Sabtu, Juni 02, 2012

Mengenal Serat Wedhatama


Mengenal Serat Wedhatama

Biografi Penulis Serat Wedhatama (MangkunegaIV)

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (K.G.P.A.A) Mangkunegoro IV terlahir dengan nama Raden Mas Sudiro, lahir pada tanggal 1 Sapar tahun Jimakir 1736 windu Sancaya atau Masehi tanggal 3 Maret 1811, Minggu Legi jam 11 malam di dalam Hadiwijayan.[1]
Beliau putra Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I yang nomor 7 (atau nomor 3 yang laki-laki). Dari garis keturunan ayah beliau cucu Bandara Raden Mas Tumenggung Harya Kusumadiningrat, cicit (buyut) dari Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Hadiwijaya yang gugur di Kali Abu daerah Salaman Kedu (gugur tatkala melawan Kompeni/VOC). Ibu beliau adalah puteri Mangkunegoro II, jadi beliau ini cucu Mangkunegoro II dan ia diangkat sebagai anak sendiri oleh Mangkunegoro III yang kemudian dinikahkan dengan anaknya sehingga beliau menjadi menantu Mangkunegoro III.[2]

Ia mendapatkan pendidikan dari kakeknya Mangkunegara II, setelah berumur 10 tahun oleh kakeknya ia diserahkan kepada Sarengat alias Pangeran Rio, saudara sepupunya yang kelak menjadi Mangkunegoro III, Pangeran Rio diserahi tugas untuk mendidik Sudiro tentang membaca, menulis, berbagai cabang kesenian dan kebudayaan serta ilmu pengetahuan lainnya lima tahun ia belajar dengan tekun di bawah bimbingan Pangeran Rio.
Pada usia muda sekitar 15 tahun ia telah masuk dinas militer, dan menjadi taruna infantri legiun Mangkunegoro, tiga tahun kemudian ia diangkat menjadi Kapten, lalu ia nikah dengan puteri KPH Surya  Mataram dengan sebutan baru RMH Gondokusumo. Karena kecakapan dan memiliki bobot kepemimpinan yang tinggi ia memperoleh kepercayaan dan terpilih menjadi pembantu dekat Mangkunegoro III dengan mengangkat pepatih Dalem (patih raja dalam urusan dalam) selanjutnya menjadi ajudan dalam dan terakhir menjadi komandan infantri legiun Mangkunegoro dengan pangkat Mayor. Agar lebih menjadi akrab lagi dengan Mangkunegoro III, maka ia dinikahkan pula dengan puterinya yang sulung bernama BRA Dunuk.[3]
Karena kepribadiannya yang kuat, cita-citanya yang tinggi, wawasannya yang jauh, kewibawaan yaitu dalam kemiliteran, ketrampilannya dalam pemerintahannya, kedalaman perasaannya dalam agama dan seni budaya, ia diangkat menjadi pengganti Mangkunegara III setelah beliau wafat, ia diangkat dengan sebutan Prabu Prangwadana letnan kolonel infantri legiun Mangkunegaran pada tanggal 14 Rabiul Awal tahun Jimawal 1781 atau tanggal 24 Maret 1853. Adapun gelar Mangkunegoro IV diraihnya pada hari Rabu Kliwon 27 Sura tahun Jimakir 1786, berdasarkan Surat Keputusan tanggal 16 Agustus 1857 dalam usia 47 tahun.[4]
Mangkunegoro IV telah mencapai kematangan dalam berbagai bidang sejak sebelum menjadi raja Mangkunegaran, oleh sebab setelah ia menduduki jabatan tersebut, ia segera mengambil inisiatif dalam bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, seni budaya dan lain-lain, sehingga ia memiliki otonomi penuh mengenai urusan ke dalam seperti halnya Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dan ia berhak mengatur pemerintahan sendiri, mengatur rakyatnya menjamin ketenteraman dan kesejahteraan mereka sebagai penguasa penuh di daerahnya. Bahkan ia merasa sebagainya raja ketiga di samping Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta sehingga pada masa pemerintahannya daerahnya bertambah luas hingga daerah Sukawati (Sragen) berkat bantuannya kepada pemerintah Inggris dalam menundukkan pemberontakan Sultan Yogyakarta.[5]
Dalam masa pemerintahan Mangkunegoro IV diterangkan bahwa beliau mengalami kemajuan dalam segala bidang sehingga Mangkunegoro IV merupakan negarawan yang cukup terpandang. Kebesaran Mangkunegoro IV terutama sebagai seorang sastrawan dan kebudayaan Jawa, dapat dilihat dalam karya-karya sastra yang dihasilkannya yakin antara lain, Tripama, Manukarsa, Nayakawara, Yogatama, Paramnita, Pralambang lara kenya, Langen swara dan lain-lain. Dari hasil-hasil karya sastra di atas, Mangkunegoro IV dipandang sebagai salah seorang sastrawan dalam masa kebangkitan[6]  kembali kesusastraan Jawa baru dalam masa Surakarta.

Versi Lain Penulis Serat Wedhatama 

Tentang siapa penulis Serat Wedhatama yang asli hingga kini ada beberapa versi dan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Serat Wedhatama itu hasil karya R. Ng. Ronggowarsito. Alasan yang mempunyai pendapat ini karena wileda (ikatan) kata demi kata sedemikian indah dan praktisnya sehingga mudah dihafal, itu ciri khas pujangga Ronggowarsito.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Wedhatama itu karya Raden Ngabehi Wiryokusumo, seorang bangsawan Mangkunegaran yang mengabdi di istana dengan Pangkat Mantri Langenprojo Mangkunegaran.
Meskipun tidak begitu seterkenal seperti pujangga Ronggowarsito, tetapi ternyata Rn. Ng. Wiryokusumo. Ini hasil karyanya digemari oleh umum pada zamannya, yaitu antara lain : Tembang Prana, Panitisastra dan lainnya lagi.[7]

Masalah tentang siapa pengarang Wedhatama mendapat perhatian penulis Barat antara lain Dr. P.A. Rinkes yang meragukan jika seluruh penulisan Wedhatama itu dikarang Mangkunegora IV karena penulisannya telah ikut di dalamnya Pakubuwono IX, Ronggowarsito, dan Wiryokusumo sebab sastra dan gaya bahasa dalam Wedhatama sangat berbeda dengan karya-karya yang lain. Tetapi para penulis Indonesia pada umumnya dan penulis suku Jawa khususnya tidak meragukan bahwa Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV. Hal ini terlihat dari berbagai penelitian di Indonesia khususnya di Jawa maupun dalam percakapan sehari-hari atau dalam bahasa lisan, kesemuanya mengatakan bahwa Wedhatama itu adalah karya Mangkunegara IV dengan beberapa pertimbangan yaitu :
1)      Gaya bahasa dan kandungan isi Wedhatama.
2)      Pencantuman nama pengarang dalam penerbitan Wedhatama mencantumkan Mangkunegara IV sebagai pengarangnya.
Berdasarkan analisis kandungan isi dan berbagai penerbitan yang penulis baca, penulis cenderung untuk berpendapat bahwa Serat Wedhatama adalah karya Mangkunegara IV, setidak-tidaknya karya yang dinisbahkan kepadanya.[8]

 

Arti  Serat Wedhatama

Dilihat dari arti katanya, Wedhatama berasal dari bahasa Sansekerta. Wedhatama, Menurut kamus Kawi-Indonesia karangan L. Mardiwasito, kata “wedha” berarti ilmu pengetahuan[9], sedang kata “tama” dari utama berarti baik.[10]
Menurut R. Tanojo, arti kata Wedhatama berarti pepathokaning putra. Dari kata wedha berarti pepakem (pathokan) dan tama/utama: berarti anak. Pepathokaning putra berarti pedoman bagi putra putrinya.[11]
Wedha adalah kawruh (bahasa Jawa): pengetahuan/ilmu/ajaran, sedang tama adalah utama: baik, luhur, dan sebagainya. Jadi Wedhatama adalah pengetahuan/ilmu/ajaran untuk mendapatkan/memiliki budi/jiwa yang baik/luhur bagi setiap insan.[12]

S. de Jong mengartikan Wedhatama sebagai “ajaran kesempurnaan” merupakan sebuah syair pendek, tetapi tersohor yang mengandung petunjuk-petunjuk praktis bagaimana hendaknya orang-orang priyayi mengatur hidupnya.[13]
R. Ng. Satyo Pranowo menyatakan bahwa Wedhatama merupakan atining tatakrama mendorong dan mendekatkan diri pada tercapainya cita-cita manunggal, yaitu tentang kebulatan sikap lahir batin berserah diri dan bersatu diri sepenuhnya dengan Penguasa Agung Yang Maha Tunggal (Tuhan YME).[14]

Ringkasan Isi Serat Wedhatama

Mangkunegara IV sebagai pengarang Serat Wedhatama bertujuan memberi nasihat dan petunjuk kepada ahli warisnya untuk memakai dan tetap melaksanakan ilmu agama yang telah turun temurun menjadi pegangan para kerabat kerajaan, yaitu Agama ageming aji  agama yang disandang para bangsawan. Nasihat ini dituangkan dalam empat bab, setiap bab memuat pola tembang pattern of a song yang sesuai dengan isi nasihat, pokok nasihat adalah petunjuk tata laku susila di dalam masyarakat dan di dalam menjalankan ibadat Islam, baik secara lahir maupun batin the observance of Islam in exotic and esoteric sense sehingga mencapai kenyataan dan pengetahuan tertinggi, ialah ma’rifat.
Bab I menggambarkan tingkah laku anak muda yang bertindak angkuh karena merasa mempunyai darah bangsawan dan mengandalkan cara ibadat Islam lahiriah saja.
Bab II memberi tata laku untuk orang muda dengan mengambil contoh Panembahan Senopati, raja pertama Mataram. Manusia harus dapat mengurangi keinginan naluri dasarnya, yaitu mengurangi makan dan tidur serta gelora nafsu lainnya. Untuk memantapkan hidup kemasyarakatannya harus menguasai tiga hal : arta – wirya –winasis : harta – kedudukan – pengetahuan.
Bab III menegaskan bahwa untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan, kita harus menjalankan tata laku susila dengan usaha pertama pandai mengendalikan nafsu angkara murka. Dalam hidup sehari-hari bersikap sila –trima – legawa : sila – menerima – serah diri.
Bab IV memerinci penerapan empat macam cara ibadat menuju kesempurnaan diri, yaitu sembah raga, kalbu, jiwa dan rasa. Wedhatama sebenarnya berisikan hasil pengamatan empiris secara cermat terhadap penghayatan hidup yang mempunyai tiga dimensi, kehidupan lahir (inner Life) dan kehidupan alam ghaib (the world of the unseen). Tata laku susila ditujukan terhadap ketiga dimensi kehidupan itu yang berpuncak pada penghayatan dan pengetahuan hakekat hidup dengan perjumpaan manusia dengan Tuhan sebagai Manunggaling Kawula – Gusti.[15]
Sesuai dengan judulnya Wedhatama yang berarti pengetahuan yang utama, maka Wedhatama adalah sebuah kitab wulang. Penulisan Serat Wedhatama merupakan hasil dari refleksi yang dalam dari kondisi kehidupan masyarakat Surakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pada dasarnya isi Serat Wedhatama berisi tentang cara mendidik anak yang baik dan nasihat-nasihat yang mulia. Dalam hal ini Serat Wedhatama terbagi menjadi 4 pupuh yaitu : pangkur, sinom, pucung, gambuh.[16]
1.      Pupur Pangkur. Dalam Serat Wedhatama ingin mengajarkan ilmu yang sempurna, yang menjadi pedoman bagi setiap orang yakni berisi tentang sopan santun. Syarat utama untuk memperolehnya ialah dengan mawas diri. Orang yang berhasil mawas diri akan menemukan dalam dirinya ketenteraman dan keserasian sehingga dapat menguasai dunia, itulah rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Pupuh Sinom. Berisi tentang keberhasilan mawas diri, adegan dalam Senopati, raja Mataram yang dalam hal ini mendapat gelar wong Ngeksigondo (orang yang hambanya) seorang raja teladan, ramah dan memasyarakatkan serta secara teratur menjalankan tapa (puasa), tetapi selamanya beliau tidak pernah mengasingkan diri dari masyarakat. Beliau telah mendapatkan pengalaman mistik, misalnya di pantai selatan beliau diberi pengertian mengenai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia pada umumnya.
3.      Pupuh Pucung. Berisi tentang kebijaksanaan sejati, kebijaksanaan yang sejati tidak pernah terlihat pada suatu tempat, sebagai contoh orang yang membanggakan pengetahuan dari Mesir,Belanda tetapi esensi dan sesuatu yang dicari terletak pada kepribadiannya sendiri.
4.      Hakekat kebijaksanaan tersebut adalah harus selalu dilaksanakan. Kedewasaan hidup menurut Mangkunegara IV meliputi : lilo (rela) narima dan legawa atau rela batinnya sudah pasrah, tetap sabar tulus ikhlas serta tawakkal atau berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan. Barang siapa ingin menghayati ilmu, harus dengan jalan mengekang hawa nafsu, perasaan tawakkal berserah diri terhadap kekuasaan Tuhan.[17]
5.      Pupuh Gambuh. Yakni mengungkapkan limpahan anugerah Tuhan YME harus ditebus dengan penghayatan mutlak, didasarkan pada kesucian batin, menjauhkan diri dari watak angkara murka (sifat egois yang berlebih-lebihan), serta ketekunan melakukan sembahyang 4 macam.[18]
Ringkasan ajaran dalam Wedhatama dapat diringkas menjadi 2 kelompok :
1.      Ajaran bagi para taruna (golongan muda)
a.        Dianjurkan agar mempelajari tata busana dan sopan santun, serta memahami sumber ilmu pengetahuan yang benar.
b.        Hendaknya yang bersikap angkuh atau menyombongkan diri (mentang-mentang mempunyai ilmu kekebalan) karena ilmu tersebut sebenarnya tidak dapat diandalkan, jangan sekali-kali bersikap sombong, mentang-mentang ayahnya berkuasa.
c.        Hendaknya dapat menilai dengan cermat segala macam ajaran sehingga akan dapat menempatkan ajaran tersebut dan memilih ilmu mana yang sekiranya sesuai dengan bakat pribadinya sendiri.
d.        Sadarlah dengan apa yang dimaksud menunaikan darma, yakni selagi hidup di dunia wajib bagi setiap manusia untuk berikhtiar meraih trisarana hidup, yaitu wisya, arta, wasis (keilmuwan, harta, kepandaian).
2.      Ajaran bagi golongan tua
Ilmu atau cara mendidik anak
Bagaimana caranya menentukan atau meyakinkan kebenaran suatu ilmu.
Bagaimana caranya menjalankan sembah sujud kehadirat Tuhan yang maha kuasa supaya tidak sia-sia usahanya menghadap Tuhan.
Orang yang dianggap tua adalah orang yang berilmu dan memahami ruas-rasa dan bukanlah tua karena umurnya.[19]
Jadi Wedhatama berarti ilmu pengetahuan tentang kebaikan. Tetapi bukan hanya pengetahuan yang baik tentang lahirnya saja tetapi baik dalam artian lahir maupun batin.

Naskah Serat Wedhatama

Serat wedhatama berbeda dengan serat-serat piwulang lainnya, karena kedudukannya yang sangat penting sejak dahulu sampai sekarang maka tidak mengherangkan jika ia lebugh banyak diminati, di bahas dan dikaji orang dari pada serat piwulang lainnya. Permasalahan serat Wedhatama  menyangkut dua hal pertama masalah naskah dan penerbitan, kedua masalah pengarangnya. Dalam hal ini sekurang-kurangnya ada empat macam versi Wedhatama:
  1. Wedhatama sayembara, terdiri atas Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Gambuh 21 bait, jumlah seluruhnya 65 bait.Dalam naskah Serat Wedhatama ada dua versi yang satu berjumlah 100 bait yang terdiri dari tembang : Pangkur, Sinom, Pucung, dan Kinanthi. Tetapi ada yang hanya terdiri dari 72 bait terdiri dari Pangkur, Sinom, Pucung dan Gambuh saja. Menurut yang berkeyakinan hanya terdiri dari 72 bait mengatakan bahwa yang 18 bait itu hanya tambahan saja.
  2. Wedhatama terbitan Van Der Heidi en.co 1885, di Surakarta, terdiri atas; Pupuh Pangkur 14 bait, Sinom 15 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 20 bait jumlah seluruhnya 69 bait.
  3. Wedhatama terbitan Ki Padma Susastra, Pujaarja Java Institut. S.Z. Hadi Sutjipto terdiri dari Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 18 bait,  Pucung 15 bait, Gambuh 25 bait, dan jumlah seluruhnya 72 bait.
  4. Wedhatama lanjutan terbitan Java Institut dan Yayasan Mengadeg, terdiri atas 5 Pupuh pangkur 14 bait, Sinom 18 bait, Pucung 15 bait, Gambuh 25 bait, Gambuh (lanjutan) 18 bait, jumlah seluruhnya 100 bait.
Keempat versi Wedhatama tersebut memperlihatkan beberapa persamaan dan perbedaan tentang jumlah pupuh Wedhatama versi pertama, kedua dan ketiga memperlihatkan persamaan sedangkan versi keempat di samping empat Pupuh tersebut masih ada lagi Pupuh lanjutan dan Kinanti.[20]
Menurut Anjar Any bahwa Serat Wedhatama yang asli adalah 72 bait dengan alasan sebagai berikut :
  1. Di dalam buku yang bertuliskan huruf Jawa dari museum Mangkunegoro, setelah bait 72 itu ada tanda “titi” artinya selesai. Kemudian pada halaman sebaliknya  ada keterangan “Sambungan dari Serat Wedhatama yang berdiri sebagai judul tersendiri. Dan pada akhir bait 100 ada tanda “titi” lagi.
  2. Dan kebiasaan memakai kata dapat dilihat bahwa antara 72 bait didepan dan 18 bait terakhir ada tanda “titi” lagi.
  3. Pada bait 1 s/d 72, apakah akan berganti tembang tentu ada kode. (mulanya wong anom sami..... akan masuk sinom, “pamucunge wring ..... akan masuk Pucung, “anggambar mring …..” akan masuk Gambuh).
Tetapi pada bait  73 dan seterusnya akan masuk Tembang kinanthi tidak ada kode seperti itu. Hanya setelah tembang itu tembang kinanthi ada petunjuk tentang Kinanthi Mangka kanthining tumuwuh.[21]

KONSEP METAFISIKA DALAM SERAT WEDHATAMA
 A.     Konsep Tuhan Dalam Serat Wedahatama
1.Tuhan Sebagai Dzat Yang Mutlak
Dalam setiap agama selalu diajarkan tentang Tuhan sebagai suatu prinsip dasar dari ajaran agama itu sendiri dan Tuhan dinyatakan sebagai pencipta semua yang ada ini. Semua agama prinsip dasarnya adalah keyakinan terhadap Tuhan.[22]
Tuhan yang merupakan sangkan paran hidup manusia haruslah dipatuhi dan dilaksanakan segala perintahnya dan dijauhi segala larangannya, agar kehidupan yang manusia jalani di dunia ini tidaklah menjadi sia-sia. Manusia sebagai makhluk Tuhan tergantung kepada Tuhan hendaklah manusia berserah diri dan berusaha agar manusia mendapat rahmat Tuhan.
Orang Jawa yang terbentuk karena kebudayaan Jawa akibat pengaruh filsafat Hindu dan filsafat Islam[23], meyakini terhadap Tuhan sebagai Sang Pencipta, karena dialah penyebab dari segala kehidupan, dunia dan seluruh alam semesta dan mengakui hanya ada satu Tuhan (ingkang Maha Esa).
Tuhan mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi. Menurut konsepsi agama Jawa, Tuhan adalah keseluruhan dalam alam dunia ini, yang dilambangkan dengan wujud suatu makhluk Dewa yang sangat kecil sehingga setiap waktu dapat masuk ke dalam hati sanubari orang. Tetapi Tuhan sekaligus juga besar dan luas seperti samudra, tidak berujung dan tidak berpangkal seperti angkasa, dan terdiri dari semua warna yang ada di dunia ini. Pandangan orang Jawa ini sifatnya pantheistis.[24]
Konsep keagamaan Jawa mengenai Tuhan dilambangkan sebagai Dewa Suci diadopsi oleh para pemuka agama dan para cendekiawan dan orang-orang yang selama kekuasaan Islam masuk ke pulau Jawa dan menulis kesusasteraan Jawa dengan unsur-unsur agama Islam di Mataram antara abad ke-16 dan abad ke-18. Kesusasteraan ini terdiri dari Serat Centhini, Dewa Ruci, Serat Darmo Gandhul, Serat Wedhatama dan Serat Gatholoco.[25]
Dalam Serat Wedhatama uraian tentang Tuhan, yakni mengenai zat, sifat, asma dan af’alnya, sesungguhnya hampir tidak disinggung secara jelas. Namun penyebutan Tuhan sebagai Dzat yang mutlak disini menggunakan istilah yang berbeda-beda, sesuai dengan konteksnya. Seperti yang diungkapkan dalam pupuh pocung bait ke 12:
Bathara gung                                  
Inguger graning jajantung             
Jenek Hyang Wisesa                       
Sana pasenedan suci
Nora kaya si mudha mudhar
Angkara

Arti:
Yang maha baik di tempatkan di
Dalam hati, yang maha kuasa
Kerasan ditempat peristishatan
Yang suci. Tidak seperti ulah
Si muda yang menuruti nafsu angkara.[26]

Kata Bathara gung pada ungkapan diatas merupakan nama lain untuk penyebutan Tuhan yang berada pada disetiap manusia, sehingga Tuhan Maha Mengetahui apapun yang diperbuat oleh hambanya didunia. Oleh karena itu segala perbuatan dan tingkah laku manusia haruslah diniatkan kepada Tuhan sebagai penghambaan dirinya kepada sang pencipta yang menguasai segala sesuatu.
Dalam pucuh pocung bait ke 11 diterangkan :

Lila lamun kelangan nora     

Gegetun, trima yen ketaman
Sakserik sameng dumadi
Tri legawa nalangsa ing Bathara

Arti:
Rela apabila kehilangan tidak
Masygul (kecewa), menerima (sabar) bila
Mendapat sesuatu yang menyakitkan
Hati dan orang lain, Tiga: ikhlas, menyerahkan
Kepada Tuhan.[27]                                                    

Maksud dari bait diatas adalah : manusia adalah makhluk Tuhan dan segala sesuatu yang terjadi pada alam ini dan manusia tergantung kepada Tuhan. Oleh karena itu manusia harus berserah diri, sabar dan ikhlas dalam menjalankan kehidupan ini, manusia dilarang berputus asa apabila segala keinginannya tidak tercapai karena semuanya adalah milik Tuhan. Manusia hanya wajib berusaha dan sabar menjalankan perintah Tuhan tetapi segala keputusan diserahkan dan mutlak ada di tangan Tuhan Yang Esa.
Menurut Ibn AlArabi sebagai salah seorang tokoh sufi besar Islam berpendapat bahwa Tuhan adalah mutlak, adanya Allah ialah karena dan untuk dirinya sendiri. Dia tidak terikat dan tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dia tidak menyebabkan segala sesuatu akan tetapi yang menjadikan akibat dan sebab. Alloh tidak terperikan oleh dan dengan segala sesuatu predikat apapun, karena ia tunggal. Dia adalah ada mutlak dan tunggal, maka sudah semestinya ada adanya oleh adanya Allah, dan tentunya ada adalah tunggal. Secara hakiki, bahwa ada bukanlah yang berganda atau jamak. Jadi dari yang tunggal mengalir yang ada tunggal, meskipun tampak sebagai kejamakan. Berdasar itu maka dapat dikatakan bahwa didalam Allah terdapat sesuatu keanekaan yang tidak bertentangan dengan ketunggalannya, dalam hal ini yang dimaksud adalah keanekaan logis dan berkaitan dengan yang dapat diungkapkan mengenai ada yang tunggal, tanpa menghancurkan ketunggalan tersebut[28], dan af’al Tuhan, Maha ungkapan yang-ada mutlak, yang tunggal, Allah tersebut. Bagi Ibnu Al’Arabi merupakan kenyataan tertinggi dan mutlak dalam dirinya serta untuk dirinya sendiri. Dia merupakan Dzat yang menjadi sebab bagi akibat dan sebab-sebab berikutnya. Sehingga Dia dipandang pula sebagai awal dari yang awal dan yang akhir. Meskipun tidak akan pernah berakhir, karena keazalian-Nya. Ke-Tunggalan-Nya menunjukkan pada sisi sifat yang dilekatkan pada-Nya. Sedang asma (nama) tumbuh sebagai akibat dilekatkannya sifat pada-Nya. Kemudian af’al (perbuatan) merupakan wahana bagi Dzatnya, yakni sebagai bukti keberadaan-Nya.[29]
Dalam Serat Wedhatama ada beberapa nama (istilah-istilah) yang digunakan untuk menyebut Tuhan seperti :
Allah                     (pangkur bait 12)        (Maha Esa)
Bathara Gung  (pocung bait 12)         (Maha Agung)
Hyang Wisesa  (pocung bait 12)         (Maha Kuasa)
Hyang Manon  (gambuh bait 6)          (Maha Melihat)
Hyang Sukma  (gambuh bait 16)        (Maha Roh/jiwa)
  Ingkang Mahasuci(gambuh bait 30)  (Yang Maha Suci)[30]
Adanya berbagai macam istilah yang digunakan untuk penyebutan Tuhan dan Serat Wedatama dikarenakan sesuai dengan tingginya kebudayaan Jawa dan khazanah bahasa Jawa yang amat kaya dan halus sehingga peristilah untuk penyebutan Tuhan disesuaikan dengan situasi dan kondisi batin hambanya dalam penghayatan kepada Tuhan yang dianggap sebagai suatu Dzat mutlak.

2. Yang Fana dan Abadi
Eksistensi Tuhan bersifat abadi dan tidak pernah berhenti, sehingga Tuhan sesungguhnya tidak pernah berhenti untuk mencipta dan penciptaan akan terus terjadi, karena penciptaan adalah bagian dari eksistensi Tuhan sendiri. Kerusakan hanya akan terjadi dalam wujud-wujud eksistensinya atau dalam ciptaan-Nya, termasuk manusia sebagai makhluk ciptaannya yang paling sempurna yang kadang bersifat sombong dan merasa paling hebat dengan kedudukan, harta dan akalnya sehingga membutakan dirinya sebagai makhluknya yang fana, tetapi pada eksistensi Tuhan sebagai sang Khaliq tidak akan mengalami kerusakan dan kebinasaan karena Dia bersifat mutlak dan abadi.[31]
Dalam Serat Wedhatama diterangkan bahwa alam semesta yang dihuni oleh makhluk hidup dibedakan menjadi dua alam yakni alam yang selalu berubah (fana’) dan alam yang tetap (abadi). Konsep mengenai hal tersebut antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke 14 yang berbunyi :


Sejatine Kang mangkana

Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi
Bali alaming  ngasuwung,
Tan karem karameyan
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira
Mulane wong anom sami.

Arti:

Sebenarnya yang demikian itu
Sudah mendapat anugerah Tuhan
Kembali ke alam kosong,
Tidak mabuk keduniawian
Yang bersifat kuasa menguasai,
Kembali ke asal mula
Oleh karena itu wahai anak muda.[32]

Dari kutipan diatas ditarik kesimpulan bahwa disamping alam tempat hidup manusia sekarang ini, dalam Serat Wedhatama berpandangan bahwa ada suatu alam lainnya yang disebut sebagai alam suwung. Ini merupakan tempat asal dan sekaligus tempat kembalinya manusia yang dapat memperoleh karunia Tuhan. Alam sekarang ini disebut pula alam kinaot (pupuh gambuh bait ke 13) yakni alam yang tinggi tingkatannya atau alam yang sangat istimewa indahnya.
Oleh karena kesempurnaan hidup merupakan tujuan utama bagi setiap manusia agar tercapai kebahagiaan hidup sejati baik pada kehidupan ini (fana’) maupun  kehidupan setelah mati. Kebahagiaan hidup sejati didunia ini bukan diukur dari keadaan terpenuhinya kebutuhan materil secara melimpah  tetapi sebaliknya berupa pemenuhan kebutuhan yang wajar, adil dan seimbang bagi keperluan jasmani serta rohaninya.[33]
Disamping itu  alam suwungipun disebut alam lama maot yang terdapat pada pupuh gambuh bait ke 17 yaitu:
Sayekti luwih perlu,
Ingaranan pepuntoning laku,
Kalakuwan tumrap kang bangsaning batin,
Sucine lan awas emut,
Mring alaming lama maot.

Arti:

Sebenarnya lebih penting
Disebut penghabisannya tindakan,
Tindakan yang bersangkutan dengan batin,
Pembersihnya dengan awas dan ingat
Kepada alam yang Maha Besar (dapat memuat)
Alam kelanggengan.[34]

Alam lama amot (maot) secara harfiah bermakna alam yang dapat memuat dalam waktu yang lama atau dengan perkataan lain langgeng atau abadi. Dapat pula diartikan sebagai alam baka atau alam akhir.
Dalam alam akhir inilah kita akan mengalami kehidupan akhirat sebagai lawan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang, dan jauh, kehidupan ini akan dialami oleh semua manusia tanpa terkecuali sesudah mati, kehidupan ini tidak bisa dijelaskan secara keilmuwan, karena diluar jangkauan keilmuwan sehingga untuk memahami realitas kehidupan akhirat harus melalui perenungan yang transenden, yang melintasi batas-batas dimensi fisik, ruang dan waktu yang terbatas. Melalui pengembaraan iman yang cerdas, yang secara ghaib menembus dinding dan pembatas yang berada dalam ruang dan waktu yang bersifat fisik, hakikat kehidupan ini tidak berada pada kepentingan-kepentingan duniawi yang sifatnya sementara seperti permainan yang segera berakhir.
Oleh karena itu hakikat kehidupan adalah kehidupan akhirat kehidupan jangka panjang yang hanya bisa dicapai dengan menekan keakuan dititik rendah, sebuah perjalanan yang amat panjang, yang hanya dapat dihayati dengan menjauhkan diri dari kesombongan.[35]
Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa bagi Serat Wedhatama ada kehidupan yang abadi yakni alam suwung yang merupakan alam asal dan tempat kembalinya manusia yang mendapat karunia Tuhan. Disamping itu alam suwung ini pun merupakan tempat bersemayamnya Tuhan itu sendiri. Hal ini diungkapkan  dalam pupuh pocung bait ke 12 :
“…Hyang Wisesa
sana pasenedan suci…”[36]
yang bermakna bahwa yang maha kuasa itu bersemayang dialam yang suci
Dari kehidupan dunia yang fana’ ini manusia akan menuju ke alam akhirat yaitu alam keabadian. Dalam Islam kehidupan akhirat adalah kehidupan yang berjangka panjang dan jauh yaitu sebuah perjalanan yang mengharuskan melalui tahapan-tahapan, baik untuk istirahat, membersihkan diri atau mengisi dan membawa bekal untuk perjalanan  berikutnya yaitu harus mengalami, hari kiamat, kebangkitan, pengadilan, hukuman dan pembalasan, baik sorga ataupun neraka adalah bagian dari kehidupan akhirat itu sendiri.
Pada hakikatnya kehidupan akhirat adalah perjalanan panjang menuju Tuhan, bukan perjalanan menuju sorga atau menghindari neraka. Karena  sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali juga kepadanya, perjalanan panjang menuju Allah dalam kehidupan akhirat dilakukan manusia pada tahapan nafsu dan nafs pada hakikatnya adalah transendental dari nafs yang terbatas menuju nafs yang tak terbatas (Tuhan).
B. Dualisme Yang Tunggal (Manunggaling Kawula Gusti)
Ajaran sangkan paraning dumadi yang berarti pangkal atau mula dan arah tujuan semua kejadian, menggambarkan suatu (filsafat) proses, kesinambungan awal-akhir, bagaimana permulaannya dan juga kesudahannya. Hal ini menumbuhkan pemahaman manungaling kawula Gusti.
Dalam Islam, konsep diatas bisa dipahami melalui perkataan yang selalu diucapkan seorang mukmin jika ada musibah, yaitu innalillahi wa inna ilayhi rojiun (sesungguhnya semua datang dari Allah dan akan kembali ke Allah). Pemahaman seperti itu menunjukkan bahwa apa yang menjadi sehat antar awal-akhir hidup ialah itu kita sendiri[37], untuk mencapai kemanggulangan antara hamba dan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) manusia harus mengatasi belenggu yang mengikat setiap individu dengan eksistensi fenomenal, seperti nafsu dan rasionalitas duniawi, yang menggiring manusia pada persepsi yang menyesatkan tentang kebenaran. Seorang yang ingin mencapai kemanunggalan (ahli mistik) harus bisa mengatasi egoismenya, bebas dari pamrih dalam melaksanakan kehidupannya.[38]
Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga kemampuan untuk berkonsentrasi dengan jalan pengendalian diri dan melakukan berbagai latihan semedi. Melalui latihan semedi diharapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, sehingga hal ini dapat memberikan keheningan pikiran, dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi, maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, yang pada saatnya akan dapat bersatu dengan Tuhan (pembimbing kawula Gusti, atau Manunggaling Kawula Gusti).[39]
Dalam Serat Wedhatama disinggung tentang landasan mengenai unsur fundamental realitas kehidupan yakni terkandung dalam pupuh pangkur bait ke 12 sebagai berikut :

Sapantuk wahyuing Allah

Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit
Bakat mikat reh mangukut,
Kukutaning jiwangga
yen mangkono kena sinebut, wong sepuh
Lire sepuh sepi hawa,
Awas loroning atunggil

Arti :
Barangsiapa mendapatkan wahyu Illahi ia akan segera memiliki kemampuan yang cemerlang dan mempelajari ilmu. Dan ia akan mampu mendapatkan dan mengatasi tata tertib bersamadi. Manusia yang demikian keadaannya baru dapat dikatakan sebagai juga sebab-sebab yang dimaksudkan dengan tua itu (haruslah mengandung makna) telah terbebas dari hawa nafsu dan waspada terhadap adanya dua macam unsur yang sebenarnya merupakan dwi tunggal.[40]

Berdasarkan isi pupuh diatas maka jelaslah bahwa menurut Serat Wedatama unsur fundamental daripada kenyataan itu adalah yang disebut jiwangga. Jiwangga adalah kependekan dari dua perkataan dalam bahasa Jawa “jiwa” dan “angga” yang artinya yakni jiwa dan raga atau badan. Dalam pupuh tersebut juga dijelaskan sekaligus, bahwa kedua unsur fundamental ini meskipun bagi orang kebanyakan atau pada umumnya kelihatan sebagai dua, namun bagi semua “sepuh” sebenarnya dapat diketahui sebagai tunggal. Jadi yang dua unsur tersebut dengan demikian sebenarnya merupakan satu hal juga. Dalam peristilahan Wedhatama disebut loroning manunggal (monodualisme).[41]
Dalam penghayatan paham Manunggaling Kawula Gusti menjadi tujuan hidup bagi orang yang bijaksana, hal ini diungkapkan dalam pupuh pangkur bait 13 sebagai berikut:

Tan samar pamoning sukma

Sinuksmaya winahya ing ngasepi,
Sinimpen telenging kalbu,
Pambukaning warana,
Tarlen saking liyep layaping
Aluyup
Pindha pesating sumpena,
Sumusuping rasa jati.

Artinya :
Agar tiada ragu terhadap bersatunya sukma Penghayatan ini terbuka di dalam penyepian tersimpan didalam kalbu Adapun proses terungkapnya tabir (penutup alam gaib)Laksana terlintasnya dalam kantuk bagi orang yang sedang mengantuk Penghayatan gaib itu datang laksana hiasan mimpi.[42]

Dari ungkapan diatas, Serat Wedhatama mengandung paham kesatuan manusia dengan Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dapat berarti beradanya manusia dalam Tuhan. Disanalah tempatnya yang sejati kesanalah ia harus kembali, karena oleh manusia ia seolah-olah berada diluar Tuhan. Dalam paham adalah bukan Tuhan, tetapi juga bukan dari pada Tuhan.
Selanjutnya dalam  pupuh gambuh bait 20, 21 dan 22 diterangkan tentang penghayatan makrifat pada Tuhan sebagai berikut :
Tarlen mung pribadinipun,
Kang katon tinonton kono.
Nging aywa salah surup,
Kono ana sajatining urub,
Yeku urub pangarep uriping budi,
Sumirat-sirat narawung,
Kadya kartika katonton.
Yeku wenganing kalbu,
Kabukane kang wengku-winengku
Wewengkone wis kawengku neng sireki,
Nging sira uga kawengku,
Mring kang pindha kartika byor.

Arti :
Tak lain hanya diri pribadinya
Yang tampak terlihat disitu.
Akan tetapi jangan salah pengertian
Karena disitu ada nyala sejati,
Yakni nyala yang menghidupkan budi,
Bersinar gemerlap
Laksana bintang yang tampak.
Itulah proses terbukanya kalbu
Menjadi nyata (antara Tuhan dan manusia) adalah saling cukup mencakup
Kerajaannya telah tercakup dalam dirian akan tetapi lain juga dikuasai
Oleh Dzat yang laksana bintang gemerlapan.[43]

Dalam penghayatan makrifat diatas tampak apabila rasa was-was telah hilang, yang ada hanyalah yakin dan percaya akan berlakunya takdir Tuhan.
Banyak istilah-istilah yang dipakai dalam mistisisme untuk menamai pengalaman mistik ini seperti, Pamoring Kawula Gusti, Jumbuhing Kawulo Gusti, Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga, union Mystica, Manunggal dan lain-lain. Thomas Aquinas menyebutnya dengan istilah Cognitio dei Experimentalis. Dalam pencapaian Manunggaling Kawula Gusti ada suatu tahap yang ingin dicapai manusia kepada level tertinggi  yaitu insan kamil dalam konsep Islam, aturan kepercayaan menyebutnya jalma winilis. Kalau dalam konsepsi Jawa menyebutnya (artinya penandhita seorang ilmuwan Barat Tielhard de Chardin memakai istilah titik omega sementara Radhakhishnan menyebutnya dengan istilah Samvadanya.[44]
Dalam Serat Wedhatama ilmu yang berusaha mencapai penghayatan dengan Tuhan disebut juga “Ngelmu Kang Nyata/Ngelmu Luhung/Ilmu Tarekat, untuk mempelajari ngalam nyata ini orang harus belajar pada seorang guru yang disebut Sarjana Kang Martapi, yaitu para pertapa yang bijaksana. Dan atau untuk mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama dirumuskan menjadi sembuh catur (empat macam sembah). Hal ini diungkapkan dalam pupuh gambuh bait I
Samengko ingsun tutur,
Sembah catur supaya lumuntur,
Dhihin raga, cipta, jiwa rasa, kaki
Ing kono lamun tinemu,
Tanda nugrahanung Manon,

Arti:
Sekarang saya berkata,
Empat buah sembah agar mawaris (kau tiru)
Pertama: Raga, Cipta, Jiwa dan Rasa anakku.
Disitu bila tercapai,
itu pertanda kebesaran Allah.[45]

Sembah Mangkunegara IV ada empat macam, yaitu:
Sembah raga: Menyembah Tuhan yang dilakukan seperti orang yang melakukan perjalanan, cara bersucinya dengan air (wudlu) dilakukan secara fisik, lima kali dalam sehari semalam, dijalankan sengan taat, tekun dan sabar, ditepati segala peraturannya menurut syari'at yang telah ditentukan.

Sembah kalbu: Menyembah Tuhan yang dilakukan dengan mengutamakan peranan kalbu, yang karenanya tdak disucikan dengan air, tetapi dengn menyucikan hati dan sifat-sifata tercela, dan berbaai bujukan hawa nafsu dan dengan memperbanyak latihan spiritual sehingga kalbunya dalam kondisi yang suci.
Sembah jiwa: Menyembah Tuhan dengan mengutamakan rasa awas dan ingat selalu kepadaNya, yang perlu dilakukan sehari-hari, yang disertai ketebalan iman dan keteguhan hati, memegang teguh niat dan tujuan, tidak mudah terpengaruh dan terkecoh apa saja yang terlihat dalam pengalaman rohaniahnya.
Sembah rasa: Menyembah Tuhan dengan rasa yang ada didalam inti jiwa atau ruh, sehingga terasalah hakikat kehidupan yang sebenarnya, sembah ini dilakukan secara batiniah semata-mata dengan penghayatan inti jiwa yang paling dalam.[46]
Dalam konsep sembah yang diajarkan oleh Mangkunegara IV menekankan aspek sembah lahiriah dan batiniah, yang sebetulnya konsep ini merupakan gradasi dari ajaran tasauf seperti syari'at, tariqat, hakikat,dan sampai puncaknya pada tahap makrifat.

C.     Kosmologi Dalam Serat Wedhatama
Kenyataan alam semesta pada hakikatnya adalah kenyataan yang dibangun dari kenyataan-kenyataan besar (makrokosmos) dan kenyataan besar sebagai keseluruhan pada dasarnya sangat gaib, metafisik, bersifat abstrak, yang pada hakekatnya tersusun dari satuan kenyataan-kenyataan kecil yang dapat dilihat, ditangkap dan ditimbang. Tetapi yang abstrak itu tidak berarti tidak ada, karena bangunan dan dasarnya bangunannya memang berasal dari kenyataan ada dan yang ada pada kenyataan-kenyataan satuan kecil yang secara empirik dapat dilihat, ditangkap dan ditimbang.
Dalam tahap ini, sesungguhnya ada dua kenyataan, yang pertama adalah kenyataan yang besar, keseluruhan yang abstrak, metafisik, gaib, yang hanya dapat dimengerti melalui konsep, dan kedua adalah kenyataan kecil (mikokosmos) satuan empirik yang dilihat, ditangkap dan ditimbang, oleh peralatan indera fisik. Dengan demikian, pembahasan kosmologi memperoleh posisi pengertian yang lebih jelas, yang pada dasarnya mencoba membahas hakikat alam semesta sebagai eksistensi Illahi. Tentang kenyataan alam besar, suatu wujud keseluruhan jenis, yang bersifat abstrak, yang dapat ditangkap dan dimengerti melalui konsep filsafat.[47]
Dalam Serat Wedhatama dapat kita jumpai suatu ajaran tentang konsep alam semesta yang terbagi menjadi tiga dunia (triloka), ajaran ini merupakan pengaruh dari filsafat Hindu yang mempunyai konsep mengenai dunia, manusia, dunia bawah dan dunia atas, tetapi dalam uraian ini tidak dijelaskan secara pasti, sebagaimana yang tercantum dalam pupuh pocung pada bait ke 2:


Angkara gung
Neng angga anggung gumulung,
Gegolonganira
Triloka lekere kongsi,
Yen den umbar ambabar dadi rubeda.

Arti:

Nafsu angkara yang besar
Didalam diri selalu berkumpul dengan kelompok nafsu
Sampai menguasai tiga dunia
Bila dibiarkan berkembang menjadi bahaya.[48]

Dalam kandungan diatas terdapat suatu peristiwa tentang perlunya pengolahan raga dan pengolahan jiwa, agar tercapainya kesatuan dari ke dalam daya kosmos universal sebagai tujuan untuk mencapai kesempurnaan dan kontrol terhadap sikap individualitasnya. Tindakan itu berupa pembebasan diri dari belenggu alam empiris (bersifat materi) menuju pada kondisi eksistensial secara transenden, dan terciptanya kesatuan mutlak manusia, yang digambarkan secara emanatif, sebagai penerang (cahaya) dan ia harus kembali ke asalnya (paraninng dumadi) yaitu Dzat kosmos (yang Illahi/mutlak). Untuk mencapainya kita harus bisa melawan dan melenyapkan ego kita, yakni perasaan yang menyibukkan kita dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan semu, sehingga menjauhkan kita dari segala yang konkrit yaitu sang pencipta dunia. Oleh karena itu kita harus mencapai kebebasan batin secara sempurna, yaitu dari material menuju tingkatan menjadi diri mutlak yang identik dengan ada mutlak (kenyataan hidup sejati).[49]
Sementara dalam pupuh gambuh bait ke 18 disebutkan:

Ruktine ngangkah ngukut

Ngiket ngruket triloka kakukut
jagad agung ginulung lan gagad alit,
Den kandelkumadel kulup,
Mring kelaping alam kono.

Arti:

Memeliharanya (caranya dengan)
berusaha menguasai, mengikat
merangkul tiga jagad dikuasai
jagad besar diguling dengan jagad kecil
perkuatlah kepercayaanmu anaku,
terhadap keadaan gemerlapnya alam itu[50]

Dari urian diatas dijelaskan bahwa manusia hidup dalam tiga “alam” (triloka) meliputi alam sejati, badan halus serta badan kasar. “Ada” yang tak berubah adalah suksma kawekas (Allah SWT). “Ada” yang kembali adalah sukma sejati (Rasulullah) dan Roh suci adalah “ada” manusia dalam badan halus. Ketiga-tiganya menurut ajaran R. Soenarto disebut Tri purusa, cermin dari  Tri purusa dalam badan halus inilah yang disebut Aku ego. Ego ini bertugas melindungi roh suci dari dorongan nafsu. Untuk itulah ego berdaulat dengan kemampuan angan-angannya yang berupa cipta, nalar, dan pengertian. Dalam hubungannya dengan tri purusa mestinya aku selalu eling, percaya dan mituhu.[51] Yang dimaksud  eling atau sadar ialah sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Dengan selalu sadar terhadap Maha Tunggal maka manusia akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat memisah-misahkan yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang bukan, yang berubah dan yang tidak berubah.
Yang dimaksud percaya ialah percaya terhadap suksma sejati atau utusan-Nya yang disebut guru sejati. Dengan percaya terhadap utusan-Nya yang disebut guru sejati berarti pula percaya kepada jiwa peribadinya sendiri serta kepada Allah, karena ketiga-tiganya adalah tunggal yaitu yang disebut tri purusa tadi. Sedangkan yang dimaksud mituhu ialah setia kepada dan selalu melaksanakan segala perintah Nya yang disampaikan melalui utusanNya. Sebab semua tugas baik yang diterima  manusia pada hakekatnya adalah tugas yang diberikan Allah.[52]
Dengan berlaku eling, percaya dan untuk manusia akan merasa yakin dan benar bahwa kehidupan tidak sekedar sekarang ini dan disini saja, melainkan masih berkelanjutan. Dengan dasar bahwa masih terdapat kehidupan yang nyata yaitu manusia harus kembali ke asal tujuannya, yakni Dzat hidup/jiwa alam semesta. Dzat kosmos/Brahman kapan manusia kembali ke asal tujuannya atau manunggal ? Berdasar pada pandangan mereka yang mengetahui adanya Dzat mutlak dan tertinggi, sebagai asal tujuan, maka jawaban terhadap pertanyaan tadi adalah bahwa hal tersebut terjadi dua tahap, pertama manusia sebelum meninggal dunia, dan kedua setelah manusia meninggal dunia. Meninggalnya manusia dengan dzat kosmis setelah meninggal dunia tidak dijelaskan secara jelas.[53] Manusia yang dalam Serat Wedatama mengalami tiga dunia (triloka) dimaksudkan sebagai alam semesta tempat manusia hidup yang disebutnya juga sebagai “jagad besar (ageng)” (makrokosmos).


             [1]   Moh. Ardani,  Al Qur’an Dan  Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-Serat Piwulang), (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm.13.
[2] Anjar Any, Mengungkap Serat Wedotomo, (Semarang: Aneka Ilmu, 1986), hlm. 83.
[3] S.Z.Hadisutjipto, Serat Wedatama, (Surakarta: Yayasan Mengadeg), hlm. 73.
              [4]      Anjar Any, Op. Cit. , hlm.86.
[5] Moh. Ardani, Op.Cit., hlm. 18-19.
[6] Simuh, Sufisme Jawa, (Yogyakarta: Bentang Budaya), 1996, hlm. 248-249.

[7] Anjar Any, Op. cit., hlm. 15.
[8] Moh. Ardani, Op. cit., hlm. 42-47.

[9] L. Mardiwasito, Kamus Jawa Kuno – Indonesia, (Flores Ende: Nusa Indah), 1978, hlm. 670.

[10] Ibid, hlm. 577.

[11] R. Tanojo, Wedhatama Djinarwo, Surakarta, 1963, hlm. 13.

[12] Yayasan Mangadeg Surakarta, Terjemahan Wedhatama, (Jakarta: Pradnya Paramita), 1979, hlm. 47.
[13] S. de Jong, salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius), 1976, hlm. 47.

[14] R. Ng. Satyo Pranowo, Bahasan dan Wawasan atas Serat Wedhatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, (Surakarta: KRT. Sarjono Darmosarkoro), 2000, hlm. 7.
[15] Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka), 1986, hlm. 50.

[16] S.Z. Hadisaputro, Serat Wedhatama, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), hlm. 71.
[17] R. Soedjonosedijo, Wedhatama - Winardi (bhs Indonesi), (Surabaya : Citra Jaya), 1987, hlm. 24.

[18] Anjar Any, Op.Cit,hlm. 74-77.
[19]  R. Parmono, Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset), 1985, hlm. 93.
[20]  Moh. Ardani, Op.Cit., hlm.40-41.
[21] Anjar Any, op. cit., hlm. 29.
[22] Musa Asyarie, Filsafat Islam Sunah Nabi Dalam Berpikir, (Yogyakarta: LESFI, 2001), hlm. 165.

[23] Budiono Heru Satoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Hanindita, 1985), hlm. 72
[24] Pandangan ini sebenarnya lebih tepat disebut pandangan theopanstis seperti yang disebut oleh ahli kesusasteraan Hindu Vath, ia menyarankan agar perbedaan antara pandangan pantheistis dan pandangan theopanstis ialah bahwa yang pertama “Semua adalah Tuhan”. Sedangkan, yang kedua adalah “Semua menjadi Tuhan.” Ahli kesusasteraan  Jawa P.J. Zoet Moelder, yang telah mengajarkan perbedaan itu menggunakan istilah pantheistis untuk kedua-duanya. Lihat Koentjoroningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 323.
[25] Ibid., hlm. 324
                [26]   K.G.P.A.A Mangkunegara IV, Serat Wedhatama, terj. S.Z.Hadi Stjupto (Jakarta: Pradnya Paramita , 1979) hlm.110-111.
[27]  Ibid,hlm.110..                   
[28] Zoet Mulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, terj. Dick Hattoko, (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 26.
[29] Usman, Mistisisme Serat Wedhatama (Lap. Penelitian intelektual) IAIN, SUKA Yogyakarta, 1999, hlm. 29.
[30]      R. Parmono, Op.Cit,. hlm.96
[31] Musa Asy’arie, Op.Cit., hlm. 179
[32]    K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, Op.Cit., hlm.90.
[33] Usman, Op.Cit., hlm. 111.
[34]   K.G.P.A.A. Mangkunegara, IV, Op.Cit,. hlm. 119.
[35] Musa Asy’arie, Op.Cit., hlm. 265.
[36]   K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, Op.Cit,. hlm.111.
[37] Ashad Kusumajaya, Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar, Membuka Pintu Maarifat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 31.
[38] Zoet Mulder, Mistisisme Jawa Idiologi di Indonesia, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 101.

[39] Koentjaraningrat,Op.Cit., hlm. 404

[40] K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, Op.Cit., hlm. 88.
[41] R. Parmono, Menggali Unsur-unsur Filsafat Indonesia, (Yogyakarta: Andi Offset, 1985), hlm. 97.
[42]    K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, OP.Cit.,    hlm.89.
[43]    K.G.P.A.A,  Op.Cit,. hlm. 122.
[44] Sujamto, Rekonstruksi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 2000), hlm. 69-70.
[45]   K.G.P.A.A, Mangkunegara IV, Op.Cit,. hlm.112.     
[46] Moh. Ardani, Al Qur'an Dan Sufisme Mangkunegara IV: Studi Serat-serat piwulang, (Yogyakarta: Dana BhaktiWakaf, 1995) hlm.365.
[47] Musa Asy’ari, Op.Cit., hlm. 195.
[48]   K.G.P.A.A, Mangkunegara IV, Op.Cit,. hlm.106. 
[49] R. Subagya, Kepercayaan Kebatinan, Kerohanian, Kejiwaan dan Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hlm. 89

[50] K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV, Op.Cit,. hlm. 218-220.
[51] Darmanto Jatman, Psikologi  Jawa, (Yogyakarta: Bentang, 1999), hlm. 33.

[52] Budiono Herususanto, Op.Cit., hlm. 79

[53] Usman, Op.Cit., hlm. 71.
lintasberita

Tidak ada komentar: