Sabtu, Juni 02, 2012

Pemikiran Gus Dur tentang Relasi Islam dan Negara


Masalah relasi Islam dan negara merupakan salah satu hal yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai alasannya di atas, yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi, karena menurutnya kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sektarian dan konflik horizontal.[1]
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak didirikannya negara Islam.[2] Pertama, argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi Baldatun T{ayibatun wa rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme yang berbeda satu sama lain,[3] padahal pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik seperti Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi komplementer dalam kehidupan negara.[4]
Apabila Islam dijadikan ideologi negara, berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh negara yang bersifat publik.[5]
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan kasih sayang, toleran dan keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir dalam konteks  protes terhadap ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya, seperti musyawarah, persamaan dan keadilan.[6]
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang ingin ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.[7]
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan Bachtiar Effendi, Gus Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis.[8] Ini dikarenakan gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi khazanah pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia sampaikan dalam sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur menunjukkan pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah konstitusi bagi republik ini.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar bahwa Pancasila  dijadikan asas dasar dan ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan kepercayaannya masing-masing”.[9] 

Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa tanpa Pancasila  negara Indonesia akan bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita miliki dan perjuangkan. Dan Pancasila  ini akan saya pertahankan dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan bersenjata, dimanipulasi umat Islam,  atau malah disalahgunakan oleh keduanya.[10]
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko pada tahun 1990-an, karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan dan jenuh mendengar Pancasila  yang selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari dipropogandakan dalam media massa. Seolah-olah Pancasila  saat itu telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan, dan sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila , seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .[11]
 Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan negara yang selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka, antara kaum nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq, berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama dan pandangan hidupnya.[12]
 Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya pemisahan wewenang fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu bagaimana ia menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak penerapan syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang “hukum Islam” yang dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang dilakukan atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi), bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u al-Ah}kam fi H{alati Imka>niyyah Wad‘ihi). [13]
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa rumusan Pancasila  sebagai ideologi negara  harus kita pegang teguh. Di samping itu, yang terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah pengaturannya (al-H{ukmu) bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi, tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.[14]
Ada beberapa teoritisi Islam seperti al-Mawardi (al-Ah}ka>m as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun (Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan ternyata paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu Khaldun.[15]
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan rasa ‘As}h}abiyyah (perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.[16]
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah fungsi negara sebagai penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh sebab itu tidak aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di Indonesia, sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas  penduduk di negara ini.[17]
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara pernah mengalami ketegangan politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap sebagai pesaing yang mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan relatif berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima Pancasila  sebagai satu-satunya asas organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.[18]
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam menetralisasi ketegangan kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam sebagai etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, mengembangkan Islam sesuai dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal pribumisasi Islam.  Dan kedua tawaran itu kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor komplementer dalam kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.[19]
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara penyampaiannya), Gus Dur menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan prilaku sosial yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh sebab itu, menurutnya selama tujuan masih tetap, maka cara penyampaian  menjadi masalah sekunder, dan yang dimaksud nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq al-Karimah.[20]
 Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi sebagai etika sosial yang memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai bentuk kenegaraan tertentu.[21] Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya  dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah, pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.[22] Selama kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU di bawah aksi politik yang dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal Pancasila, dan tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi tersebut. Lebih lanjut, Pancasila  dalam pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i tentang tiga jenis negara: Da>ru al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.[23] Dan Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang berideologikan Pancasila  ini, bisa dikategorikan dalam negara damai (Da>ru as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah politik Indonesia acapkali menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran kalau banyak orang yang menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus Dur membantah itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqih.[24]
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa pemikiran negara dalam Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik dan realistik.[25] Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur  sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan negara dapat  ditampung dalam pandangan Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam dijadikan sebagai faktor komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan kontroversial di mata masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis dan berbagai tuduhan minor lainnya.[26] Ini dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh tradisionalis, Gus Dur adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering memimpin ke mana para pengikutnya tidak mau ikut.[27] Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, menurutnya kita bisa melihat sepak terjang Gus Dur, baik dari sikapnya yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu terletak pada grand theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.

Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan menomorsatukan apa pun yang indikatif  terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.

Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh segala “kegamangan teologis” apapun.[28]

Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun 1984, retorika Gus Dur semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak bersikap positif dan fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa watak pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-sumber pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam nilai-nilai modernitas dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan kebudayaan tradisional.
            Untuk mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih sering menggunakan ideologi Pancasila  daripada Islam dalam melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian gagasan kunci politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya didasarkan pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.[29]
Bagi Gus Dur Pancasila  adalah ideologi nasional yang esensial untuk mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila  sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa  ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga sepakat mendukung sebuah negara nasional non Islam.[30]
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman Wahid dan penggunaannya terhadap Pancasila  dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau terlebih dahulu “keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun 1984. Padahal pada tahun 1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang dikenal dengan kembali ke khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya karena adanya keinginan untuk memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial, pendidikan dan keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi orde baru. Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan Pancasila  untuk membatasi kegiatan partai politik yang legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.[31]
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya sebagai Kepala Presiden yang relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan toleransi agama yang Gus Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat cina. Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak penganut Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun pada masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan Kepres No. 6 tahun 2000.[32]
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial, yakni pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah mendiskriminasikan sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan tetapi ide pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.[33]
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus menghadapi sebuah cita-cita politik yang bertolak belakang dengan trade mark pemikirannya, yakni adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan kembali “Piagam Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power negara. sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu melalui kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000, dua partai politik Islam (PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam Jakarta”[34] untuk dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen 1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan yang khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi agama, sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.[35]
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara. Pertama,  Gus Dur selalu ingin menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam menghadapi negara, karena ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran pribadi, bukan dari paksaan negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap sebagian masyarakat muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, merupakan konsekuensi dari pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni menempatkan masyarakat secara egaliter di hadapan negara. Karena  pengistimewaan agama tertentu dalam negara yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam, sikap dan gagasan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup jelas, yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis a vis negara. Yang mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus Dur, baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas muslim yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam membangun relasi Islam dan negara.


[1] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 78.
[2] Dikutip dari, Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002), hlm. 122-123.
[3] Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam, dan Tata Negara, hlm. 21-33.
[4] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 129.
[5] Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 125.
[6] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 127.
[7] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.
[8] Baca, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikian Islam Indonesia Masa Orde Baru, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 1990). Hlm. 29-81.
[9] Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 93.
[10] Dikutip dari pernyataan Gus Dur dalam, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik,  hlm. 80.
[11] Ibid., hlm. 85.
[12] Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam Budhy Munawar Rahman, Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 583. lihat juga Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.
[13] Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.
[14] K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, hlm. 55.
[15] Ibid.
[16] A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasai Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm.105.
[17] Ibid.
[18] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 132.
[19] Ibid., hlm 132-133.
[20] Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 75.
[21] Ibid.
[22] Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia,Prisma, no. 4 (April 1984), hlm 35. lihat juga, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.
[23] Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm 170.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] A. Gaffar Karim, Metamorfosis NU, hlm. 108.
[27] Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 95.                                                                
[28] Ibid., hlm. 94. Untuk lebih jelasnya baca,  Emha Ainun Nadjib, “Gus Dur Pelindung Minoritas,” Yogya Post, (12 April 1991).
[29] Douglas E. Ramage, Demokrasi, Toleransi Agama Dan Pancasila : Pemikiran Politik Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme Radikal,  hlm. 194.
[30] Pernyataan Wahid Hasyim, dikutip dari, Ibid., hlm 196. baca juga, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm.93.           
[31] Ibid., hlm. 200.
[32] Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 142.
[33] Ibid., 62.
[34] Tujuh kata itu berbunyi: …dan kewajiban menjalankan Syari‘ah Isla>m bagi para pemeluknya.
[35] Ibid., hlm. 145.
lintasberita

Tidak ada komentar: