Masalah relasi Islam dan negara merupakan
salah satu hal yang penting dalam pemikiran Gus Dur, oleh sebab itu banyak
orang yang melakukan review terhadap pemikirannya ini. Secara garis
besar bisa dikatakan bahwa arus pemikiran Gus Dur mengenai relasi Islam dan
negara dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan
antara agama dan negara, yang sejalan dengan pemikiran Ali Abd al-Raziq.
Berbeda dengan M. Natsir dengan berbagai
alasannya di atas, yang menginginkan Islam dijadikan kekuatan ideologi dan
dasar negara ini. Gus Dur sebaliknya, ia menolak Islam dijadikan ideologi,
karena menurutnya kalau agama, politik dan budaya diideologikan fungsinya akan
terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan
justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sektarian dan konflik horizontal.[1]
Menurutnya, ada dua alasan mengapa ia menolak
didirikannya negara Islam.[2] Pertama,
argumentasi normatif-teologis, yang menyebutkan bahwa Daulah Isla>miyyah (Islamic State) tidak pernah disebutkan
secara eksplisit dalam al-Qur’an. Memang dalam al-Qur’an ada ayat yang berbunyi
Baldatun T{ayibatun wa
rabbun Gafur, sebuah ayat yang lebih pada konteks sosiologis, yaitu
negara yang baik, penuh pengampunan Tuhan. Atas dasar inilah Islam tidak
memberi konsep yang jelas, melainkan hanya memberi nilai etik bagi kehidupan
bangsa dan negara.
Kedua, argumentasi historis, yaitu
berkaitan dengan fakta bahwa dalam sejarah Islam tidak pernah menunjukan adanya
mekanisme baku bagaimana suksesi dalam Islam. Ini bisa dilihat dari keempat
khalifah pertama sepeninggalnya Rasulullah, semuanya diangkat melalui mekanisme
yang berbeda satu sama lain,[3] padahal
pengangkatan seorang kepala negara merupakan kunci utama untuk mengetahui
sistem kenegaraan.
Selain itu, dalam konteks negara pluralistik
seperti Indonesia, menjadikan Islam atau agama apapun sebagai ideologi negara
hanya akan memicu disintegrasi bangsa, karena menurutnya sangat tidak mungkin
memberlakukan formalisme agama tertentu dalam komunitas agama masyarakat yang
sangat beragam. Oleh sebab itu, baginya pluralitas merupakan hukum alam atau Sunnatullah di negeri ini, dan seharusnya Islam dijadikan
sebuah nilai etik sosial (social ethics), yang berarti Islam berfungsi
komplementer dalam kehidupan negara.[4]
Apabila Islam dijadikan ideologi negara,
berarti akan membuka peluang intervensi negara terhadap agama dan politisasi
agama, padahal ajaran-ajaran agama itu sendiri bersifat privat, yang berjalan
di kalangan masyarakat melalui persuasif, bukan melalui perundangan negara yang
bersifat kohesif. Selanjutnya, Gus Dur menyatakan bahwa agama merupakan dimensi
privat yang paling independen dari manusia dan tidak boleh diintervensi oleh
negara yang bersifat publik.[5]
Baginya Islam adalah agama yang penuh dengan
kasih sayang, toleran dan keadilan. Untuk itu Gus Dur sepakat dengan aksioma
bahwa Islam adalah agama pembebasan (a liberating religion), yang lahir
dalam konteks protes terhadap
ketidakadilan di tengah komersial Arab dengan nilai-nilai dasarnya, seperti
musyawarah, persamaan dan keadilan.[6]
Pemaksaan formalisasi hukum Islam melalui
struktur negara, bagi Gus Dur, merupakan pengingkaran terhadap demokrasi yang
ingin ditegakkan di negeri ini, padahal dalam negara demokrasi nilai
egalitarianisme sangatlah dijunjung tinggi, bukan malah menjadikan pemeluk
agama lain menjadi warga negara kelas dua.[7]
Dalam pandangan Greg Barton, Fachry Ali, dan
Bachtiar Effendi, Gus Dur dikategorikan dalam aliran neo-modernis.[8] Ini
dikarenakan gagasan-gagasannya yang liberal dan tetap menggunakan esensi
khazanah pemikiran tradisional (legacy of past).
Berkaitan dengan ideologi Pancasila, yang ia
sampaikan dalam sambutannya saat menerima penghargaan Magsaysay, Gus Dur
menunjukkan pemikirannya dengan berkomentar mengenai prestasi umat Islam
Indonesia:
“Pada mulanya ada semacam pertentangan antara Islam, yang
saat itu ditawarkan dalam bentuk ideologi melawan Pancasila , di satu sisi
adalah pemberontakan kelompok militan muslim yang dikenal pada tahun 1950-an
sebagai Darul Islam. Sisi lain, pertentangan itu tercermin dalam kemacetan
sidang konstituante pada tahun 1959, yang ditugaskan menetapkan sebuah
konstitusi bagi republik ini.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia mampu menyelesaikan
masalah itu secara pasti, yaitu dengan menghasilkan sebuah formulasi mendasar
bahwa Pancasila dijadikan asas dasar dan
ideologi setiap organisasi, sementara agama tetap dijadikan landasan
kepercayaan. Pengakuan atas berbagai ragam agama dan ideologi nasional itu
memberi jaminan kebebasan bagi setiap pemeluk agama untuk menjalankan
kepercayaannya masing-masing”.[9]
Lebih dari itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa
tanpa Pancasila negara Indonesia akan
bubar, ideologi ini merupakan asas negara yang harus kita miliki dan
perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya
pertahankan dengan nyawa saya sendiri, tidak peduli apakah ia dikebiri angkatan
bersenjata, dimanipulasi umat Islam,
atau malah disalahgunakan oleh keduanya.[10]
Ini merupakan pernyataan yang penuh resiko
pada tahun 1990-an, karena pada saat itu rakyat Indonesia sudah sangat bosan
dan jenuh mendengar Pancasila yang
selalu disebut oleh pejabat-pejabat dan hampir setiap hari dipropogandakan
dalam media massa. Seolah-olah Pancasila
saat itu telah menjadi mantra pemerintahan dalam menjalankan kebijakan,
dan sempat menjadi ejekan karena semua kegiatan harus berlabelkan Pancasila ,
seperti pers Pancasila , ekonomi Pancasila , bahkan sepak bola Pancasila .[11]
Selanjutnya, mengenai relasi antara agama dan
negara yang selalu menimbulkan ketegangan sejak periode awal Indonesia merdeka,
antara kaum nasionalis dan kaum muslim. Gus Dur sebagaimana K.H. Achmad Siddiq,
berupaya untuk mencairkan ketegangan tersebut, dengan menyatakan bahwa Islam
sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan
maupun kolektif, sedangkan negara tidak mungkin memberlakukan nilai-nilai yang
tidak diterima oleh masyarakat yang berbeda-beda agama dan pandangan hidupnya.[12]
Singkatnya, Gus Dur menginginkan adanya
pemisahan wewenang fungsional agama dan negara yang berbau sekularistik. Lalu
bagaimana ia menanggapi tuntutan sebagian masyarakat yang selalu mendesak
penerapan syari’at Islam dengan mengundangkan secara positif dalam hukum
negara?
Untuk menjawab ini, Gus Dur berbicara tentang
“hukum Islam” yang dalam kenyataannya hanya berlaku sebagai panduan moral yang
dilakukan atas kesadaran masyarakat, mengikat dengan sendirinya (Mulzimun binafsihi),
bukan karena dipaksa negara. Dan menurutnya, sebuah hukum agama dapat
diundangkan negara apabila hal itu dapat berlaku untuk seluruh komponen
masyarakat, meskipun berbeda agama, (Wad‘u
al-Ah}kam fi H{alati Imka>niyyah Wad‘ihi). [13]
Sebagaimana yang ia katakan di atas, bahwa
rumusan Pancasila sebagai ideologi
negara harus kita pegang teguh. Di
samping itu, yang terpenting bagi umat Islam menurut Gus Dur adalah
pengaturannya (al-H{ukmu)
bukan al-Qur’an. Dalam Islam sendiri tidak mengenal sistem pemerintahan yang
definitif, seperti yang dikatakan negara bangsa (nation state) saat ini, memang
pernah ada tiga sistem yang dipakai dalam Islam, di antaranya sistem Istikhlaf, Bay‘ah, Ahl H{alli wa al-‘Aqdi,
tetapi ini hanya terjadi dalam tempo 13 tahun.[14]
Ada beberapa teoritisi Islam seperti
al-Mawardi (al-Ah}ka>m
as-S}ultaniyyah), Ibnu Abi ‘Arabi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun
(Muqadimah), yang telah banyak merumuskan konsepsi kenegaraan. Dan ternyata
paham kebangsaan ini, menurut Gus Dur pernah digali oleh pikiran cemerlang Ibnu
Khaldun.[15]
Dalam konteks ini, Gus Dur setuju dengan
pendapat Ibnu Khaldun yang menyatakan, bahwa agama saja tidak cukup untuk dapat
membentuk negara. Pembentukan negara, disamping paham keagamaan juga diperlukan
rasa ‘As}h}abiyyah
(perasaan keterikatan) untuk membentuk ikatan sosial kemasyarakatan. Sebab,
menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan
kebangsaan.[16]
Dan yang tak kalah penting menurutnya adalah
fungsi negara sebagai penyerap heterogenitas dan kepentingan masyarakat, oleh
sebab itu tidak aneh kalau Gus Dur menolak Islam sebagai ideologi negara di
Indonesia, sekalipun agama itu merupakan anutan mayoritas penduduk di negara ini.[17]
Di Indonesia, hubungan Islam dan negara
pernah mengalami ketegangan politik yang tajam, sebab Islam politik dianggap
sebagai pesaing yang mengusik basis kebangsaan. Ketegangan itu bisa dikatakan
relatif berhenti, setidaknya secara de jure, semua ormas Islam menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas
organisasi pada tahun 1980-an yang lalu.[18]
Ada dua hal yang ditawarkan Gus Dur dalam
menetralisasi ketegangan kedua pihak tersebut. Pertama, menjadikan Islam
sebagai etika sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua,
mengembangkan Islam sesuai dengan konteks setempat atau yang biasa dikenal
pribumisasi Islam. Dan kedua tawaran itu
kemudian mengarah pada penempatan Islam sebagai faktor komplementer dalam
kehidupan sosio-kultural dan politik di Indonesia.[19]
Dengan berprinsip al-Gayah wa al-Wasa>il (tujuan dan cara penyampaiannya), Gus Dur
menegaskan bahwa Islam bertugas melestarikan sejumlah nilai dan prilaku sosial
yang mengaitkan pencapaian tujuan dengan kemulian cara yang digunakan. Oleh
sebab itu, menurutnya selama tujuan masih tetap, maka cara penyampaian menjadi masalah sekunder, dan yang dimaksud
nilai dan prilaku tersebut adalah Ah}laq
al-Karimah.[20]
Jelaslah dengan demikian, Islam berfungsi
sebagai etika sosial yang memandu jalannya kehidupan bernegara bukan sebagai
bentuk kenegaraan tertentu.[21]
Pendapat-pendapat Gus Dur tersebut merupakan konsekuensinya dalam memperjuangkan demokrasi dan semangat
pluralisme di negeri ini.
Di samping itu, menurutnya dalam prespektif Ahl as-Sunnah wa al-Jama‘ah,
pemerintahan ditilik dan dinilai dari segi fungsionalnya, bukan dari norma
formal eksistensinya, negara Islam atau bukan.[22] Selama
kaum muslim dapat menyelenggarakan kehidupan beragama mereka secara penuh, maka
bentuk pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikirannya.
Dan atas dasar kerangka berfikir inilah, NU
di bawah aksi politik yang dimotori Gus Dur secara sadar menerima asas tunggal
Pancasila, dan tentunya dengan mendapat persetujuan para ulama organisasi
tersebut. Lebih lanjut, Pancasila dalam
pandangan NU merupakan ideologi bangsa yang sejalan dengan visi Imam Syafi’i
tentang tiga jenis negara: Da>ru
al-Isla>m, Da>ru al-H{arbi dan Da>ru as-S}ulh}.[23]
Dan Gus Dur sendiri dengan penuh keyakinan menyatakan bahwa pemerintahan yang
berideologikan Pancasila ini, bisa
dikategorikan dalam negara damai (Da>ru
as-S}ulh) yang harus dipertahankan.
Melihat kebijakan NU, yang dalam sejarah
politik Indonesia acapkali menunjukkan sikap akrab dengan negara, tak heran
kalau banyak orang yang menuduh NU sebagai organisasi opurtunistik. Namun Gus
Dur membantah itu, karena bagi NU, pedomannya bukanlah strategi perjuangan
politik atau ideologi Islam dalam artian yang abstrak, melainkan keabsahan di
mata hukum fiqih.[24]
Secara teoritis, Gus Dur juga mengakui bahwa
pemikiran negara dalam Islam telah terbagi menjadi dua arus, yakni idealistik
dan realistik.[25]
Dalam pemikiran idealistik menginginkan sebuah konsep kenegaraan yang
sepenuhnya berwawasan Islam, yang kemudian arus ini dinamakan Gus Dur sebagai kelompok alternatif.
Sementara pandangan realistik, lebih tertarik
pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis yang berkaitan dengan
negara dapat ditampung dalam pandangan
Islam, yang kemudian dalam konteks ini Islam dijadikan sebagai faktor
komplementer bagi ideologi negara.
Gus Dur seringkali memunculkan gagasan
kontroversial di mata masyarakat, baik ketika di NU, PKB maupun di
Pemerintahan. Oleh sebab itu, ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen,
agen Zionis dan berbagai tuduhan minor lainnya.[26] Ini
dikarenakan sepak terjangnya yang terkesan tidak membela Islam.
Bahkan menurut Liddle, di antara para tokoh
tradisionalis, Gus Dur adalah seorang tokoh yang paling unik, karena sering
memimpin ke mana para pengikutnya tidak mau ikut.[27]
Sedangkan meminjam analisis Cak Nun, menurutnya kita bisa melihat sepak terjang
Gus Dur, baik dari sikapnya yang biasa-biasa saja, yang kontroversial, yang
radikal, yang gendheng, maupun yang membingungkan. Karena semuanya itu
terletak pada grand theory yang tidak sukar dipahami.
Pertama, dalam perspektif universal ia bermaksud
menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya.
Kedua, dalam konstelasi keindonesiaan ia bermaksud
menerapkan suatu ideologi nasionalisme habis-habisan, yakni dengan
menomorsatukan apa pun yang indikatif
terhadap primordialisme dan anti-nasionalisme.
Ketiga, khusus kaitannya dengan Islam, Gus Dur
dengan segala resikonya berkehendak melakukan domestikasi atau pembumian
nilai-nilai Islam dalam kerangka nuansa kultural yang tak bersedia ditawar oleh
segala “kegamangan teologis” apapun.[28]
Sejak dipilih sebagai pemimpin NU pada tahun
1984, retorika Gus Dur semakin bernada liberal dan progresif, ia banyak
bersikap positif dan fleksibel dalam merespon modernitas, dan menegaskan bahwa
watak pluralistik dan multi komunal masyarakat Indonesia harus dipertahankan
dari kecenderungan-kecenderungan sektarianistik. Berkaitan dengan sumber-sumber
pemikiran Islam, ia mengkombinasikan antara apa yang baik dalam nilai-nilai modernitas
dengan komitmen terhadap rasionalitas, keulamaan dan kebudayaan tradisional.
Untuk
mendukung tujuan-tujuan demokratis dan sosialnya, Gus Dur lebih sering
menggunakan ideologi Pancasila daripada
Islam dalam melegitimasi partisipasinya dalam wacana politik dan pengekspresian
gagasan kunci politiknya. Dari sini bisa dilihat bahwa pemikiran politiknya
didasarkan pada visi politik yang demokratis, sekular dan nasionalis.[29]
Bagi Gus Dur Pancasila adalah ideologi nasional yang esensial untuk
mempertahankan kesatuan nasional. Pandangan ini menurutnya penting untuk
disampaikan karena beberapa muslim memandang Pancasila sebagai ideologi sekular yang tidak sesuai
dengan Islam. Ia kemudian menunjukkan bahwa
ayahnya, Wahid Hasyim, seorang pemimpin NU pada tahun 1945 juga sepakat
mendukung sebuah negara nasional non Islam.[30]
Untuk memahami sepenuhnya politik Abdurrahman
Wahid dan penggunaannya terhadap Pancasila
dalam mengembangkan demokratisasi, perlu ditinjau terlebih dahulu
“keluarnya NU” dari panggung politik formal pada tahun 1984. Padahal pada tahun
1983, NU adalah ormas Islam yang pertama kali menyetujui asas tunggal.
Keputusan untuk keluar dari politik atau yang
dikenal dengan kembali ke khittah 1926, menurut Gus Dur, bukan hanya
karena adanya keinginan untuk memusatkan perhatian pada tujuan-tujuan sosial,
pendidikan dan keagamaan, tetapi juga sebagai respons terhadap depolitisasi
orde baru. Singkatnya, NU ingin tetap menjaga independensi politiknya dan
menghindari intervensi serta manipulasi pemerintah, karena saat itu pemerintah
terus-terusan menekan politik Islam dengan menggunakan Pancasila untuk membatasi kegiatan partai politik yang
legal pada tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an.[31]
Selanjutnya, berkaitan dengan perannya
sebagai Kepala Presiden yang relatif singkat. Visi demokrasi, humanisme dan
toleransi agama yang Gus Dur perjuangkan semakin kuat, ini terlihat dalam upaya
pencabutan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat
istiadat cina. Dalam Inpres ini, terlihat tidak adanya pengakuan hak-hak
penganut Konghucu sehingga mereka terpaksa harus pindah ke agama lain, Namun
pada masa Pemerintahan Gus Dur Inpres No. 14 tahun 1967 itu dicabut dengan
Kepres No. 6 tahun 2000.[32]
Selain itu, ada ide yang lebih kontroversial,
yakni pencabutan Tap MPRS XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan
penyebaran Marxisme, Leninisme dan Komunisme, yang menurutnya telah
mendiskriminasikan sebagian warga dalam kehidupan publik dan negara. Akan
tetapi ide pencabutan kemudian memunculkan gelombang demonstran selama kurun
masa kekuasaannya dan akhirnya di tolak oleh MPR.[33]
Di luar masalah tersebut, Gus Dur juga harus
menghadapi sebuah cita-cita politik yang bertolak belakang dengan trade mark
pemikirannya, yakni adanya masyarakat muslim yang ingin menghidupkan
kembali “Piagam Jakarta” dan mengharapakan penerapan Syari‘ah Islam melalui power negara.
sebagai seorang demokrat Gus Dur tidak memangkas keinginan itu melalui
kekuasaannya, melainkan membiarkan rakyat untuk menguji wacana tersebut.
Akhirnya, pada Sidang Tahunan Agustus 2000,
dua partai politik Islam (PPP dan PBB) mengusulkan kembali “Tujuh Kata Piagam
Jakarta”[34]
untuk dimasukkan dalam pasal yang mengatur bab agama dalam proses amandemen
1945. Tetapi hasrat kedua parpol tersebut gagal, karena banyaknya kalangan yang
khawatir akan campur tangan negara terhadap agama dan politisasi agama,
sebagaimana yang pernah diungkapkan Gus Dur.[35]
Berdasarkan uraian panjang lebar di atas,
dapat disimpulkan beberapa hal pemikirannya mengenai hubungan Islam dan negara.
Pertama, Gus Dur selalu ingin
menjaga independensi keberagamaan masyarakat dalam menghadapi negara, karena
ketaatan seseorang harus muncul dari kesadaran pribadi, bukan dari paksaan
negara.
Kedua, penolakan Gus Dur terhadap
sebagian masyarakat muslim yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara,
merupakan konsekuensi dari pemahaman demokrasi yang ia perjuangakan, yakni
menempatkan masyarakat secara egaliter di hadapan negara. Karena pengistimewaan agama tertentu dalam negara
yang plural ini, berarti pengingkaran nilai-nilai demokrasi.
Ketiga, negara tidak boleh
mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama
tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan
menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan.
Sebagai seorang pemikir dan aktivis Islam,
sikap dan gagasan Gus Dur mengenai relasi Islam dan negara sebenarnya cukup
jelas, yaitu bagaimana membangun independensi agama dan para pemeluknya vis
a vis negara. Yang mana agama sebagai wilayah privat manusia seharusnya
tidak boleh dicampuri oleh siapapun.
Sikap itu begitu tegas disampaikan oleh Gus
Dur, baik melalui tulisan-tulisan maupun ceramahnya, yang menunjukkan bahwa ia
menolak bentuk formalisme agama dalam kehidupan politik, baik sebagai kehendak
masyarakat maupun sebagai kehendak negara. Hal ini juga bisa dilihat dari
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dideklarasikannya, partai mayoritas muslim
yang tidak melabelkan Islam, sebuah refleksi pemikirannya dalam membangun
relasi Islam dan negara.
[1] Dedy
Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 78.
[2]
Dikutip dari, Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan, (Jakarta: Lakpesdam, 2002),
hlm. 122-123.
[3]
Mengenai hal ini bisa dibaca lebih jauh dalam karyanya, Munawir Sjadzali, Islam,
dan Tata Negara, hlm. 21-33.
[4]
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 129.
[5] Khamami
Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 125.
[6]
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 127.
[7]
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 169.
[8] Baca, Fachry Ali dan Bachtiar Effendi, Merambah Jalan Baru
Islam: Rekonstruksi Pemikian Islam Indonesia Masa Orde Baru, cet. ke-2
(Bandung: Mizan, 1990). Hlm. 29-81.
[9]
Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru
Islam, hlm. 93.
[10] Dikutip
dari pernyataan Gus Dur dalam, Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm. 80.
[11] Ibid.,
hlm. 85.
[12]
Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Kerja di Indonesia, dalam
Budhy Munawar Rahman, Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina,
1995), hlm. 583. lihat juga Khamami Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.
[13] Khamami
Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 124.
[14]
K.H. Imron Hamzah dan Drs. Choirul Anam, Sebuah Dialog Mencari Kejelasan, hlm.
55.
[15]
Ibid.
[16] A.
Gaffar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasai Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995), hlm.105.
[17] Ibid.
[18]
Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur, hlm. 132.
[19] Ibid.,
hlm 132-133.
[20]
Abdurrahman Wahid, Mengurai Hubungan Agama, hlm. 75.
[21] Ibid.
[22]
Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia,” Prisma,
no. 4 (April 1984), hlm 35. lihat juga, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy
Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm. 169.
[23] Dedy
Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam, hlm 170.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] A.
Gaffar Karim, Metamorfosis NU, hlm. 108.
[27]
Dikutip dari, Dedy Djamaluddin Malik, dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru
Islam, hlm. 95.
[28]
Ibid., hlm. 94. Untuk lebih jelasnya baca, Emha Ainun Nadjib, “Gus Dur
Pelindung Minoritas,” Yogya Post, (12 April 1991).
[29] Douglas
E. Ramage, Demokrasi, Toleransi Agama Dan Pancasila : Pemikiran Politik
Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton dan Greg Fealy, Tradisionalisme
Radikal, hlm. 194.
[30]
Pernyataan Wahid Hasyim, dikutip dari, Ibid., hlm 196. baca juga,
Douglas E. Ramage, Percaturan Politik, hlm.93.
[31] Ibid.,
hlm. 200.
[32] Khamami
Zada, Neraca Gus Dur, hlm. 142.
[33] Ibid.,
62.
[34]
Tujuh kata itu berbunyi: …dan kewajiban menjalankan Syari‘ah Isla>m bagi para pemeluknya.
[35]
Ibid., hlm. 145.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar