Mengenal Serat Wedhatama
Biografi Penulis Serat Wedhatama (MangkunegaIV)
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya
(K.G.P.A.A) Mangkunegoro IV terlahir dengan nama Raden Mas Sudiro, lahir pada
tanggal 1 Sapar tahun Jimakir 1736 windu Sancaya atau Masehi tanggal 3 Maret
1811, Minggu Legi jam 11 malam di dalam Hadiwijayan.[1]
Beliau putra Kanjeng Pangeran Harya
Hadiwijaya I yang nomor 7 (atau nomor 3 yang laki-laki). Dari garis keturunan
ayah beliau cucu Bandara Raden Mas Tumenggung Harya Kusumadiningrat, cicit
(buyut) dari Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Hadiwijaya yang gugur di Kali Abu
daerah Salaman Kedu (gugur tatkala melawan Kompeni/VOC). Ibu beliau adalah
puteri Mangkunegoro II, jadi beliau ini cucu Mangkunegoro II dan ia diangkat
sebagai anak sendiri oleh Mangkunegoro III yang kemudian dinikahkan dengan
anaknya sehingga beliau menjadi menantu Mangkunegoro III.[2]
Ia mendapatkan pendidikan dari kakeknya
Mangkunegara II, setelah berumur 10 tahun oleh kakeknya ia diserahkan kepada
Sarengat alias Pangeran Rio, saudara sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegoro
III, Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro tentang membaca,
menulis, berbagai cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya
lima tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio.
Pada usia muda sekitar 15 tahun ia telah
masuk dinas militer, dan menjadi taruna infantri legiun Mangkunegoro, tiga
tahun kemudian ia diangkat menjadi Kapten, lalu ia nikah dengan puteri KPH
Surya Mataram dengan sebutan baru RMH
Gondokusumo. Karena kecakapan dan memiliki bobot kepemimpinan yang tinggi ia
memperoleh kepercayaan dan terpilih menjadi pembantu dekat Mangkunegoro III
dengan mengangkat pepatih Dalem (patih raja dalam urusan dalam)
selanjutnya menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan infantri legiun
Mangkunegoro dengan pangkat Mayor. Agar lebih menjadi akrab lagi dengan
Mangkunegoro III, maka ia dinikahkan pula dengan puterinya yang sulung bernama
BRA Dunuk.[3]
Karena kepribadiannya yang kuat,
cita-citanya yang tinggi, wawasannya yang jauh, kewibawaan yaitu dalam
kemiliteran, ketrampilannya dalam pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam
agama dan seni budaya, ia diangkat menjadi pengganti Mangkunegara III setelah
beliau wafat, ia diangkat dengan sebutan Prabu Prangwadana letnan kolonel
infantri legiun Mangkunegaran pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781
atau tanggal 24 Maret 1853. Adapun gelar Mangkunegoro IV diraihnya pada hari
Rabu Kliwon 27 Sura tahun Jimakir 1786, berdasarkan Surat Keputusan tanggal 16
Agustus 1857 dalam usia 47 tahun.[4]
Mangkunegoro IV telah mencapai kematangan
dalam berbagai bidang sejak sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab
setelah ia menduduki jabatan tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam
bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain,
sehingga ia memiliki otonomi penuh mengenai urusan ke dalam seperti halnya
Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dan ia berhak mengatur
pemerintahan sendiri, mengatur rakyatnya menjamin ketenteraman dan kesejahteraan
mereka sebagai penguasa penuh di daerahnya. Bahkan ia merasa sebagainya raja
ketiga di samping Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta sehingga pada masa
pemerintahannya daerahnya bertambah luas hingga daerah Sukawati (Sragen) berkat
bantuannya kepada pemerintah Inggris dalam menundukkan pemberontakan Sultan
Yogyakarta.[5]
Dalam masa pemerintahan Mangkunegoro IV
diterangkan bahwa beliau mengalami kemajuan dalam segala bidang sehingga
Mangkunegoro IV merupakan negarawan yang cukup terpandang. Kebesaran Mangkunegoro
IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa, dapat dilihat dalam
karya-karya sastra yang dihasilkannya yakin antara lain, Tripama, Manukarsa,
Nayakawara, Yogatama, Paramnita, Pralambang lara kenya, Langen swara dan
lain-lain. Dari hasil-hasil karya sastra di atas, Mangkunegoro IV dipandang
sebagai salah seorang sastrawan dalam masa kebangkitan[6] kembali kesusastraan Jawa baru dalam masa
Surakarta.
Versi Lain Penulis Serat Wedhatama
Tentang siapa penulis Serat Wedhatama yang
asli hingga kini ada beberapa versi dan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa
Serat Wedhatama itu hasil karya R. Ng. Ronggowarsito. Alasan yang mempunyai
pendapat ini karena wileda (ikatan) kata demi kata sedemikian indah dan
praktisnya sehingga mudah dihafal, itu ciri khas pujangga Ronggowarsito.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Wedhatama
itu karya Raden Ngabehi Wiryokusumo, seorang bangsawan Mangkunegaran yang
mengabdi di istana dengan Pangkat Mantri Langenprojo Mangkunegaran.
Meskipun tidak begitu seterkenal seperti
pujangga Ronggowarsito, tetapi ternyata Rn. Ng. Wiryokusumo. Ini hasil karyanya
digemari oleh umum pada zamannya, yaitu antara lain : Tembang Prana, Panitisastra
dan lainnya lagi.[7]
Masalah tentang siapa pengarang Wedhatama
mendapat perhatian penulis Barat antara lain Dr. P.A. Rinkes yang meragukan
jika seluruh penulisan Wedhatama itu dikarang Mangkunegora IV karena
penulisannya telah ikut di dalamnya Pakubuwono IX, Ronggowarsito, dan
Wiryokusumo sebab sastra dan gaya bahasa dalam Wedhatama sangat berbeda dengan
karya-karya yang lain. Tetapi para penulis Indonesia pada umumnya dan penulis
suku Jawa khususnya tidak meragukan bahwa Wedhatama adalah karya Mangkunegara
IV. Hal ini terlihat dari berbagai penelitian di Indonesia khususnya di Jawa
maupun dalam percakapan sehari-hari atau dalam bahasa lisan, kesemuanya
mengatakan bahwa Wedhatama itu adalah karya Mangkunegara IV dengan
beberapa pertimbangan yaitu :
1) Gaya
bahasa dan kandungan isi Wedhatama.
2) Pencantuman
nama pengarang dalam penerbitan Wedhatama mencantumkan Mangkunegara IV sebagai
pengarangnya.
Berdasarkan analisis kandungan isi dan
berbagai penerbitan yang penulis baca, penulis cenderung untuk berpendapat
bahwa Serat Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV, setidak-tidaknya karya yang
dinisbahkan kepadanya.[8]
Arti Serat Wedhatama
Dilihat dari arti katanya, Wedhatama berasal
dari bahasa Sansekerta. Wedhatama, Menurut kamus Kawi-Indonesia karangan
L. Mardiwasito, kata “wedha” berarti ilmu pengetahuan[9], sedang
kata “tama” dari utama berarti baik.[10]
Menurut R. Tanojo, arti kata Wedhatama
berarti pepathokaning putra. Dari kata wedha berarti pepakem
(pathokan) dan tama/utama: berarti anak. Pepathokaning putra
berarti pedoman bagi putra putrinya.[11]
Wedha
adalah kawruh (bahasa Jawa): pengetahuan/ilmu/ajaran, sedang tama
adalah utama: baik, luhur, dan sebagainya. Jadi Wedhatama adalah
pengetahuan/ilmu/ajaran untuk mendapatkan/memiliki budi/jiwa yang baik/luhur
bagi setiap insan.[12]
S. de Jong mengartikan
Wedhatama sebagai “ajaran kesempurnaan” merupakan sebuah syair pendek, tetapi
tersohor yang mengandung petunjuk-petunjuk praktis bagaimana hendaknya
orang-orang priyayi mengatur hidupnya.[13]
R. Ng. Satyo Pranowo menyatakan bahwa
Wedhatama merupakan atining tatakrama mendorong dan mendekatkan diri
pada tercapainya cita-cita manunggal, yaitu tentang kebulatan sikap lahir batin
berserah diri dan bersatu diri sepenuhnya dengan Penguasa Agung Yang Maha
Tunggal (Tuhan YME).[14]
Ringkasan Isi Serat Wedhatama
Mangkunegara IV sebagai pengarang Serat
Wedhatama bertujuan memberi nasihat dan petunjuk kepada ahli warisnya untuk
memakai dan tetap melaksanakan ilmu agama yang telah turun temurun menjadi
pegangan para kerabat kerajaan, yaitu Agama ageming aji agama yang disandang para bangsawan. Nasihat
ini dituangkan dalam empat bab, setiap bab memuat pola tembang pattern of a
song yang sesuai dengan isi nasihat, pokok nasihat adalah petunjuk tata
laku susila di dalam masyarakat dan di dalam menjalankan ibadat Islam, baik
secara lahir maupun batin the observance of Islam in exotic and esoteric
sense sehingga mencapai kenyataan dan pengetahuan tertinggi, ialah
ma’rifat.
Bab I menggambarkan tingkah laku anak muda yang bertindak angkuh
karena merasa mempunyai darah bangsawan dan mengandalkan cara ibadat Islam
lahiriah saja.
Bab II memberi tata laku untuk orang muda dengan mengambil
contoh Panembahan Senopati, raja pertama Mataram. Manusia harus dapat
mengurangi keinginan naluri dasarnya, yaitu mengurangi makan dan tidur serta
gelora nafsu lainnya. Untuk memantapkan hidup kemasyarakatannya harus menguasai
tiga hal : arta – wirya –winasis : harta – kedudukan – pengetahuan.
Bab III menegaskan bahwa untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan,
kita harus menjalankan tata laku susila dengan usaha pertama pandai
mengendalikan nafsu angkara murka. Dalam hidup sehari-hari bersikap sila
–trima – legawa : sila – menerima – serah diri.
Bab IV memerinci penerapan empat macam cara ibadat menuju
kesempurnaan diri, yaitu sembah raga, kalbu, jiwa dan rasa. Wedhatama
sebenarnya berisikan hasil pengamatan empiris secara cermat terhadap
penghayatan hidup yang mempunyai tiga dimensi, kehidupan lahir (inner Life)
dan kehidupan alam ghaib (the world of the unseen). Tata laku susila
ditujukan terhadap ketiga dimensi kehidupan itu yang berpuncak pada penghayatan
dan pengetahuan hakekat hidup dengan perjumpaan manusia dengan Tuhan sebagai Manunggaling Kawula – Gusti.[15]
Sesuai dengan judulnya Wedhatama
yang berarti pengetahuan yang utama, maka Wedhatama adalah sebuah kitab wulang.
Penulisan Serat Wedhatama merupakan hasil dari refleksi yang dalam dari
kondisi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya. Pada dasarnya isi Serat Wedhatama berisi tentang cara mendidik
anak yang baik dan nasihat-nasihat yang mulia. Dalam hal ini Serat Wedhatama
terbagi menjadi 4 pupuh yaitu : pangkur, sinom, pucung, gambuh.[16]
1. Pupur
Pangkur. Dalam Serat Wedhatama ingin mengajarkan ilmu yang sempurna, yang
menjadi pedoman bagi setiap orang yakni berisi tentang sopan santun. Syarat
utama untuk memperolehnya ialah dengan mawas diri. Orang yang berhasil mawas
diri akan menemukan dalam dirinya ketenteraman dan keserasian sehingga dapat
menguasai dunia, itulah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pupuh
Sinom. Berisi tentang keberhasilan mawas diri, adegan dalam Senopati, raja
Mataram yang dalam hal ini mendapat gelar wong Ngeksigondo (orang yang
hambanya) seorang raja teladan, ramah dan memasyarakatkan serta secara teratur
menjalankan tapa (puasa), tetapi selamanya beliau tidak pernah mengasingkan
diri dari masyarakat. Beliau telah mendapatkan pengalaman mistik, misalnya di
pantai selatan beliau diberi pengertian mengenai sesuatu yang tidak dapat
dijangkau oleh manusia pada umumnya.
3. Pupuh
Pucung. Berisi tentang kebijaksanaan sejati, kebijaksanaan yang sejati tidak
pernah terlihat pada suatu tempat, sebagai contoh orang yang membanggakan pengetahuan
dari Mesir,Belanda tetapi esensi dan sesuatu yang dicari terletak pada
kepribadiannya sendiri.
4. Hakekat kebijaksanaan tersebut
adalah harus selalu dilaksanakan. Kedewasaan hidup menurut Mangkunegara IV
meliputi : lilo (rela) narima dan legawa atau rela batinnya sudah pasrah, tetap
sabar tulus ikhlas serta tawakkal atau berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan.
Barang siapa ingin menghayati ilmu, harus dengan jalan mengekang hawa nafsu,
perasaan tawakkal berserah diri terhadap kekuasaan Tuhan.[17]
5. Pupuh
Gambuh. Yakni mengungkapkan limpahan anugerah Tuhan YME harus ditebus dengan
penghayatan mutlak, didasarkan pada kesucian batin, menjauhkan diri dari watak
angkara murka (sifat egois yang berlebih-lebihan), serta ketekunan melakukan
sembahyang 4 macam.[18]
Ringkasan ajaran dalam Wedhatama dapat
diringkas menjadi 2 kelompok :
1. Ajaran
bagi para taruna (golongan muda)
a.
Dianjurkan agar mempelajari tata busana dan
sopan santun, serta memahami sumber ilmu pengetahuan yang benar.
b.
Hendaknya yang bersikap angkuh atau menyombongkan
diri (mentang-mentang mempunyai ilmu kekebalan) karena ilmu tersebut sebenarnya
tidak dapat diandalkan, jangan sekali-kali bersikap sombong, mentang-mentang
ayahnya berkuasa.
c.
Hendaknya dapat menilai dengan cermat
segala macam ajaran sehingga akan dapat menempatkan ajaran tersebut dan memilih
ilmu mana yang sekiranya sesuai dengan bakat pribadinya sendiri.
d.
Sadarlah dengan apa yang dimaksud
menunaikan darma, yakni selagi hidup di dunia wajib bagi setiap manusia untuk
berikhtiar meraih trisarana hidup, yaitu wisya, arta, wasis (keilmuwan, harta,
kepandaian).
2. Ajaran bagi golongan tua
Ilmu atau cara mendidik anak
Bagaimana caranya menentukan atau meyakinkan kebenaran
suatu ilmu.
Bagaimana caranya menjalankan sembah sujud kehadirat
Tuhan yang maha kuasa supaya tidak sia-sia usahanya menghadap Tuhan.
Orang yang dianggap tua adalah orang yang berilmu dan
memahami ruas-rasa dan bukanlah tua karena umurnya.[19]
Jadi
Wedhatama berarti ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Tetapi bukan hanya
pengetahuan yang baik tentang lahirnya saja tetapi baik dalam artian lahir
maupun batin.
Naskah Serat Wedhatama
Serat wedhatama berbeda dengan serat-serat piwulang
lainnya, karena kedudukannya yang sangat penting sejak dahulu sampai sekarang
maka tidak mengherangkan jika ia lebugh banyak diminati, di bahas dan dikaji
orang dari pada serat piwulang lainnya. Permasalahan serat Wedhatama menyangkut dua hal pertama masalah naskah dan
penerbitan, kedua masalah pengarangnya. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada
empat macam versi Wedhatama:
- Wedhatama sayembara, terdiri atas Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Gambuh 21 bait, jumlah seluruhnya 65 bait.Dalam naskah Serat Wedhatama ada dua versi yang satu berjumlah 100 bait yang terdiri dari tembang : Pangkur, Sinom, Pucung, dan Kinanthi. Tetapi ada yang hanya terdiri dari 72 bait terdiri dari Pangkur, Sinom, Pucung dan Gambuh saja. Menurut yang berkeyakinan hanya terdiri dari 72 bait mengatakan bahwa yang 18 bait itu hanya tambahan saja.
- Wedhatama terbitan Van Der Heidi en.co 1885, di Surakarta, terdiri atas; Pupuh Pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 20 bait jumlah seluruhnya 69 bait.
- Wedhatama terbitan Ki Padma Susastra, Pujaarja Java Institut. S.Z. Hadi Sutjipto terdiri dari Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 18 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 25 bait, dan jumlah seluruhnya 72 bait.
- Wedhatama lanjutan terbitan Java Institut dan Yayasan Mengadeg, terdiri atas 5 Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 18 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 25 bait, Gambuh (lanjutan) 18 bait, jumlah seluruhnya 100 bait.
Keempat versi Wedhatama tersebut
memperlihatkan beberapa persamaan dan perbedaan tentang jumlah pupuh Wedhatama
versi pertama, kedua dan ketiga memperlihatkan persamaan sedangkan versi
keempat di samping empat Pupuh tersebut masih ada lagi Pupuh lanjutan dan
Kinanti.[20]
Menurut Anjar Any bahwa Serat Wedhatama
yang asli adalah 72 bait dengan alasan sebagai berikut :
- Di dalam buku yang bertuliskan huruf Jawa dari museum Mangkunegoro, setelah bait 72 itu ada tanda “titi” artinya selesai. Kemudian pada halaman sebaliknya ada keterangan “Sambungan dari Serat Wedhatama yang berdiri sebagai judul tersendiri. Dan pada akhir bait 100 ada tanda “titi” lagi.
- Dan kebiasaan memakai kata dapat dilihat bahwa antara 72 bait didepan dan 18 bait terakhir ada tanda “titi” lagi.
- Pada bait 1 s/d 72, apakah akan berganti tembang tentu ada kode. (mulanya wong anom sami..... akan masuk sinom, “pamucunge wring ..... akan masuk Pucung, “anggambar mring …..” akan masuk Gambuh).
Tetapi pada bait 73 dan seterusnya akan masuk Tembang kinanthi
tidak ada kode seperti itu. Hanya setelah tembang itu tembang kinanthi ada
petunjuk tentang Kinanthi Mangka kanthining tumuwuh.[21]
KONSEP METAFISIKA DALAM
SERAT WEDHATAMA
A.
Konsep Tuhan Dalam Serat Wedahatama
1.Tuhan Sebagai Dzat Yang Mutlak
Dalam setiap agama selalu diajarkan tentang
Tuhan sebagai suatu prinsip dasar dari ajaran agama itu sendiri dan Tuhan
dinyatakan sebagai pencipta semua yang ada ini. Semua agama prinsip dasarnya
adalah keyakinan terhadap Tuhan.[22]
Tuhan yang merupakan sangkan paran
hidup manusia haruslah dipatuhi dan dilaksanakan segala perintahnya dan dijauhi
segala larangannya, agar kehidupan yang manusia jalani di dunia ini tidaklah
menjadi sia-sia. Manusia sebagai makhluk Tuhan tergantung kepada Tuhan
hendaklah manusia berserah diri dan berusaha agar manusia mendapat rahmat
Tuhan.
Orang Jawa yang terbentuk karena kebudayaan
Jawa akibat pengaruh filsafat Hindu dan filsafat Islam[23],
meyakini terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta, karena dialah penyebab dari
segala kehidupan, dunia dan seluruh alam semesta dan mengakui hanya ada satu
Tuhan (ingkang Maha Esa).
Tuhan mereka sebut Gusti Allah dan Nabi
Muhammad adalah Kanjeng Nabi. Menurut konsepsi agama Jawa, Tuhan adalah
keseluruhan dalam alam dunia ini, yang dilambangkan dengan wujud suatu makhluk
Dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari
orang. Tetapi Tuhan sekaligus juga besar dan luas seperti samudra, tidak
berujung dan tidak berpangkal seperti angkasa, dan terdiri dari semua warna
yang ada di dunia ini. Pandangan orang Jawa ini sifatnya pantheistis.[24]
Konsep keagamaan Jawa mengenai Tuhan
dilambangkan sebagai Dewa Suci diadopsi oleh para pemuka agama dan para
cendekiawan dan orang-orang yang selama kekuasaan Islam masuk ke pulau Jawa dan
menulis kesusasteraan Jawa dengan unsur-unsur agama Islam di Mataram antara
abad ke-16 dan abad ke-18. Kesusasteraan ini terdiri dari Serat Centhini,
Dewa Ruci, Serat Darmo Gandhul, Serat Wedhatama dan Serat Gatholoco.[25]
Dalam Serat Wedhatama uraian tentang
Tuhan, yakni mengenai zat, sifat, asma dan af’alnya, sesungguhnya hampir tidak
disinggung secara jelas. Namun penyebutan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak disini
menggunakan istilah yang berbeda-beda, sesuai dengan konteksnya. Seperti yang
diungkapkan dalam pupuh pocung bait ke 12:
Bathara gung
Inguger graning jajantung
Jenek Hyang Wisesa
Sana pasenedan suci
Nora kaya si mudha mudhar
Angkara
Arti:
Yang maha baik di tempatkan di
Dalam hati, yang maha kuasa
Kerasan ditempat peristishatan
Yang suci. Tidak seperti ulah
Si muda yang menuruti nafsu angkara.[26]
Kata Bathara gung pada ungkapan
diatas merupakan nama lain untuk penyebutan Tuhan yang berada pada disetiap
manusia, sehingga Tuhan Maha Mengetahui apapun yang diperbuat oleh hambanya
didunia. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia haruslah
diniatkan kepada Tuhan sebagai penghambaan dirinya kepada sang pencipta yang
menguasai segala sesuatu.
Dalam pucuh pocung bait ke 11 diterangkan :
Lila lamun kelangan nora
Gegetun, trima yen ketaman
Sakserik sameng dumadi
Tri legawa nalangsa ing Bathara
Arti:
Rela apabila kehilangan tidak
Masygul (kecewa), menerima (sabar) bila
Mendapat sesuatu yang menyakitkan
Hati dan orang lain, Tiga: ikhlas, menyerahkan
Kepada Tuhan.[27]
Maksud dari bait diatas adalah : manusia
adalah makhluk Tuhan dan segala sesuatu yang terjadi pada alam ini dan manusia
tergantung kepada Tuhan. Oleh karena itu manusia harus berserah diri, sabar dan
ikhlas dalam menjalankan kehidupan ini, manusia dilarang berputus asa apabila
segala keinginannya tidak tercapai karena semuanya adalah milik Tuhan. Manusia
hanya wajib berusaha dan sabar menjalankan perintah Tuhan tetapi segala
keputusan diserahkan dan mutlak ada di tangan Tuhan Yang Esa.
Menurut Ibn Al ’Arabi sebagai salah seorang tokoh sufi
besar Islam berpendapat bahwa Tuhan adalah mutlak, adanya Allah ialah karena
dan untuk dirinya sendiri. Dia tidak terikat dan tidak disebabkan oleh sesuatu
yang lain. Dia tidak menyebabkan segala sesuatu akan tetapi yang menjadikan
akibat dan sebab. Alloh tidak terperikan oleh dan dengan segala sesuatu
predikat apapun, karena ia tunggal. Dia adalah ada mutlak dan tunggal, maka
sudah semestinya ada adanya oleh adanya Allah, dan tentunya ada adalah tunggal.
Secara hakiki, bahwa ada bukanlah yang berganda atau jamak. Jadi dari yang
tunggal mengalir yang ada tunggal, meskipun tampak sebagai kejamakan. Berdasar
itu maka dapat dikatakan bahwa didalam Allah terdapat sesuatu keanekaan yang
tidak bertentangan dengan ketunggalannya, dalam hal ini yang dimaksud adalah
keanekaan logis dan berkaitan dengan yang dapat diungkapkan mengenai ada yang
tunggal, tanpa menghancurkan ketunggalan tersebut[28], dan
af’al Tuhan, Maha ungkapan yang-ada mutlak, yang tunggal, Allah tersebut. Bagi
Ibnu Al’Arabi merupakan kenyataan tertinggi dan mutlak dalam dirinya serta
untuk dirinya sendiri. Dia merupakan Dzat yang menjadi sebab bagi akibat dan
sebab-sebab berikutnya. Sehingga Dia dipandang pula sebagai awal dari yang awal
dan yang akhir. Meskipun tidak akan pernah berakhir, karena keazalian-Nya.
Ke-Tunggalan-Nya menunjukkan pada sisi sifat yang dilekatkan pada-Nya. Sedang
asma (nama) tumbuh sebagai akibat dilekatkannya sifat pada-Nya. Kemudian af’al
(perbuatan) merupakan wahana bagi Dzatnya, yakni sebagai bukti keberadaan-Nya.[29]
Dalam Serat Wedhatama ada beberapa
nama (istilah-istilah) yang digunakan untuk menyebut Tuhan seperti :
Allah (pangkur
bait 12) (Maha Esa)
Bathara
Gung (pocung bait 12) (Maha Agung)
Hyang
Wisesa (pocung bait 12) (Maha Kuasa)
Hyang
Manon (gambuh bait 6) (Maha Melihat)
Hyang
Sukma (gambuh bait 16) (Maha Roh/jiwa)
Adanya berbagai macam istilah yang
digunakan untuk penyebutan Tuhan dan Serat Wedatama dikarenakan sesuai
dengan tingginya kebudayaan Jawa dan khazanah bahasa Jawa yang amat kaya dan
halus sehingga peristilah untuk penyebutan Tuhan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi batin hambanya dalam penghayatan kepada Tuhan yang dianggap sebagai
suatu Dzat mutlak.
2. Yang Fana dan Abadi
Eksistensi Tuhan bersifat abadi dan tidak
pernah berhenti, sehingga Tuhan sesungguhnya tidak pernah berhenti untuk
mencipta dan penciptaan akan terus terjadi, karena penciptaan adalah bagian
dari eksistensi Tuhan sendiri. Kerusakan hanya akan terjadi dalam wujud-wujud
eksistensinya atau dalam ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk
ciptaannya yang paling sempurna yang kadang bersifat sombong dan merasa paling
hebat dengan kedudukan, harta dan akalnya sehingga membutakan dirinya sebagai
makhluknya yang fana, tetapi pada eksistensi Tuhan sebagai sang Khaliq tidak
akan mengalami kerusakan dan kebinasaan karena Dia bersifat mutlak dan abadi.[31]
Dalam Serat Wedhatama diterangkan
bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup dibedakan menjadi dua alam
yakni alam yang selalu berubah (fana’) dan alam yang tetap (abadi). Konsep
mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang
berbunyi :
Sejatine Kang mangkana
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi
Bali alaming ngasuwung,
Tan karem karameyan
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira
Mulane wong anom sami.
Arti:
Sebenarnya
yang demikian itu
Sudah
mendapat anugerah Tuhan
Kembali
ke alam kosong,
Tidak
mabuk keduniawian
Yang
bersifat kuasa menguasai,
Kembali
ke asal mula
Oleh
karena itu wahai anak muda.[32]
Dari
kutipan diatas ditarik kesimpulan bahwa disamping alam tempat hidup manusia
sekarang ini, dalam Serat Wedhatama berpandangan bahwa ada suatu alam lainnya
yang disebut sebagai alam suwung. Ini merupakan tempat asal dan
sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan. Alam
sekarang ini disebut pula alam kinaot (pupuh gambuh bait ke 13) yakni
alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya.
Oleh karena kesempurnaan hidup merupakan
tujuan utama bagi setiap manusia agar tercapai kebahagiaan hidup sejati baik
pada kehidupan ini (fana’) maupun
kehidupan setelah mati. Kebahagiaan hidup sejati didunia ini bukan
diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil secara melimpah tetapi sebaliknya berupa pemenuhan kebutuhan
yang wajar, adil dan seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya.[33]
Disamping itu alam suwungipun disebut alam lama maot
yang terdapat pada pupuh gambuh bait ke 17 yaitu:
Sayekti
luwih perlu,
Ingaranan pepuntoning laku,
Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin,
Sucine lan awas emut,
Mring alaming lama maot.
Arti:
Sebenarnya lebih penting
Disebut penghabisannya tindakan,
Tindakan yang bersangkutan dengan batin,
Pembersihnya dengan awas dan ingat
Kepada alam yang Maha Besar (dapat memuat)
Alam kelanggengan.[34]
Alam lama amot (maot) secara harfiah
bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang lama atau dengan perkataan
lain langgeng atau abadi. Dapat pula diartikan sebagai alam baka atau alam
akhir.
Dalam alam akhir inilah kita akan mengalami
kehidupan akhirat sebagai lawan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah
kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh, kehidupan ini akan dialami oleh
semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati, kehidupan ini tidak bisa
dijelaskan secara keilmuwan, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk
memahami realitas kehidupan akhirat harus melalui perenungan yang transenden,
yang melintasi batas-batas dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas.
Melalui pengembaraan iman yang cerdas, yang secara ghaib menembus dinding dan
pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan
ini tidak berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara
seperti permainan yang segera berakhir.
Oleh karena itu hakikat kehidupan adalah
kehidupan akhirat kehidupan jangka panjang yang hanya bisa dicapai dengan
menekan keakuan dititik rendah, sebuah perjalanan yang amat panjang, yang hanya
dapat dihayati dengan menjauhkan diri dari kesombongan.[35]
Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa bagi
Serat Wedhatama ada kehidupan yang abadi yakni alam suwung yang
merupakan alam asal dan tempat kembalinya manusia yang mendapat karunia Tuhan.
Disamping itu alam suwung ini pun merupakan tempat bersemayamnya Tuhan
itu sendiri. Hal ini diungkapkan dalam
pupuh pocung bait ke 12 :
“…Hyang Wisesa
sana pasenedan suci…”[36]
yang
bermakna bahwa yang maha kuasa itu bersemayang dialam yang suci
Dari kehidupan dunia yang fana’ ini manusia
akan menuju ke alam akhirat yaitu alam keabadian. Dalam Islam kehidupan akhirat
adalah kehidupan yang berjangka panjang dan jauh yaitu sebuah perjalanan yang
mengharuskan melalui tahapan-tahapan, baik untuk istirahat, membersihkan diri
atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan
berikutnya yaitu harus mengalami, hari kiamat, kebangkitan, pengadilan,
hukuman dan pembalasan, baik sorga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan
akhirat itu sendiri.
Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah
perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju sorga atau menghindari
neraka. Karena sesungguhnya kita semua
berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadanya, perjalanan panjang menuju
Allah dalam kehidupan akhirat dilakukan manusia pada tahapan nafsu dan nafs
pada hakikatnya adalah transendental dari nafs yang terbatas menuju nafs yang
tak terbatas (Tuhan).
B. Dualisme Yang Tunggal (Manunggaling
Kawula Gusti)
Ajaran sangkan paraning dumadi yang
berarti pangkal atau mula dan arah tujuan semua kejadian, menggambarkan suatu
(filsafat) proses, kesinambungan awal-akhir, bagaimana permulaannya dan juga
kesudahannya. Hal ini menumbuhkan pemahaman manungaling kawula Gusti.
Dalam Islam, konsep diatas bisa dipahami
melalui perkataan yang selalu diucapkan seorang mukmin jika ada musibah, yaitu innalillahi
wa inna ilayhi rojiun (sesungguhnya semua datang dari Allah dan akan
kembali ke Allah). Pemahaman seperti itu menunjukkan bahwa apa yang menjadi
sehat antar awal-akhir hidup ialah itu kita sendiri[37], untuk
mencapai kemanggulangan antara hamba dan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti)
manusia harus mengatasi belenggu yang mengikat setiap individu dengan
eksistensi fenomenal, seperti nafsu dan rasionalitas duniawi, yang menggiring
manusia pada persepsi yang menyesatkan tentang kebenaran. Seorang yang ingin
mencapai kemanunggalan (ahli mistik) harus bisa mengatasi egoismenya, bebas
dari pamrih dalam melaksanakan kehidupannya.[38]
Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap
semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang
sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga kemampuan untuk berkonsentrasi dengan
jalan pengendalian diri dan melakukan berbagai latihan semedi. Melalui latihan
semedi diharapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya,
sehingga hal ini dapat memberikan keheningan pikiran, dan membuatnya mengerti
dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan
jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi, maka orang
itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, yang pada saatnya akan dapat
bersatu dengan Tuhan (pembimbing kawula Gusti, atau Manunggaling Kawula Gusti).[39]
Dalam Serat Wedhatama disinggung
tentang landasan mengenai unsur fundamental realitas kehidupan yakni terkandung
dalam pupuh pangkur bait ke 12 sebagai berikut :
Sapantuk wahyuing Allah
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit
Bakat mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga
yen mangkono kena sinebut, wong sepuh
Lire sepuh sepi hawa,
Awas loroning atunggil
Arti :
Barangsiapa
mendapatkan wahyu Illahi ia akan segera memiliki kemampuan yang cemerlang dan
mempelajari ilmu. Dan ia akan mampu mendapatkan dan mengatasi tata tertib
bersamadi. Manusia yang demikian keadaannya baru dapat dikatakan sebagai juga
sebab-sebab yang dimaksudkan dengan tua itu (haruslah mengandung makna) telah
terbebas dari hawa nafsu dan waspada terhadap adanya dua macam unsur yang
sebenarnya merupakan dwi tunggal.[40]
Berdasarkan isi pupuh diatas maka jelaslah
bahwa menurut Serat Wedatama unsur fundamental daripada kenyataan itu
adalah yang disebut jiwangga. Jiwangga adalah kependekan dari dua
perkataan dalam bahasa Jawa “jiwa” dan “angga” yang artinya yakni jiwa dan raga
atau badan. Dalam pupuh tersebut juga dijelaskan sekaligus, bahwa kedua unsur
fundamental ini meskipun bagi orang kebanyakan atau pada umumnya kelihatan
sebagai dua, namun bagi semua “sepuh” sebenarnya dapat diketahui sebagai
tunggal. Jadi yang dua unsur tersebut dengan demikian sebenarnya merupakan satu
hal juga. Dalam peristilahan Wedhatama disebut loroning manunggal
(monodualisme).[41]
Dalam penghayatan paham Manunggaling
Kawula Gusti menjadi tujuan hidup bagi orang yang bijaksana, hal ini
diungkapkan dalam pupuh pangkur bait 13 sebagai berikut:
Tan samar pamoning sukma
Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping
Aluyup
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.
Artinya :
Agar
tiada ragu terhadap bersatunya sukma Penghayatan ini terbuka di dalam penyepian
tersimpan didalam kalbu Adapun proses terungkapnya tabir (penutup alam
gaib)Laksana terlintasnya dalam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk
Penghayatan gaib itu datang laksana hiasan mimpi.[42]
Dari ungkapan diatas, Serat Wedhatama
mengandung paham kesatuan manusia dengan Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti
dapat berarti beradanya manusia dalam Tuhan. Disanalah tempatnya yang sejati
kesanalah ia harus kembali, karena oleh manusia ia seolah-olah berada diluar
Tuhan. Dalam paham adalah bukan Tuhan, tetapi juga bukan dari pada Tuhan.
Selanjutnya dalam pupuh gambuh bait 20, 21 dan 22 diterangkan
tentang penghayatan makrifat pada Tuhan sebagai berikut :
Tarlen mung pribadinipun,
Kang katon tinonton kono.
Nging aywa salah surup,
Kono ana sajatining urub,
Yeku urub pangarep uriping budi,
Sumirat-sirat narawung,
Kadya kartika katonton.
Yeku wenganing kalbu,
Kabukane kang wengku-winengku
Wewengkone wis kawengku neng sireki,
Nging sira uga kawengku,
Mring kang pindha kartika byor.
Arti :
Tak lain hanya diri pribadinya
Yang tampak terlihat disitu.
Akan tetapi jangan salah pengertian
Karena disitu ada nyala sejati,
Yakni nyala yang menghidupkan budi,
Bersinar gemerlap
Laksana bintang yang tampak.
Itulah proses terbukanya kalbu
Menjadi nyata (antara Tuhan dan manusia)
adalah saling cukup mencakup
Kerajaannya
telah tercakup dalam dirian akan tetapi lain juga dikuasai
Oleh Dzat yang laksana bintang gemerlapan.[43]
Dalam penghayatan makrifat diatas tampak
apabila rasa was-was telah hilang, yang ada hanyalah yakin dan percaya akan
berlakunya takdir Tuhan.
Banyak istilah-istilah yang dipakai dalam
mistisisme untuk menamai pengalaman mistik ini seperti, Pamoring Kawula
Gusti, Jumbuhing Kawulo Gusti, Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing
Curiga, union Mystica, Manunggal dan lain-lain. Thomas Aquinas menyebutnya
dengan istilah Cognitio dei Experimentalis. Dalam pencapaian
Manunggaling Kawula Gusti ada suatu tahap yang ingin dicapai manusia kepada
level tertinggi yaitu insan kamil
dalam konsep Islam, aturan kepercayaan menyebutnya jalma winilis. Kalau
dalam konsepsi Jawa menyebutnya (artinya penandhita seorang ilmuwan Barat
Tielhard de Chardin memakai istilah titik omega sementara Radhakhishnan
menyebutnya dengan istilah Samvadanya.[44]
Dalam Serat Wedhatama ilmu yang
berusaha mencapai penghayatan dengan Tuhan disebut juga “Ngelmu Kang
Nyata/Ngelmu Luhung/Ilmu Tarekat, untuk mempelajari ngalam nyata ini orang
harus belajar pada seorang guru yang disebut Sarjana Kang Martapi, yaitu
para pertapa yang bijaksana. Dan atau untuk mencapai penghayatan manunggal
dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama dirumuskan menjadi sembuh catur
(empat macam sembah). Hal ini diungkapkan dalam pupuh gambuh bait I
Samengko ingsun tutur,
Sembah catur supaya lumuntur,
Dhihin raga, cipta, jiwa rasa, kaki
Ing kono lamun tinemu,
Tanda nugrahanung Manon,
Arti:
Sekarang saya berkata,
Empat buah sembah agar mawaris (kau tiru)
Pertama: Raga, Cipta, Jiwa dan Rasa anakku.
Disitu bila tercapai,
itu pertanda kebesaran Allah.[45]
Sembah Mangkunegara IV ada empat macam,
yaitu:
Sembah raga:
Menyembah Tuhan yang dilakukan seperti orang yang melakukan perjalanan, cara
bersucinya dengan air (wudlu) dilakukan secara fisik, lima kali dalam sehari
semalam, dijalankan sengan taat, tekun dan sabar, ditepati segala peraturannya
menurut syari'at yang telah ditentukan.
Sembah kalbu:
Menyembah Tuhan yang dilakukan dengan mengutamakan peranan kalbu, yang
karenanya tdak disucikan dengan air, tetapi dengn menyucikan hati dan
sifat-sifata tercela, dan berbaai bujukan hawa nafsu dan dengan memperbanyak
latihan spiritual sehingga kalbunya dalam kondisi yang suci.
Sembah jiwa:
Menyembah Tuhan dengan mengutamakan rasa awas dan ingat selalu kepadaNya, yang
perlu dilakukan sehari-hari, yang disertai ketebalan iman dan keteguhan hati,
memegang teguh niat dan tujuan, tidak mudah terpengaruh dan terkecoh apa saja
yang terlihat dalam pengalaman rohaniahnya.
Sembah rasa:
Menyembah Tuhan dengan rasa yang ada didalam inti jiwa atau ruh, sehingga
terasalah hakikat kehidupan yang sebenarnya, sembah ini dilakukan secara
batiniah semata-mata dengan penghayatan inti jiwa yang paling dalam.[46]
Dalam konsep sembah yang diajarkan oleh
Mangkunegara IV menekankan aspek sembah lahiriah dan batiniah, yang sebetulnya
konsep ini merupakan gradasi dari ajaran tasauf seperti syari'at, tariqat,
hakikat,dan sampai puncaknya pada tahap makrifat.
C. Kosmologi
Dalam Serat Wedhatama
Kenyataan alam semesta pada hakikatnya
adalah kenyataan yang dibangun dari kenyataan-kenyataan besar (makrokosmos) dan
kenyataan besar sebagai keseluruhan pada dasarnya sangat gaib, metafisik,
bersifat abstrak, yang pada hakekatnya tersusun dari satuan kenyataan-kenyataan
kecil yang dapat dilihat, ditangkap dan ditimbang. Tetapi yang abstrak itu
tidak berarti tidak ada, karena bangunan dan dasarnya bangunannya memang
berasal dari kenyataan ada dan yang ada pada kenyataan-kenyataan satuan kecil
yang secara empirik dapat dilihat, ditangkap dan ditimbang.
Dalam tahap ini, sesungguhnya ada dua
kenyataan, yang pertama adalah kenyataan yang besar, keseluruhan yang abstrak,
metafisik, gaib, yang hanya dapat dimengerti melalui konsep, dan kedua adalah
kenyataan kecil (mikokosmos) satuan empirik yang dilihat, ditangkap dan
ditimbang, oleh peralatan indera fisik. Dengan demikian, pembahasan kosmologi
memperoleh posisi pengertian yang lebih jelas, yang pada dasarnya mencoba
membahas hakikat alam semesta sebagai eksistensi Illahi. Tentang kenyataan alam
besar, suatu wujud keseluruhan jenis, yang bersifat abstrak, yang dapat
ditangkap dan dimengerti melalui konsep filsafat.[47]
Dalam Serat Wedhatama dapat kita
jumpai suatu ajaran tentang konsep alam semesta yang terbagi menjadi tiga dunia
(triloka), ajaran ini merupakan pengaruh dari filsafat Hindu yang mempunyai
konsep mengenai dunia, manusia, dunia bawah dan dunia atas, tetapi dalam uraian
ini tidak dijelaskan secara pasti, sebagaimana yang tercantum dalam pupuh
pocung pada bait ke 2:
Angkara
gung
Neng
angga anggung gumulung,
Gegolonganira
Triloka
lekere kongsi,
Yen
den umbar ambabar dadi rubeda.
Arti:
Nafsu angkara yang besar
Didalam
diri selalu berkumpul dengan kelompok nafsu
Sampai menguasai tiga dunia
Bila dibiarkan berkembang menjadi bahaya.[48]
Dalam kandungan diatas terdapat suatu
peristiwa tentang perlunya pengolahan raga dan pengolahan jiwa, agar
tercapainya kesatuan dari ke dalam daya kosmos universal sebagai tujuan untuk
mencapai kesempurnaan dan kontrol terhadap sikap individualitasnya. Tindakan
itu berupa pembebasan diri dari belenggu alam empiris (bersifat materi) menuju
pada kondisi eksistensial secara transenden, dan terciptanya kesatuan mutlak
manusia, yang digambarkan secara emanatif, sebagai penerang (cahaya) dan ia
harus kembali ke asalnya (paraninng dumadi) yaitu Dzat kosmos (yang
Illahi/mutlak). Untuk mencapainya kita harus bisa melawan dan melenyapkan ego
kita, yakni perasaan yang menyibukkan kita dengan hal-hal yang bersifat duniawi
dan semu, sehingga menjauhkan kita dari segala yang konkrit yaitu sang pencipta
dunia. Oleh karena itu kita harus mencapai kebebasan batin secara sempurna,
yaitu dari material menuju tingkatan menjadi diri mutlak yang identik dengan
ada mutlak (kenyataan hidup sejati).[49]
Sementara dalam pupuh gambuh bait ke 18
disebutkan:
Ruktine ngangkah ngukut
Ngiket ngruket triloka kakukut
jagad agung ginulung lan gagad alit,
Den kandelkumadel kulup,
Mring kelaping alam kono.
Arti:
Memeliharanya (caranya dengan)
berusaha menguasai, mengikat
merangkul tiga jagad dikuasai
jagad besar diguling dengan jagad kecil
perkuatlah kepercayaanmu anaku,
terhadap keadaan gemerlapnya alam itu[50]
Dari urian diatas dijelaskan bahwa manusia
hidup dalam tiga “alam” (triloka) meliputi alam sejati, badan halus serta badan
kasar. “Ada” yang tak berubah adalah suksma kawekas (Allah SWT). “Ada”
yang kembali adalah sukma sejati (Rasulullah) dan Roh suci adalah “ada” manusia
dalam badan halus. Ketiga-tiganya menurut ajaran R. Soenarto disebut Tri
purusa, cermin dari Tri purusa
dalam badan halus inilah yang disebut Aku ego. Ego ini bertugas melindungi roh
suci dari dorongan nafsu. Untuk itulah ego berdaulat dengan kemampuan
angan-angannya yang berupa cipta, nalar, dan pengertian. Dalam hubungannya
dengan tri purusa mestinya aku selalu eling, percaya dan mituhu.[51] Yang
dimaksud eling atau sadar ialah sadar
untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Dengan selalu sadar
terhadap Maha Tunggal maka manusia akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat
memisah-misahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan, yang
berubah dan yang tidak berubah.
Yang dimaksud percaya ialah percaya
terhadap suksma sejati atau utusan-Nya yang disebut guru sejati. Dengan percaya
terhadap utusan-Nya yang disebut guru sejati berarti pula percaya kepada jiwa
peribadinya sendiri serta kepada Allah, karena ketiga-tiganya adalah tunggal
yaitu yang disebut tri purusa tadi. Sedangkan yang dimaksud mituhu
ialah setia kepada dan selalu melaksanakan segala perintah Nya yang disampaikan melalui utusanNya.
Sebab semua tugas baik yang diterima
manusia pada hakekatnya adalah tugas yang diberikan Allah.[52]
Dengan berlaku eling, percaya dan untuk
manusia akan merasa yakin dan benar bahwa kehidupan tidak sekedar sekarang ini
dan disini saja, melainkan masih berkelanjutan. Dengan dasar bahwa masih
terdapat kehidupan yang nyata yaitu manusia harus kembali ke asal tujuannya,
yakni Dzat hidup/jiwa alam semesta. Dzat kosmos/Brahman kapan manusia kembali
ke asal tujuannya atau manunggal ? Berdasar pada pandangan mereka yang
mengetahui adanya Dzat mutlak dan tertinggi, sebagai asal tujuan, maka jawaban
terhadap pertanyaan tadi adalah bahwa hal tersebut terjadi dua tahap, pertama
manusia sebelum meninggal dunia, dan kedua setelah manusia meninggal dunia. Meninggalnya
manusia dengan dzat kosmis setelah meninggal dunia tidak dijelaskan secara
jelas.[53] Manusia
yang dalam Serat Wedatama mengalami tiga dunia (triloka) dimaksudkan
sebagai alam semesta tempat manusia hidup yang disebutnya juga sebagai “jagad
besar (ageng)” (makrokosmos).
[2] Anjar Any, Mengungkap Serat
Wedotomo, (Semarang: Aneka Ilmu, 1986), hlm. 83.
[3] S.Z.Hadisutjipto, Serat Wedatama,
(Surakarta: Yayasan Mengadeg), hlm. 73.
[5] Moh. Ardani, Op.Cit., hlm. 18-19.
[6] Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta:
Bentang Budaya), 1996, hlm. 248-249.
[7] Anjar Any, Op. cit., hlm. 15.
[8] Moh. Ardani, Op. cit., hlm.
42-47.
[9] L. Mardiwasito, Kamus Jawa Kuno –
Indonesia, (Flores Ende: Nusa Indah), 1978, hlm. 670.
[10] Ibid, hlm. 577.
[11] R. Tanojo, Wedhatama Djinarwo,
Surakarta, 1963, hlm. 13.
[12] Yayasan Mangadeg Surakarta, Terjemahan
Wedhatama, (Jakarta: Pradnya Paramita), 1979, hlm. 47.
[13] S. de Jong, salah Satu Sikap
Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius), 1976, hlm. 47.
[14] R. Ng. Satyo Pranowo, Bahasan dan
Wawasan atas Serat Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, (Surakarta:
KRT. Sarjono Darmosarkoro), 2000, hlm. 7.
[15] Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat
Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka), 1986, hlm. 50.
[16] S.Z. Hadisaputro, Serat Wedhatama,
(Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), hlm. 71.
[17] R. Soedjonosedijo, Wedhatama -
Winardi (bhs Indonesi), (Surabaya : Citra Jaya), 1987, hlm. 24.
[18] Anjar Any, Op.Cit,hlm. 74-77.
[20] Moh. Ardani, Op.Cit.,
hlm.40-41.
[21] Anjar Any, op. cit., hlm. 29.
[22] Musa Asyarie, Filsafat Islam
Sunah Nabi Dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2001), hlm. 165.
[23] Budiono Heru Satoto, Simbolisme
Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), hlm. 72
[24] Pandangan ini sebenarnya lebih tepat
disebut pandangan theopanstis seperti yang disebut oleh ahli kesusasteraan
Hindu Vath, ia menyarankan agar perbedaan antara pandangan pantheistis dan
pandangan theopanstis ialah bahwa yang pertama “Semua adalah Tuhan”. Sedangkan,
yang kedua adalah “Semua menjadi Tuhan.” Ahli kesusasteraan Jawa P.J. Zoet Moelder, yang telah
mengajarkan perbedaan itu menggunakan istilah pantheistis untuk kedua-duanya.
Lihat Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 323.
[25] Ibid., hlm. 324
[27] Ibid,hlm.110..
[28] Zoet Mulder, Manunggaling Kawula
Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hattoko,
(Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 26.
[29] Usman, Mistisisme Serat Wedhatama
(Lap. Penelitian intelektual) IAIN, SUKA Yogyakarta, 1999, hlm. 29.
[30] R. Parmono, Op.Cit,.
hlm.96
[32] K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, Op.Cit.,
hlm.90.
[34] K.G.P.A.A. Mangkunegara, IV,
Op.Cit,. hlm. 119.
[36] K.G.P.A.A. Mangkunegara IV,
Op.Cit,. hlm.111.
[37] Ashad Kusumajaya, Pewaris Ajaran
Syekh Siti Jenar, Membuka Pintu Maarifat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2003), hlm. 31.
[41] R. Parmono, Menggali Unsur-unsur
Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), hlm. 97.
[42] K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, OP.Cit., hlm.89.
[43] K.G.P.A.A, Op.Cit,. hlm. 122.
[44] Sujamto, Rekonstruksi dan
Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 2000), hlm.
69-70.
[45] K.G.P.A.A, Mangkunegara IV,
Op.Cit,. hlm.112.
[46] Moh. Ardani, Al Qur'an Dan Sufisme
Mangkunegara IV: Studi Serat-serat piwulang, (Yogyakarta: Dana BhaktiWakaf, 1995) hlm.365.
[48] K.G.P.A.A, Mangkunegara IV,
Op.Cit,. hlm.106.
[49] R. Subagya, Kepercayaan
Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989),
hlm. 89
[50] K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, Op.Cit,.
hlm. 218-220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar