Pada awal masa Orde Baru bersamaan dengan masuknya arus modernisasi bentuk hubungan antara guru dan murid mulai bergeser ke bentuk instruksional. Hubungan ini sebagaimana dikemukakan di atas mensyaratkan adanya netralitas sang guru maupun snag murid dari subyektivitas. Yang menjadi perekat antara guru dan murid adalah murni intelektual dan kognisi bukan yang lain. Dengan demikian, perjalanan bentuk hubungan antara guru dan murid dapat diurutkan dari yang berbentuk spiritual, ke bentuk emosionla, dan terakhir bentuk instruksional. Bentuk hubungan yang proporsional adalah bentuk hubungan antara guru dan murid yang bukan hanya mengedepankan kognisi-intelektual, juga bukan hanya emosional, juga bukan hanya spiritual belaka. Akan tetapi hubungan yang proporsional adalah hubungan yang mengadopsi ketiga interes di atas. Artinya hubungan antara guru dan murid selain untuk mentransfer pengetahuan dan ketrampilan juga untuk membangun hubungan berjiwa dan sekaligus dilandasi oleh kepentingan spiritual. Karena dengan mementingkan atau menonjolkan salah satu interes dari ketiga bentuk hubungan di atas ternyata bangsa Indonesia belum mampu menggapai apa yang menjadi cita-citanya. Dengan kata lain bentuk hubungan antara guru dan murid yang selama ini ada di Indonesia perlu dirombak dan disesuaikan dengan sifat dasar manusia Indonesia, yaitu bentuk hubungan multidimensional. Guru Profesional: Sudah Ada atau Belum di Indonesia? Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administatif, akademis, dan kepribadian. Sebagaimana diungkap secara panjang lebar di buku ini tentang persyaratan seorang guru profesional, khususnya dalam perspektif pendidikan Islam. Di antara persyaratan tersebut adalah sehat jasmani dan rohani, bertaqwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan yang Rabbani, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan dan menguasai bidang yang ditekuni. Kesembilan syarat penting bagi guru profesional ini secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu persyaratan administratif, akademis, dan kepribadian. Persyaratan administratif adalah persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan persyaratan legal formal. Di Indonesia persyaratan yang demikian ini (khususnya bagi lembaga pendidikan formal) menjadi sangat menentukan. Bahkan kualitas seseorang dapat dilihat dari ijazah serta sertifikat keilmuan yang dimilikinya. Dalam konteks keindonesiaan persyaratan administratif merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting. Bila dikaitkan dengan sembilan persyaratan yang dikemukakan penulis buku ini dapat dipahami dari persyaratan yang ketiga, kedelapan, dan kesembilan. Meskipun tidak secara eksplisit disebutkan, akan tetapi seseorang yang memenuhi persyaratan administratif tersebut tentunya diasumsikan telah memiliki kompetensi ketiga, kedelapan, dan kesembilan. Jika memang terjadi kesenjangan antara legal formal dan kualitas yang memilikinya itu sudah soal lain. Persyaratan akademis adalah persyaratan yang harus dimiliki seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan kapabilitas dan kualitas intelektual. Persyaratan akademis juga merupakan syarat yang sangat penting bagi seorang guru profesional. Persyaratan ini sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan yang dilaksanakannya. Kesuksesan pendidikan bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab sang murid sebagai pencari ilmu, akan tetapi justru gurulah yang memegang peran dominan. Karena jika sang guru secara akademis sudah tidak memadai, maka dengan sendirinya ketrampilan untuk mengajar, kemampuan penguasaan materi pengajaran, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilan murid tidak dimiliki secara kurat dan benar. Hal ini jelas sangat merugikan proses pendidikan yang bukan hanya berakibat fatl bagi seorang murid, melainkan bagi seluruh murid atau bahkan seluruh stakeholder pendidikan. Persyaratan kerpibadian adalah persyaratan yang harus dimiliki seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diungkap di bagian awal bahwa guru adalah seseorang yang harus digugu dan harus ditiru, khususnya oleh murid. Sebagai seseorang yang harus digugu dan ditiru dengan sendirinya mensyaratkan secra internal seorang guru harus memiliki kepribadian dan perilaku yang baik. Dalam hal ini bukan hanya dalam kaitannya dengan tradisi, kesopanan, dan unggah-ungguh di masyarakat setempat, akan tetapi juga nilai-nilai keagamaan Islam. Sebagai seorang guru yang profesional tidak ada alasan lain kecuali berakhlak yang mulia baik dalam kaitannya dengan orang lain (murid dan masyarakat), diri sendiri, lingkungan (alam sekitar), dan tentunya dengan Allah. Berakhlak baik dengan Allah belum menjadi jaminan bahwa sang guru telah berakhlak mulia dengan masyarakat, dengan dirinya atau dengan lingkungan. Demikian juga sebaliknya, berakhlak baik dengan dirinya belum tentu menjadi jaminan berakhlak mulia dengan lingkungan, masyarakat, dan Allah. Ketiga kategori persyaratan tersebut tidak dipahami seara parsial atau terpisah antara satu dengan yang lainnya, melainkan harus disinergikan di antara ketiganya. Ketiga persyaratan tersebut tidak bisa disatukan (integrated), karena masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Hanya saja di antar ketiga kategori persyaratan guru profesional tersebut dapat disinergikan dalam alikasinya. Jika ketiga persyaratan tersebut dapat disinergikan, maka harapan terwujudya guru yang profesional tidak jauh panggang dari apinya. Artinya tinggal menunggu sang waktu untuk mendapoatkan lulusan atau alumnus lembaga pendidikan yang berkualitas, nukan hanya secara kognitif, melainkan juga psikomotor dan afeksinya. Dalam konteks keindonesian apakah guru profesional tersebut sudah ada atau paling tidak telah diprogramkan? Pertanyaan yang demikian ini masih memerlukan pembahasan yang luar biasa panjangnya, yang tidka mungkin selesai dalam sebuah tulisan. Meskipun demikian, secara sederhana dapat dikemukakan bahwa berbagai indikator menunjukkan telah terjadi reduksi besar-besaran akan arti dan makna cakupan guru profesional, khususnya di lembaga-lembaga pendidikan modern di Indonesia. Guru profesional adalah guru yang secara administratif, akademis, dan kepribadian telah memenuhi persyaratan dalam bentuk hubungan multidimensional dengan muridnya. Hubungan antara guru dan murid dalam bentuk hubungan multidimensional harus terwujud bersmaan dengan terpenuhinya ketiga kategori persyaratan tersebut. Mengaca pada kondisi sebagian besar guru yang ada di Indonesia, masih jauh dari harapan sebagaimana yang diinginkan. Guru profesional bukanlah guru yang mampu menghabiskan biaya besar dengan capaian prestasi yang lebih tinggi sedikit dibanding dengan yang menghabiskan dana kecil. Guru profesional adalah guru yang mampu mewujudkan prestasi lebih tinggi dengan biaya yang setara dengan biaya sebelumnya. Realitas membuktikan dengan penambahan biaya pendidikan belum menjadi jaminan tergapainya prestasi yang membanggakan. Pemahaman prestasi di sini bukan hanya diartikan dalam arti sempit pada ranah kognisi dan psikomotor belaka. Prestasi di sini juga menuntut dimensi atau ranah afeksi. Telah banyak manusia Indonesia berprestasi secara kognisi dengan bukti menyandang gelar profesor dan doktor yang tentunya secara akademik-kognitif sangat tinggi, namun pada saat yang sama berperilaku buruk. Perilaku buruk ini bukan hanya merugikan satu orang saja melainkan puluhan bahkan ribuan orang lain. Tentunya pemahaman reduktif tentang guru profesional bukanlah yang diharapkan dalam konteks tulisan ini. Guru profesional secara sederhana memerlukan beberapa kondisi minimal. Guru yang demikian ini tidak mungkin terwujud hanya dengan memenuhi salah satu dari kebutuhan rohani, jasmani, atau sosialnya saja akan tetapi semua kebutuhan tersebut harus terpenuhi walau dalam standar minimal. Terpenuhinya salah satu kebutuhan bukan merupakan jaminan seseorang menjadi guru yang profesional. Hal ini berbeda dengan masa-masa kerajaan Hindu dan Islam. Masa sekarang kondisi dan situasi kehidupan social jauh berbeda. Jika pada saat itu seseorang yang telah terpenuhi kebutuhan rohaninya, dia akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa yang kemudianb dimanifestasikan dalam bentuk memberi pelajaran kepada sang murid secara total. Untuk saat ini semua itu sudah tidak mungkin. Saat ini untuk memberikan layanan pendidikan yang optimal seorang guru bukan hanya secara rohani harus terpenuhi, akan tetapi kebutuhan-kebutuhan lain seperti akses informasi terbaru, melakukan penelitian, dan menerbitkan hasil penelitiannya tidak bisa dipenuhi dengan pemenuhan kebutuhan rohani belaka. Semua ini memrlukan kebuituhan jasmani dalam arti pendanaan yang cukup. Secara rohani seorang guru profesional harus terpenuhi kebutuhan minimalnya seperti keamanan, ketenteraman, kebebasan berpikir, dan kebebasan mengekspresikan keyakinan ideologi atau agamanya. Kebutuhan rohani merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi seorang guru apalagi bila dikaitkan dengan agama tertentu, mislanya Islam. Dalam konteks keislaman kebutuhan rohani merupakan kebutuhan yang sangat fital. Seperti diketahui bersama bahwa Allah, malaikat, hari kahir, dosa, pahala, kebaikan, akhlak mulia, keimanan, dan ketakawaan semuanya berkaitan dengan kebutuhan rohani. Bahkan keimanan kepada hal-hal yang gaib adalah salah satu persyaratan seseorang dianggap telah beriman. Sedangkan percaya kepada yang gaib bukanlah wilayah jasmani, melainkan wilayah rohani yang sangat berbeda dengan hal-hal yang bisa diindera sebagai salah satu syarat penting bagi wilayah jasmani. Dengan demikian, sebagai seorang guru yang profesional tidak mungkin terwujud jika kebutuhan rohani dengan standar minimalnya tidak atau belum terpenuhi. Secara jasmani seorang guru profesional harus terpenuhi kebutuhan fisiologisnya meskipun dengan standar minimal seperti jaminan sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Kebutuhan jasmani ini sangat berbeda dengan kebutuhan rohani, sebagaiamana dikemukakan di atas. Kebutuhan jasmani bisa diindera baik dengan mata, telinga, tangan, atau alat indera yang lain. Dalam kaitannya dengab pemenuhan kebuthha jsamani walaupun dengan standar minimal dapat dikatakan mana mungkin seorang guru yang harus memikirkan makan apa untuk esok hari dituntut untuk menjadi seorang guru yang profesional. Padahal memikirkan kebutuhan dirinya sendiri saja harus dengan mencari pekerjaan sambilan lain selain sebagai guru. Dalam konteks keindonesiaan kondisi guru sangat mengenaskan sebagaimana profil yang dibaladakan oleh seorang penyanyi satir (Iwan Fals) dengan sebutan Umar Bakri. Guru di Indonesia memang masih sangat memprihatinkan kondisinya, khususnya kondisi ekonomi. Sebagian besar guru (termasuk dosen/guru di perguruan tinggi) bukan hanya berprofesi sebagai pendidik akan tetapi juga memiliki profesi lain, seperti pedagang, makelar, tukang ojek, bengkel, rental, foto copy, dan sebagainya. Semua ini dilakukan bukan karena apa-apa, karena memang kebutuhan jasmaninya belum terpenuhi secara minimal. Hal ini belum berbicara tentang tempat tinggal dan sarana mobilitas. Sangat sulit rasanya seorang guru yang hanya mengandalkan gajinya untuk memenuhi semua kebutuhan jasmani walaupun dalam standar minimal. Ini adalah sebuah kehidupan yang ironis, dimana seorang guru yang dituntut untuk memenuhi persyaratan administratif akademis, dan kepribadian garus menghadapi kehidupan yang sangat timpang antara pendapatan dan pengeluarannya. Secara sosial seorang guru profesional harus terpenuhi kebutuhan sosialnya meskipun dengan standar paling minimal. Kebutuhan social bagi seorang guru misalnya mengikuti trend dan mode yang sedang muncul baik dalam masalah keilmuan, pakaian, maupun sarana mobilitas. Keilmuan seorang guru tidak mungkin bersifat statis tanpa adanya pengembangan atau paling tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang sedang berlansung. Semua ini hanya dapat dipenuhi dengan memenuhi kebutuhan untuk mengakses ilmu pengetahuan yang baru melalui media elektronik, media cetak, atau bahkan lewat berbagai pertemuan ilmiah. Hal yang sama juga berlaku untuk pakaian dan sarana mobilitas yang semakin hari semakin berkembang saja. Sebagai seseorang yang harus bisa digugu dan ditiru tentunya harus mengikuti trend yang sedang muncul. Karena dia harus menjelaskan mode dan trend mana yang masih layak dan mana yang sudah melewari batas. Bagaimana dengan kondisi guru di Indonesia apakah sudah terpenuhi kebutuhan sosialnya walaupun dalam standar minimal. Ternyata bila mengaca pada mayoritas guru di Indonesia akan memunculkan rasa prihatin, karena semua itu hanya angan-angan belaka. Untuk mengakses ilmu pengetahuan dan informasi yang baru memerlukan sarana untuk itu, demikian juga untuk menbgiuti pertemuan ilmiah baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional memerlukan biaya yang tidak kecil. Apalagi dalam kaitannya dengan lembaga pendidikan Islam dimana bercokol para guru pendidikan Islam yang sebagian besar merupakan lembaga pendidikan dengan pendanaan yang pas-pasan, kelihatannya masih jauh panggang dari api. Dari beberapa ungkapan di atas guru profesional di Indonesia masih ada di awang-awang dan belum membumi. Kondisi-kondisi ideal seorang guru profesional telah memenuhi benak para pemikir dan pemerhati bahkan para pejabat pendidikan di Indonesia, hanya saja perhatian, kebijakan, dan politik pendidikannya belum sepenuhnya diarahkan ke sana. Hal ini tentunya sangat menyakitkan semua orang, khususnya para guru. Meskipun demikian, masih banyak orang yang mengangap hal itu adalah sebuah keniscayaan historis yang harus diterima oleh sang guru di manapun dia berada. Sangat menyakitkan memang, pada saat yang sama banyak orang yang secara akademis, administratif, dan kepribadian tidak terlalu tinggi (untuk tidak mengatakan sangat rendah) justru mendapatkan bagian yang besar sehingga mampu memenuhi segala kebutuhannya baik jasmani, rohani, dan sosialnya dengan gampang. Postwacana Guru profesional secara inheren akan menerapkan bentuk hubungan multidimensional antara dirinya dan murid. Hubungan multidimensional ini merupakan manifestasi dari terpenuhinya persyaratan bagi seseorang untuk menjadi guru profesional. Dengan kata lain, bahwa dengan terpenuhinya ketiga kategori persyaratan guru profesional maka sebagai konsekunsi logis, konsekuensi timing, dan konsekuensi space-nya adalah terwujudnya bentuk hubungan multidimensional antara guru dan murid. Guru profesional adalah tuntutan semua pihak terhadap seseorang yang berprofesi sebagai guru. Hanya saja untuk memenuhi persyaratan sebagai guru profesional belum tercapai sebagaimana yang menjadi tuntutan semua pihak. Ada sisi-sisi gelap yang orang (selain guru) belum memahami atau sudah memahami tapi tidak mau memahami atau pura-pura tidak memahami. Sisi-sisi gelap tersebut adalah adanya kondisi-kondisi yang menyebabkan seorang guru disesaki dengan ketidakmampuan untuk mencapai persyaratan kondisi ideal sebagai seorang guru profesional. Akhirnya, memang masih jauh realitas dari terciptanya guru profesional di Indonesia, khususnya di lembaga pendidikan Islam. DAFTAR BACAAN Ahwani, Ahmad Fuad al-, al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Kairo: Dar al-Ma'arif, tt. Batubara, Herman, Profesionalisme Setengah Hati, Jakarta: Rineka Cipta, 1988. Daradjat, Zakiah, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Ridha, M. Jawwad, al-Fikr al-Tarbawi al-Islami: Muqaddimah fi Ushulih al-Ijtima'iyyah wa al-'Aqlaniyyah, ttp.: Dar al-Fikr al-Arabi, tt. Rusyan, A. Tabrani, Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Jakarta: Nine Karya Jaya, 1992. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992. Usman, M. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992. Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Media Massa Tempo Gatra Gamma Republika Kompas Kedaulatan Rakyat
lintasberita

Tidak ada komentar: