Pemikiran M. Natsir tentang Relasi Islam dan Negara.
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir
menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia
merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam
adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan
bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih
dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama.[1]
Menurut A. Muchlis, M. Natsir
beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral
Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti
kalangan Kristen, Fasis Atau Komunisme.[2] Dengan
berdasarkan H{ujjah nas} al-Qur’a>n yang
dianggapnya mendukung pendapatnya tentang Islam sebagai dasar negara, Natsir
menyebutkan[3]:
و ماخلقـت الجن و الإنس إلا ليعبـد ون (الذاريات:٥٦)
Jadi, ia berkesimpulan bahwa cita-cita
hidup seorang muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah dengan
arti yang sepenuhnya, agar mendapat kejayaan dunia dan akhirat kelak.[4]
Namun demikian, untuk mencapai
kejayaan tersebut, menurut M. Natsir Allah telah memberikan aturan-aturan
kepada manusia, yakni :
Aturan atau
cara kita berlaku berhubungan dengan Tuhan yang menjadikan kita, dan cara kita
berhubungan dengan sesama manusia. Di antaranya aturan-aturan yang berhubungan
dengan sesama manusia, yang kemudian di antara aturan-aturan yang berhubungan
dengan muamalah sesama makhluk itu, diberikan garis-garis besarnya seseorang
terhadap masyarakat, dan hak serta kewajiban masyarakat terhadap diri
seseorang, yang saat ini diistilahkan dengan urusan kenegaraan.[5]
Untuk melacak pemikiran M. Natsir
tentang negara, menurut Ahmad Suhelmi ada dua faktor yang perlu diperhatikan. Pertama,
faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan
pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua,
faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya
melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler.[6]
Sedangkan dalam konteks eforia politik
Islam saat itu, wacana tersebut juga sedang hangat diperdebatkan di Timur
Tengah karena isu tentang sekulerisme juga sangat kuat di sana. Yakni pemisahan
antara agama dan negara seperti halnya yang diterapkan Kemal Fasya di Turki.[7]
Oleh sebab itu, tidak menutup
kemungkinan bahwa pemikiran-pemikiran
Soekarno banyak dipengaruhi oleh sekularisasi yang sedang terjadi di
Turki, dan di sisi lain, M. Natsir juga berkeinginan memposisikan Indonesia seperti
Pakistan yang telah menjadi Republik Islam, meskipun dengan cara memperkenalkan
Pancasila yang sebelumnya ia tentang
sendiri.[8]
Di samping itu, banyaknya ide
pembaharuan dari tokoh-tokoh Indonesia dan Timur Tengah yang melekat dalam jiwa
Natsir, juga telah ikut mempengaruhi pemikirannya dalam menggagas kenegaraan dalam Islam.
Khususnya dalam menyumbangkan pemikirannya tentang bentuk negara Indonesia yang
ideal menurut Islam, Padahal saat itu Indonesia
belum merdeka.
M. Natsir pernah menegaskan dalam
pidatonya dalam sidang Pleno Konstituante 12 November 1957 bahwa mengenai dasar
negara Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekulerisme; tanpa agama (La> diniyyah) dan paham agama (Dini>).[9] Dari
pernyataan tegas Natsir tersebut bisa disimpulkan bahwa M. Natsir telah
memberikan dua pilihan tersebut sebagai respon atas menguatnya dualisme
pemikiran Islam saat itu antara yang menginginkan dasar negara Islam dan
sekular.
Paham sekulerisme menurutnya sangat
berbahaya dalam membentuk masyarakat ke depan, karena paham ini akan
menagakibatkan manusia kehilangan pegangan hidup yang asasnya kokoh, yakni
gampang terserang penyakit syaraf dan
rohani, seorang sekulerisme memang beranggapan bahwa konsep tentang Tuhan
adalah relatif, yakni ditentukan oleh keadaan masyarakat sendiri, bukan oleh
Wahyu.[10]
Sebagaimana yang ia katakan bahwa
ajaran sekulerisme, selalu memandang remeh kehidupan agama, karena “menurunkan
nilai-nilai hidup manusia dari taraf kehidupan kepada taraf kemasyarakatan
semata-mata”.[11]
Paham inilah yang kemudian menjadi
salah satu faktor yang menggerakkan fikiran Natsir, sebagai pemikir Islam.
Dengan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Selain itu berdasarkan atas
alasan bahwa secara sosiologis,
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, dan masyarakat muslimlah yang
mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari bumi nusantara ini, di
samping itu baginya ajaran Islam mempunyai sifat yang sempurna bagi kehidupan
negara dalam menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan.[12]
Adapun Thohir Luth, memandang bahwa
alasan Natsir bersama-sama partai-partai Islam lainnya mengusulkan Islam
sebagai dasar negara karena tiga hal. Pertama, adanya fakta sosiologis,
yakni mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim. Kedua, adanya fakta
normatif yang jauh sebelum Pancasila
lahir, umat Islam di Indonesia telah menjadikan dan mengamalkan Islam
dalam kehidupan sehari-harinya. Ketiga, adanya komitmen yang sangat kuat
tentang Islam dalam diri Natsir, hal ini terbukti dalam pernyataannya yang
memperjuangkan Islam sebagai pedoman kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[13]
Kalau kita meminjam perkataan seorang
orientalis, H.A.R. Gibb, kata Natsir,
maka kita dapat simpulkan bahwa Islam is much more than a religious system,
it is a complete civilization, Islam itu lebih dari sebuah sistem
peribadatan, ia merupakan suatu kebudayaan yang lengkap dan sempurna.[14] Artinya
Islam tidak hanya membicarakan persoalan keakhiratan unsich, melainkan
juga masalah keduniawiaan, seperti masalah sosial politik, hukum dan
pendidikan.
Bukan hanya itu, Natsir juga
menyebutkan bahwa agama Islam adalah agama yang meliputi semua kaedah-kaedah,
hudud-hudud (batas-batas) dalam muamalah (pergaulan) masyarakat,
menurut garis yang telah ditetapkan oleh Islam.[15] Dengan
demikian bisa dikatakan bahwa berdasarkan : pertama. Watak holistik
Islam, kedua, keunggulan Islam atas ideologi dunia lain, dan ketiga, kenyataaan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas
masyarakat Indonesia, Natsir dan teman-temannya mengusulkan agar Islam
dijadikan ideologi bangsa Indonesia.[16]
Sedangkan menurut Ahmad Syafi’i
Ma’arif menyatakan bahwa ketika Mohammad Natsir berbicara tentang kelebihan
agama, mengemukakan dua premis pokok. Pertama, agama memberi kemungkinan
lebih banyak kepada pemeluknya untuk mencari ilmu pengetahuan dan kebenaran;
sedangkan dalam filsafat hanya mengakui tiga dasar berpikir tidak mengakui
adanya wahyu, yaitu empirisme, rasionalisme dan intusionisme. Kedua, jangkauan
agama meliputi seluruh aspek kehidupan.[17]
Dari pandangan-pandangan tokoh dan
pendapat Natsir sendiri, yang menyebutkan alasan historis sosiologis di atas;
mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat ironis jika
agama Islam menjadi minoritas di negara ini. oleh sebab, itu untuk memperkuat
ajaran Islam dalam jiwa masyarakat muslim Indonesia, Islam perlu dijadikan
dasar negara. apalagi dalam sejarah dinyatakan bahwa sejak Islam masuk di
Indonesia telah menjadi salah satu sumber kekuatan politik di nusantara ini,
ini terbukti dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam yang hampir semuanya
menjadikan Islam sebagai dasar ideologi kerajaan tersebut.[18]
Menarik untuk dicermati kembali isi
pidato Natsir, yang terkesan tidak
konsisten dalam menyatakan alasan. Sebelumnya ia berpendapat bahwa sudah
sewajarnya Islam dijadikan dasar negara karena secara sosiologis umat Islam di
Indonesia memang mayoritas jumlahnya, sedangkan dalam kesempatan lain ia
menyatakan:
“bukan
semata-mata umat Islam adalah golongan terbanyak di kalangan rakyat Indonesia
seluruhnya, kami memajukan Islam sebagai dasar negara kita, tetapi berdasarkan
pada keyakinan kami bahwa ajaran-ajaran Islam yang mengenai ketatanegaraan dan
masyarakat hidup itu mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara
dan masyarakat, serta dapat menjamin hidup keagaman atas saling harga
menghargai antara berbagai golongan di dalam negara ini”.[19]
Dengan usaha meyakinkan pada seluruh
lapisan bangsa Indonesia, M. Natsir juga menyatakan dalam pidatonya, “kalau
pun besar tidak akan melanda, kalupun tinggi malah akan melindungi”.[20]
Sedangkan
dalam sisi lain, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, bahwa pernyataan Natsir
sebagai salah satu anggota Masyumi tentang maksud suatu negara akan bersifat
Islam bukan berarti secara formal harus dinamakan negara Islam ataupun
berdasarkan Islam, tetapi negara disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam,
baik dalam teori maupun praktiknya.[21]
Dan mengenai dasar negara menurut Natsir dapat dirumuskan dalam klausul-klausul
yang bersifat umum sepanjang mencerminkan kehendak-kehendak Islam.[22]
Untuk
menjelaskan sebuah negara, menurut Natsir tidak perlu memberi definisi panjang karena
malah tidak akan menjelaskan pengertian apa-apa tentang negara ini, apalagi
sudah terdapat banyak pandangan tokoh yang berlainan dalam hal ini di
antaranya, Ibnu Khaldun, Machiavely, Hegel, Marx, Adam Smith, Robert Owen,
Plato, Agustinus, Hobbes, Rosseau dan lain sebagainya.[23]
Negara
menurut Natsir adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan
khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai
tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material, peraturan-peraturan
sendiri dan diakui oleh umum.[24]
Lebih
dari itu, Natsir menambahkan bahwa untuk sesuatu dinamakan institusi apabila[25]
:
Bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di lapangan jasmani
maupun rohani.
Diakui oleh masyarakat.
Mempunyai alat untuk melaksanakan tujuan.
Mempunyai peraturan-peraturan, norma-norma dan nilai-nilai tertentu.
Berdasarkan atas paham hidup.
Mempunyai keanggotaan.
Mempunyai daerah berlakunya.
Mempunyai kedaulatan atas anggotanya.
Memberikan hukuman terhadap pelanggaran atas peraturan-peraturan dan
norma-normanya.
.
Maka
negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai: a) wilayah. b)
Rakyat. c) Pemerintah. D) Kedaulatan. E) Undang-undang Dasar, atau suatu sumber
hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis. [26]
Melihat dari karakteristik yang disampaikan Natsir di atas, maka bisa dikatakan bahwa konsep negara yang
dinyatakan termasuk syarat-syarat negara modern.
Menurutnya,
dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan pokok-pokoknya saja,
seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat manusia yang tidak
berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman
unta, manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya.[27]
Mengenai
bersikerasnya M. Natsir dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara
republik ini, karena ia berpandangan bahwa negara bisa menjadi alat yang kokoh
bagi berlakunya hukum-hukum Islam.[28]
Dengan demikian negara hanyalah sebuah alat untuk mencapai tujuan, yakni
mewujudkan ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana
di atas, Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan
hanya alat untuk merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah, ia menyebutkan bahwa di antara aturan-aturan tersebut
yaitu kewajiban belajar, kewajiban zakat, pemberantasan perzinaan dan
lain-lain.[29]
Menurutnya negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan “kesempurnaan
berlakunya undang-undang Ilahi,baik yang berkenaan dengan kehidupan manusia
sendiri,(sebagai individu) ataupun sebagai anggota masyarakat”.[30]
Menanggapi
statemen tentang tidak adanya doktrin agama yang menyuruh dan mendirikan negara
sebagaimana dinyatakan oleh Soekarno,
bahwa tidak ada ijma‘ ulama yang memerintahkan membentuk negara
dibantah oleh Natsir, menurutnya pengutipan ijma‘ oleh
Soekarno tentang masalah ini hanya mempersulit persoalan.[31]
Menurut
Natsir, ada atau tidak adanya Islam, eksistensi negara nerupakan keharusan di
dunia ini dan di zaman apapun, mendirikan negara tidak perlu disuruh Rasulullah
lagi, eksistensi negara telah ada sebelum dan sesudah Islam, Jadi dengan Islam
atau tidak tetap saja merupakan sebuah negara.[32]
Melihat
pemikiran Natsir tentang dasar negara Indonesia di atas, menimbulkan kesan
bahwa Natsir selama perjuangannya adalah anti Pancasila, padahal dalam
pidatonya di depan Pakistan Institute of World Affairs pada 1952,
sikapnya yang anti Pancasila berubah. Ia
menyatakan bahwa:
Tidak
diragukan lagi Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena telah menyatakan Islam sebagai agama negara,
begitu pula Indonesia, menurutnya negara ini juga negeri Islam, karena
kenyataannya negara ini diakui sebagai agama rakyat, meskipun dalam konstitusi
kami tidak dinyatakan tegas sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak
mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan, bahkan kepercayaan tauhid (monothestic
belief) telah ditempatkan pada tempat teratas dari sila Pancasila , yang
berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spritual bangsa dan negara kita.[33]
Dalam
tulisannya yang berjudul “Apakah Islam bertolak belakang dengan doktrin
al-Qur’an ?”, Natsir mengatakan:
“Pancasila adalah formulasi lima
cita-cita kebaikan sebagai hasil dari konsensus para pemimpin kita pada tahap
perjuangan sembilan tahun yang lalu. Dan sebagai lima dasar kebaikan tidaklah
bertentangan dengan al-Qur’an, kecuali apabila dimasuki oleh sesuatu yang tidak
sesuai dengan al-Qur’an. Dalam pandangan umat Islam, rumusan Pancasila tidak memperlihatkan sesuatu yang asing dalam
ajaran al-Qur’an, dan meskipun tidak identik dengan Islam itu sendiri,
Pancasila telah mencakup cita-cita
islam.
Dan kemudian ia menambahkan, Pancasila
adalah manifestasi dari maksud dan cita-cita tentang kebaikan dimana
kita akan melakukan setiap usaha untuk meletakannya ke dalam praktik negara
kita.[34]
Namun
kemudian, Natsir terlihat inkonsisten dengan pendiriaannya, pada 1957 di sidang
konstituante ia kembali menolak Pancasila
sebagai dasar negara, karena ideologi ini dianggap sebagai hasil ciptaan
manusia dan tergolong sekuler. Dalan hal ini Syafi’i Ma’arif memandang bahwa
mungkin Natsir mengambil sikap keras dalam majelis karena telah terjadi
pengaburan interprestai Pancasila yang
dibuat-buat oleh masyarakat kita.[35]
Bahkan
dalam sidang konstituante tersebut, terang-terangan ia menyatakan bahwa sidang
konstituante adalah forum tempat mengemukakan pendapat dan pikiran anggota
secara lurus, jujur, dan mencerminkan pemikiran yang hidup di masyarakat. Oleh
sebab itu ia beranggapan bahwa kesempatan inilah yang tepat untuk menolak
Pancasila .[36]
Menurut
Njoto, salah satu tokoh komunis, mengatakan bahwa penerimaan Natsir terhadap
Pancasila selama 12 tahun sebagai dasar
dan ideologi negara sekedar “di bibir saja”, karena dalam majelis tersebut, ia
sepenuhnya menolak Pancasila , dan bahkan mengusulkan Islam sebagai dasar dan
ideologi negara.[37]
Dan
lebih keras lagi, Njoto menyerang pandangan Natsir di atas, dengan
mempertanyakan mengapa Natsir dalam sidang-sidang majelis, memperlihatkan
sikap-sikap “kejam” terhadap Pancasila
dengan menyebutnya tidak berdasar, netral, dan streril yang sepenuhnya
menolak Pancasila. Njoto kemudian mengajukan pertanyaan: Natsir yang mana yang
harus diikuti, apakah Natsir pada tahun 1954 atau Natsir pada tahun 1957? Atau
malah tidak kedua-duanya.[38]
Sebagai
seorang demokrat sejati Natsir harus menerima Pancasila sebagai dasar negara, yang telah diberlakukan
sejak 1945 sampai tejadinya perdebatan ideologis di majelis konstituante 1957.
Namun perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan Natsir dalam sidang konstituante
tersebut secara konstitusional adalah sah, karena pada saat itu majelis belum
menetapkan dasar negara baru yang permanen. Dan sebagaimana tokoh politik yang
lain, Natsir sebagai representasi dari pihak muslim berhak mengajukan Islam
sebagai dasar negara melawan pendukung Pancasila dalam momen itu.[39]
Perubahan
sikap Natsir dalam sidang konstituante saat itu, menurut Deliar Noer dipicu
oleh tiga alasan. Pertama, majelis konstituante merupakan forum
tertinggi bagi para anggotanya untuk mengusulkan ideologi negara yang mereka
yakini dan cocok untuk negara Indonesia. Kedua, dalam majelis, Natsir
dan teman-temanya memikul tanggung jawab agama dan politik dalam
memperjuangkan aspirasi politik umat
Islam, yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Ketiga, sebagaimana
wakil-wakil non muslim yang menjelaskan argumentasi usulan mereka, Natsir juga
menjelaskan usulannya secara argumentatif pula.[40]
Sementara
mengenai sistem pemerintahan suatu negara, Natsir mengatakan boleh saja meniru
negara non Islam asalkan tidak menyalahi ajaran-ajaran Islam, sebab dari
syarat-sayarat negara yang ia sebut di atas adalah tidak sepenuhnya sistem
negara Islam. Kemudian menyinggung soal nama penguasa negara, Natsir juga tidak
bersikeras menggunakan istilah-istilah penguasa Islam, menurutnya boleh saja
bernama khalifah, Amir
al-Mu‘minin, presiden dan lain sebagainya.[41]
Selain
itu titel “kholifah” menurutnya tidak menjadi syarat mutlak dalam pemerintahan
Islam, bukan conditio sine qua non, yang terpenting adalah seorang
kepala negara tersebut sanggup bertindak bijaksana dan menerapkan
peraturan-peraturan Islam dengan semestinya dalam susunan kenegaraan baik dalam
kaidah maupun praktiknya.[42]
Dan untuk syarat sebagai kepala negara Islam, Natsir menilai dari sisi:
agamanya, sifat dan tabi’atnya, akhlak dan kecakapannya dalam menjalankan
kekuasaan yang diberikan kepadanya. Jadi, bukan dari bangsa dan keturunannya
atau semata-mata keintelekannya saja.[43]
Dalam
menjalankan roda pemerintahan, seorang kepala negara menurut Natsir, wajib bermusyawarah dengan
orang-orang yang layak diajaknya dalam mengatur umat. Adapun untuk
urusan-urusan yang di luar ketetapan agama, semua boleh diatur menurut keadaan
zaman, dengan cara-cara yang Muna>sabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah
ditetapkan.[44]
Oleh
sebab itu, Natsir membolehkan umat Islam untuk mencontoh sistem negara lain,
dalam hal ini ia menuliskan:
Bila sudah ada sistem yang dikehendaki itu terdapat di negara-negara
lain, kita orang Islam ada hak mencontoh
negara itu selama tidak berlawanan atau bertentangan dengan aturan-aturan yang
diadakan Islam. Sebab tiap-tiap hasil kebudayaan, bukanlah monopoli salah satu
bangsa atau salah satu negara saja. Kita ada hak mengambil peraturan-peraturan
yang baik, yang tidak berlawanan dengan agama kita, dari Inggris, Jepang,
Rusia, atau dari Finlandia umpamanya.[45]
Dengan
demikian Natsir mengakui sistem pemerintahan sekular, sebab dari negara-negara
yang ia sebut di atas adalah negara yang memisahkan agama dan negara. dan lebih
spesifik, bisa dikatakan bahwa Natsir menganggap Islam tidak mempunyai sistem
negara yang lengkap sehingga ia harus mencontoh Barat.
Lebih
lanjut, Yusril Ihza Mahendra juga mengatakan hal yang sama, yakni contoh
negara-negara yang disebutkan Natsir di atas sangatlah liberal, karena Jepang
di masa itu adalah sebuah negara totaliter yang berhaluan fasis, apalagi Rusia
adalah sebuah negara komunis. Contoh-contoh itu lanjut Yusril, sengaja
ditunjukkan oleh Natsir, semata-mata ingin memeperlihatkan bahwa doktrin
politik Islam itu bersifat terbuka untuk beradaptasi dengan sistem-sistem
pemerintahan yang telah ada di dunia ini.[46]
Namun
demikian, ketika Natsir berbicara tentang sistem pemerintahan demokrasi, perlu
dicermati lebih lanjut, sebab dalam pandangannya prinsip musyawarah dalam Islam
tidak selalu identik dengan azas demokrasi, meskipun ia mengemukakan bahwa
Islam anti Istiibdad (despostisme), anti absolutisme dan
kesewenang-wenangan.[47]
Bukan berarti bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada
keputusan majelis Syura, sebab Dalam parlemen negara Islam
yang boleh dimusyawarahkan hanyalah masalah tata cara pelaksanaan hukum Islam
(syari’at Islam), bukan dasar negaranya.[48]
Dalam
Islam pengertian demokrasi diartikannya suatu aturan yang memberikan hak kepada
rakyat untuk mengkritik dan membetulkan pemerintahan yang zalim, kalau perlu
menggunakan kekuatan dan kekerasan untuk menghilangkannya.[49]
Natsir
mengakui bahwa demokrasi itu baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidaklah
menggantungkan semua urusannya kepada instrumen demokrasi, menurutnya demokrasi
tidak kosong dari berbagai bahaya yang terkandung di dalamnya. Ia menyatakan
bahwa perjalanan demokrasi dari abad ke abad telah memperlihatkan beberapa
sifatnya yang baik. Akan tetapi bukan berarti ia lepas sama sekali dari
pelbagai sifat-sifat bahaya.[50]
Dengan
tegas ia mengatakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip
sendiri, yang juga mempunyai sifat-sifat sendiri. Intinya “Islam tak usah
demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu…yah Islam”.[51]
Hal ini disebabkan karena politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada
kemauan mayoritas anggota parlemen. Keputusan itu tidak dapat melampaui H{udud (batas-batas) yang telah ditetapkan
Tuhan.[52]
Dari
uraian di atas, Natsir tidak menjelaskan bagaimana sesungguhnya demokrasi dalam
Islam. Namun kemudian dalam sidang konstituante 1957 ia memperkenalkan konsep
demokrasi yang ia maksudkan, “Thestic
Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandasakan pada nilai-nilai ketuhanan.[53]
Maksudnya keputusan mayoritas yang berpedoman kepada nilai-nilai ketuhanan,
yang kemudian ia anggap sebagai ijma’ yang mengikat untuk tempat dan
zaman tertentu.
Oleh
sebab itu, berangkat dari pandangan-pandangan Natsir di atas dapat ditarik
kesimpulan sementara bahwa hubungan Islam dan negara tidak dapat dipisahkan,
dan secara tersurat ia mendukung Islam dijadikan ideologi negara. kesimpulan
tersebut bisa dilihat dari pernyataannya bahwa:
Fungsi agama dalam negara sangatlah penting dan tidak boleh diabaikan
sama sekali, lebih lanjut ia mendefiniskan persatuan agama dan negara. Bagi
kita kaum muslimin negara bukanlah suatu badan tersendiri yang menjadi tujuan,
melainkan sebuah alat. Persatuan tersebut bukanlah dimaksudkan bahwa agama itu
cukup dimasuk-masukkan saja di sana sini kepada negara, bukan begitu!
Dan urusan kenegaraan pada dasarnya adalah satu bagian yang tak dapat
dipisahkan, satu “intergreerend deel” dari Islam. Yang menjadi tujuan
adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan
perikehidupan manusia sendiri (individu), ataupun sebagai masyarakat[54].
Dan
pada intinya. Pertama, sistem ketatanegaraan dalam pandangan Natsir
boleh meniru bentuk mana saja (Barat), asalkan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Kedua, menurutnya, hubungan agama dan negara dalam politik Islam
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab Islam tidak seperti agama yang
lain. Islam baginya telah menyediakan perangkat dasar yang dapat diterapkan
sesuai zamannya. Ketiga, berdasarkan fakta di atas, Natsir sebagai tokoh
muslim tampak ingin sekali menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Kemudian,
Natsir juga menghimbau kepada kaum muslimin agar dalam masalah persatuan atau
pemisahan agama dan negara ini tidak menjadikan “sejarah sebagai ukuran”
kebenaran terakhir.[55]
[1] M.
Natsir, Agama dan Negara, 128.
[2]
Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 87.
[4] M.
Natsir, Capita Selecta, hlm. 436.
[5] Ibid.
[6]
Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir,
hlm.73. lihat Juga, Kamaruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.
Deliar Noer juga berpendapat bahwa pandangan mereka ( Soekarno dan Natsir)
mewakili pandangan dua golongan besar di Indonesia, yakni golongan
nasionalis Islam dan nasionalis netral agama, baca Deliar Noer, Gerakan
Modern Islam, 315.
[7]
Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 61.
[8]
Ibid.
[9] M.
Natsir, Agama dan Negara, hlm. 204.
[10] Ibid.,
hlm. 206
[11] Ibid.
[12] Dikutip
dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 62.
[13] Thohir
Luth, M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya, hlm. 105.
[14] Anwar
Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan, hlm. 199.
[15] Natsir,
Capita Selecta, hlm. 437.
[16]
Bahtiar Efendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 107. Yang dimaksud
teman-teman Natsir adalah Kasman Singodimedjo,
Zaenal Abidin, Isa Anshari, dan K.H.Masjkur.
[17] Ahmad
Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante, cet. ke-3 (Jakarta:LP3ES, 1996) hlm. 164.
[18]
Dikutip dari Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 65. untuk lebih
lengkapnya mengenai kedatangan Islam dan perkembangannya di Indonesia.
Baca, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII:
Melcak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1994), hlm. 23-58.
[19] M.
Natsir, Agama dan Negara, hlm. 203.
[20] Ibid.
[21] Yusril
Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme, hlm. 205.
[22] Ibid.,
yang diperkuat dengan hasil wawancara antara Yusril dan M. Natsir pada 24
Oktober 1988.
[23] M.
Natsir, Agama dan Negara, hlm. 198.
[24] Ibid.
[25] Ibid.,
hlm 199.
[26] Ibid.
[27] Natsir,
Capita Selecta, hlm. 447.
[28] Ibid.,
hlm. 452.
[29] Ahmad
Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.
[30] Natsir,
Capita Selecta, hlm. 442.
[31] Ahmad
Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 89.
[32] M.
Natsir, Capita Selecta, hlm.442-443.
[33]
Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 66.
[34] Dikutip
dari, Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni, hlm. 72
[35]Ahmad
Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, hlm. 155.
[36] Deliar
Noer, Partai Islam, hlm. 141.
[37] Faisal
Ismail, Ideologi Hegemoni. 72
[38] Ibid.,
hlm. 73.
[39] Ibid.,
hlm. 74.
[40] Deliar
Noer, Partai Islam, hlm. 284-285. Lihat juga, Faisal, Ibid., hlm.
74.
[41] Natsir,
Capita Selecta, hlm. 447.
[42] Ibid.,
hlm.443..
[43] Ibid.,
hlm. 448. Baca juga Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 90
[44]
Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 69.
[45] Natsir,
Capita Selecta, hlm. 450.
[46] Dikutip
dari, Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 70.
[47] Ahmad
Suhelmi, Polemik Negara Islam, hlm. 91
[48] M.
Natsir, Capita Selecta, hlm. 452.
[49] Ibid.,
hlm. 439.
[50] Ibid.,
hlm. 452.
[51] Ibid.,
hlm. 453.
[52]
Kamarruzaman, Relasi Islam dan Negara, hlm. 71.
[53] Ibid.,
baca juga, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam, hlm. 79.
[54] Natsir,
Capita Selecta, 442.
[55] Ibid.,
hlm. 489.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar