Sabtu, Juni 02, 2012

Pluralisme Agama Menurut Islam


Pengertian Pluralisme Agama

Pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab dalam Islam Inklusif, bahwa umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami sebelumnya. Pleuralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena nyata.[1]
Pluralisme agama adalah hal ini, harus benar-benar dapat dimaknai sesuai dengan akar kata serta makna sebenarnya. Hal itu merupakan upaya penyatuan persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan terjadi “misinterpretation” maupun “misunderstanding”.
Pertama, bertolak dari akar kata yang pertama yaitu pluralisme. Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata “plural” yang berarti banyak atau majemuk. Atau meminjam definisi Martin H. Manser dalam Oxford Learner’s Pocket Dictionary: “Plural (form of a word) used of referring to more than one”.[2] Kata “plural” mempunyai akar kata sifat yaitu “Plurality” yang menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (second edition 1963, Oxford University Press, London) berarti “state of being plural”.  Sedangkan makna dari pluralism itu sendiri masih menurut Kamus The Advanced berarti: “The holding of more than one office, especially in the church, at one time”. Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme berarti: “Teori yang mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi”.
Akar kata yang kedua adalah agama, yang berasal dari kata “ugama” dalam bahasa Sansekerta yang berarti aturan-aturan. Dalam al-Qur’an, agama biasa dilambangkan dengan kata “diin”. M. Quraish Shihab, dalam Membumikan Al-qur’an mengatakan bahwa, agama adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah untuk memberikan penjelasan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat lebih-lebih bagi para pakar. Mengapa? Hal itu, masih menurut Quraish Shihab adalah disebabkan antara lain karena dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Adapun kemudahan yang dialami orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan.[3]
Lebih lanjut, dalam Wawasan Al-Qur’an, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.[4] Dalam Membumikan Al-Qur’an dijelaskan pengertian agama, sebagai hubungan antara makhluk dan khaliqnya yang mewujud dalam sikap batinnya serta tampak dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin dalam sikap kesehariannya.[5]
Menurut seorang Guru Besar di Al-Azhar, Syaikh Muhammad Abdullah Badran dalam Al-Madkhal ila Al-Adyan seperti dikutip dari Membumikan Al-Qur’an bahwa yang dikatakan agama itu merupakan hubungan antara dua pihak dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua.[6] Artinya agama adalah sarana penghambaan seorang hamba (‘abid) yang oleh al-Qur’an dinyatakan bahwa memang tugas manusia ialah beribadah, sedangkan Tuhan mempunyai otoritas untuk membalas ibadah yang telah dilakukan oleh hamba-Nya tersebut.
Dalam An Introduction to The Psychology of Religion, Robert Thouless (1971) mendefinisikan agama sebagai suatu sikap terhadap dunia, sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas dari pada lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu, lingkungan yang lebih luas itu adalah dunia rohani.[7] Jika Thouless menekankan agama sebagai sikap, maka William James berpendapat lebih luas dari itu. Seperti yang dikutip dari The Varieties of Religious Experience (1937) oleh Elizabeth K. Nottingham dalam Agama dan Masyarakat, James menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agama adalah: Perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian mereka … [dan] dalam hubungan dengan apa saja yang mereka anggap Tuhan.[8]
Sementara itu seorang ulama Mesir pengarang kitab Al-Fatawa, Syaikh Mahmud Syaltut mendefinisikan agama sebagai ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan seorang ahli bahasa di Oxford University, Martin H. Manser mendefinisikan agama (religion) sebagai: “Belief in and worship of God or gods, particular system of faith and worship based on such belief”.[9]
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat diambil pengertian yang mendasar tentang pluralisme agama sebagai bentuk kemajemukan, keragaman dalam beragama, dan itu merupakan sebuah realita yang harus diterima. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam klebhinekaan.[10]

Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama

Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah, ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan. Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian menjadikannya sebagai pengetahuan yang sangat berguna.
1.      Asal Mula Agama
Dalam Watch Tower Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung bahwa:
“Sejarah agama itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri. Demikianlah yang dikatakan oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita. Bahkan dalam peradaban yang paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang, ditemukan bukti peribadatan dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New Encyclopedia Britannica mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak religius.”[11]

Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana semua agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang berminat mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman hidup bagi manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka. Aturan itu kesepakatan  yang harus ditaati seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua pihak. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogkan hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan, maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi benturan dan tabrakan.[12]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi lancarnya lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yangakan memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan hati-hati (lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa yang mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam pengaturan di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila perincian petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama” (berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di luar dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[13]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti Muhammad, Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari berbagai agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang diakui sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa lambat lain apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui, dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri agama-agama besar, perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari agama. Lebih lanjut dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa dalam kebanyakan kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama yang sudah ada, meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi” sebagai sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang sudah ada yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [14]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana. Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا (المائدة: 5)
Artinya:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”. [15]

Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب عليه (البقرة: 37)
Artinya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [16]

Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata bertaubat Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat taubat, jadi agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan makhluk-Nya. Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة: 38)
Artinya:
“Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [17]

Apa yang diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu bahwa selama ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan hal-hal rohani. Manusia hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan pertanyaan-pertanyaannya, termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan religius diungkapkan dalam banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah atau Tuhan-Tuhan mereka, memohonkan berkat dan penghiburan.

2.      Persinggungan Antar Agama
Interaksi antar agama berbeda telah terjadi sejak beberapa abad yang telah lalu. Dan selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalil demi mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa.
Kalau ditelusuri, sebenarnya agama-agama yang ada saat ini adalah berasal dari induk yang sama yaitu agama tauhid. Hal tersebut berdasarkan kenyataan historis, bahwa Ibrahim (Abraham) menurut keimanan Yahudi, Nasrani, dan Islam diakui sebagai bapak agama. Ketiga agama samawi tersebut akarnya adalah dari Nabi Ibrahim as.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari sebagian cara ibadah mereka yang menurut tuntunan aslinya mengenal istilah sujud bagi yang dipujanya. Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Nasrani mengenal itu sebagai rangkaian ibadah mereka. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan bahwa, dari luar, banyak agama yang dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu sama lain. Namun jika, jika kita menanggalkan hal-hal yang hanya merupakan bumbu-bumbu dan yang ditambahkan dikemudian hari, atau jika kita menyingkirkan perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa keadaan tertentu dari negeri asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan betapa serupanya kebanyakan dari agama-agama tersebut.[18] Memang banyak persamaan diantara agama tersebut disamping perbedaan yang sangat menonjol, terutama masalah keimanan yang akhirnya mengalami perkembangan sesuai pengalaman batinnya masing-masing.
Adanya persamaan-persamaan tersebut ternyata tidak cukup membuat mereka untuk tidak bersitegang antara yang satu dengan yang lainnya. Dapat dilihat tentang bagaimana sikap permusuhan orang Yahudi terhadap Nasrani yang begitu banyak menelan korban. Yesus (Isa al-Masih) dikejar-kejar dan akan dibunuh karena sebagai utusan Tuhan dia ternyata bukan berasal dari Yahudi (kebencian serupa juga terjadi pada diri nabi Muhammad Saw).
Dalam surat al-Baqarah ayat 87 diceritakan tentang kebencian mereka terhadap para utusan Allah dari kalangan Nasrani, yaitu:
ولقد آتينا موسى الكتاب وقفينا من بعده بالرسل وآتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس افكلما جاءكم رسول بما لا تهوى انفسكم استكبرتم ففريقا كذبتم وفريقا تقتلون (البقرة: 87)
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” [19]

Petentangan antara Yahudi dan Nasrani tergambar dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 113:
وقالت اليهود ليست النصرى على شيء وقالت النصرى ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب كذلك قال اللذين لا يعلمون مثل قولهم فالله يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون (البقرة: 113)
Artinya:
“Dan orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan,”padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” [20]

Di dalam surat ar-Ruum ayat 2-5 diceritakan hubungan emosional antara umat Islam Makkah dengan Umat Nasrani  Romawi pernah terjadi, saat tentara Romawi dikalahkan oleh tentara Persia (Majusi), umat Islam merasa sedih dan terpukul. Namun tatkala tentara Romawi dapat memenangkan peperangan, umat Islam Makkah merasa senang. Mengapa demikian? Hal itu karena adanya ikatan emosional sebagai sesama penganut agama Tauhid.
Asal-usul Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah satu. Agama Yahudi dan Kristen adalah dari Nabi Ibrahim as. dan Sarah yang menurunkan garis keturunan Nabi Ishaq as. sampai pada Nabi Isa as. Sedangkan Siti Hajar melahirkan garis keturunan Nabi Ismail as. sampai pada Nabi Muhammad Saw. Sebagai pembawa ajaran dan tradisi agama Islam.[21]
Namun hubungan umat Islam dan Kristen menjadi rusak dengan meletusnya perang salib. Perang yang menghabiskan kerugian materi yang tidak sedikit. perang yang membuat dendam kuat mengakar dihati sanubari generasi kedua agama besar tersebut. Meski sebenarnya banyak orang tidak mengetahui siapa yang memulai peperangan itu, mengapa berperang, atau bagimana peperangan itu dimenangkan.[22] Warisan perang salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan, serta masing-masing senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama dan kisah-kisah kepahlawanan para nabi terdahulu melawan kaum “kafir”.
Itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa ternyata hubungan antar agama lebih banyak diwarnai konflik. Konflik anta agama merupakan konflik yang sangat rumit dan sulit mengatasinya tanpa dilandasi kesadaran mencari titik temu kreatif bagi pencipta sebuah kedamaian yang hakiki.

Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini

“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological Semanary, New York)
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks, Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon, Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[23]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi, sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabar oleh ketidakpahaman manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain. Untuk itu Klause Meine[24], salah seorang pentolan group musik terkenal asal Jerman-Scorpions, dalam salah satu syair lagunya mengatakan:
“Do you ever ask your self there is heaven in the sky. Why can’t we get it right. Cause we all live under the some sun we all walk under the some moon. Then why, why can’t we live as one” (Gold Albums)

Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan, situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.      Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai saat sekarang ini, seperti termuat dalam tidak hanya dalam buku-buku polemis, tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika, 24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak konsili Vatikan ii (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions) sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan kepatuhan kepada Allah.  Namun dengan adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada, jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa ada banyakjalan menuju ka’bah? … oleh karena itu apabila yang anda pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat  tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu tujuan.”

Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk dikaji, yaitu surat al-Baqarah ayat 62

ان الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)


Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati” [25]

Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[26] menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana), percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk, beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[27]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan itu akan terlaksana.[28]

2.      Sentimen Keagamaan, Fanatisme dan Fundamentalisme
Sentimen keagamaan sebagai perasaan tidak menyukai hadirnya orang yang beragama lain disekitarnya atau bahkan dalam kehidupannya merupakan sikap kekanak-kanakan dan sangat tidak familer. Sikap seperti ini pada akhirnya akan selalu menimbulkan kebencian yang mudah sekali meledak menjadi konflik tatkala tercipta kondisi yang tidak menyenangkannya. Hal serupa juga terjadi pada fanatisme, sebagai sebuah perasaan cinta yang berlebihan terhadap agamanya. Fanatisme dalam artian kecintaan yang berlebihan terhadap agamanya pada dasarnya tidak dilarang, hanyasannya diharapkan tidak menyebabkan seseorang meremehkan atau menyalahkan orang yang berlainan agama.
Umat beragama diharapkan dapat menempatkan arti fanatisme secara benar dalam kehidupannya. Fanatisme pada dasarnya adalah kekuatan iman yang ada di dalam jiwa, dan apabila ternyata mencuat kepermukaan dalam bentuk kekerasan sudah merupakan sikap sentimen keagamaan. Dan itu jelas sangat merugikan kerukunan hidup beragama yang selama ini dengan susah payah berusaha dijalin.
Pada dasarnya agama adalah penganjur kedamaian, maka dengan adanya fanatisme hendaknya tidak mengaburkan tujuan agama tersebut. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah, ada dikutip sebuah pernyataan dari Charles Caleb Colton (1825), ia mengatakan:
“Manusia akan bergumul demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi itu; berbuat apa saja kecuali hidup demi itu. Apabila agama yang sejati mencegah satu kejahatan, agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan kejahatan”.[29]

Berbicara tentang sentimen keagamaan dan fanatisme pada dasarnya tidak akan terlepas dari rasa emosional umat beragama. Umat beragama tidak akan senang dan tidak akan membenarkan orang lain merendahkan martabat agama yang diyakini kebenarannya. Namun, pelampiasan emosi juga bukan merupakan solusi terbaik mengingat begitu banyak kepentingan yang dapat membawa umat menuju kesadaran hidup damai tanpa darah dan permusuhan.
Jelaslah bahwa perkembangan kehidupan agama sangat tergantung pada daya tangkap intelektual dan penghayatan para pemeluknya. Persoalannya, seperti yang dinyatakan A. Malik Fadjar, (2000), keberagaman seperti apakah yang dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat milenium baru ini? Pertanyaan ini agaknya memerlukan perenungan secara mendalam mengingat kehidupan beragama saat ini justru menghadapi persoalan pada tingkat penghayatan.
Fenomena yang terjadi saat-saat ini, tentang timbulnya sentimen keagamaan, fanatisme buta, dan fundamentalisme adalah persoalan pada tingkat penghayatan tentang agama. Memang beberapa futurology seperti John Naisbitt dan Patricia Aburdene, menangkap adanya kegairahan dalam beragama yang mereka sebut dengan kebangkitan agama. Tapi jika dicermati lebih mendalam lagi, apa yang disebut dengan kebangkitan itu masih berada pada tataran penghayatan skriptual, simbolik, dan eksklusif serta sarat dengan klaim-klaim kebenaran (truth claim). Meskipun mengundang perdebatan, banyak dari kalangan pengamat sosial-keagamaan yang menyebut keberagaman semacam itu dengan fundamentalisme.
Sebuah fundamentalisme, apapun bentuknya, menurut Malik Fajar (2000) biasanya bermakna “pejoratif”, dan mengundang kekhawatiran dari pihak lain, tak terkecuali dalam kehidupan agama. Setidaknya ada tiga ciri utama dalam fundamentalisme agama ini. Pertama, dalam memahami agama lebih mengutamakan teks. Segala bentuk penafsiran dihindari, karena dikhawatirkan akan mereduksi absolusitas dan universalitas kebenaran agama. Dengan pemahaman seperti ini kalangan fundamentalisme agama dikatakan terpasang oleh teks.
Kedua, agar pemahaman yang tekstual atau skriptual itu selalu diakui otoritasnya, fundamentalisme agama melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolitik dan otoritatif. Pemimpin ini diberi hak penuh dalam menentukan hitam putihnya agama.
Ketiga, sebagai konsekuensi pertama dan kedua, klaim-klaim kebenaran menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Klaim-klaim ini biasanya menyimpan “prejudice” terhadap kelompok agama lain.
Nuansa fundamentalisme belakangan ini sudah merasuki pada sebagian masyarakat. Hal ini dapat diamati dari sejumlah tindakan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut sinyalemen, tindakan kekerasan itu salah satunya dipicu oleh praktik manipulasi simbol-simbol agama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang bertujuan meraih kepentingan sesaat (Syamsul Arifin, 2000: ix). Jelas bahwa, fundamentalisme agama merupakan contoh keberagaman parsial yang berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan destruktif dalam kehidupan sosial.

3.      Kondisi Politik, Sosial dan Ekonomi
Bagaimanapun kondisi politik sebuah negara, situasi sosial dan ekonomi akan mempunyai andil dalam menciptakan konflik yang terjadi antar agama. Seperti dinyatakan John L. Esposito dalam Political Islam: Beyond The Green Menace (diterjemahkan dengan judul Bahaya Hijau !) bahwa perang salib dalam masa kerajaan Utsmaniyah menunjukkan walaupun akar teologis Kristen dan Islam sama, namun akibat kepentingan politik dan agama yang terus bersaing menghabiskan sejarah konfrontasi dan peperangan.[30]
Di Indonesia, elit politik secara manis dapat bermain di sela-sela sentimen keagamaan dengan memanfaatkan para pemuka agama untuk dapat mengajak umatnya mendukung partai tertentu. Dan ternyata memang cukup manjur. Namun yang terjadi akhirnya adalah terjadinya benturan antara dua kubu yang berbeda untuk membela salah satu partai politik yang diyakini juga membela agamanya. Karena sesuai dengan propaganda bahwa partai yang bersangkutan adalah partai yang memperjuangkan hak-hak agama tertentu.
Keadaan ekonomi dalam sebuah negara akan berkaitan  erat dengan keamanan negara. Bila ekonomi kuat, baik maka negara akan relatif aman. Namun jika ternyata kondisi ekonominya menyedihkan, maka di sana sini akan timbul situasi sosial yang penuh dengan gejolak. Kejahatan dan tindakan kekerasan akan mudah timbul. Dan akan ada pula orang-orang yang menggunakan isu agama sebagai isu untuk membenarkan tindakan perusakan, penjarahan dan perampasan hak orang lain yang berlainan agama dengannya. Ini adalah kondisi riil saat ini di manapun di belahan dunia ini.
Dalam sebuah Seminar Nasional tentang Kemajemukan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan dalam Kehidupan Berbangsa di Era Modern yang diadakan oleh Pusat Studi Islam dan Penelitian Sosial Universitas Islam Indonesia, 17 Juni 1997. Drs. Edy Suandi Hamid, M.Sc., mengemukakan pendapat William Suhanda bahwa sentimen berbau sara yang sering muncul adalah berkaitan erat dengan adanya kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara penduduk pribumi dan non pribumi (William Suhanda, 1996).
Begitulah fenomena pluralisme agama dewasa inim, yang jauh dari harapan tuntutan ajaran agama-agama yang dianutnya. Seperti dikatakan seorang sejarawan, Arnold Toynbee dalam Pencarian Manusia Akan Allah,[31] menyatakan:
“Tujuan yang sebenarnya dari agama yang lebih luhur adalah untuk menyebarkan nasihat-nasihat rohani dan kebenaran yang menjadi dasarnya  kepada sebanyak mungkin jiwa yang dapat dicapainya, agar setiap jiwa tersebut mampu memenuhi tujuan manusia yang sesungguhnya. Tujuan manusia yang sesungguhnya adalah memuliakan Allah dan memiliki Dia selama-lamanya”.

PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN
 Pandangan Al Qur’an tentang pluralisme agama. Konsep-konsep tersebut adalah :
1.      Mengakui eksistensi agama lain. (S. An-Nahl : 93)
2.      Memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk agama lain. (S. Al-An’am : 198)
3.      Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama lain. (S. Al Hajj : 4)
4.      Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain. (S. Al Baqarah : 229)
5.      Mengakui banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan perintah berlomba-lomba dalam kebajikan. (S. Al Baqarah : 148)
6.      Islam mengakui umat manusia diatas dunia tidak mungkin semuanya sepakat dalam segala hal itu termasuk hal-hal yang menyangkut keyakinan agama. (S. Hud : 18-19)
Ayat tersebut digunakan Nur Kholis Madjid dalam pluralisme dan dialog agama.
  
Pluralisme Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab suci (kitabun muthahharah) maupun sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai adanya pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur’an dipandang sebagai sebuah keharusan. Artinya bagaimanapun juga sesuai dengan “sunatullah”, pluralitas pasti ada dan dengan itulah manusia akan diuji oleh Tuhan untuk melihat sejauh mana kepatuhan mereka dan dapat berlomba-lomba dalam mewujudkan kebajikan.
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengakui adanya pluralitas sebagai sesuatu yang alamiah bahkan dikehendaki oleh Tuhan itu sendiri, yaitu:
1.       Surat al-Ma’idah: 48:
لكل جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولوشاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم فى ما آتكم فاستبقوا الخيرات الى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون.
Artinya:
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” [32]

Keterangan al-Qur’an di atas jelas merupakan pengakuan terhadap adanya pluralitas dalam agama. Dalam Tafsir Al-Mu’minin, Abdul Wadud Yusuf mengomentari ayat tersebut bahwa memang kehendak Allah-lah manusia dijadikan menjadi umat yang bermacam-macam. Karena jika seandainya Dia kehendaki manusia akan dijadikan satu umat saja dengan diberikan-Nya satu risalah dan di bawah satu kenabian. Tetapi Allah menghendaki manusia menjadi umat yang banyak (umaman) dan Dia turunkan bagi setiap umat itu satu orang Rasul untuk menguji manusia, siapa yang benar-benar beriman dan siapa yang ingkar.[33] Hal senada juga dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Al-Shawi Al-Maliki dalam Hasyiyah Al-‘Allamah Al-Shawi Juz 1 bahwa, Allah sengaja memecah manusia menjadi beberapa kelompok yang berbeda untuk menguji mereka dengan adanya syari’at yang berbeda-beda (al-syara’I al-mukhtalifah) untuk mengetahui yang taat dan yang membangkang.[34]
Dalam ayat tersebutjuga disebutkan, bahwa perbedaan tidak dapat diperdebatkan sekarang, yakni pada saat orang tidak sanggup keluar atau melepaskan diri dari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Allah-lah nanti yang akan menentukan mana yang benar. Sikap yang seharusnya diambil adalah membiarkan masing-masing orang berbuat menurut apa yang diyakininya.
2.       Surat al-Nahl: 93:
ولو شاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن يضل من يشاء ويهدى من يشاء ولتسئلن عما كنتم تعملون.
Artinya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” [35]

Ayat ini mempunyai substansi yang sama dengan ayat 46 surah al-Ma’idah tersebut di atas, yaitu mengemukakan kesengajaan Allah menciptakan perbedaan. Bahwa Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Satu dalam pengertian, satu agama (millarun wahidatun) sehingga tidak berselisih faham dan berpecah-pecah seperti diungkapkan dalam tafsir Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an karya Syaikh Hasanain Muhammad Makluf (1994: 277)[36]
3.       Surat al-Baqarah: 148:
ولكل وجهة هو مولها فاستبقوا الخيرات اين ما تكونوا يأت بكم الله جميعا ان الله على كل شيء قدير. (البقرة: 148)
Artinya:
“Dan tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.” [37]

Al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat di atas mengakui bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Dengan keragaman dan perbedaan itu ditekankan perlunya masing-masing berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah pada hari akhir untuk memperoleh keputusan final. Dikatakan oleh Heru Nugroho sebagaimana pernah termuat dalam Harian Kompas edisi 17 Januari 1997 dan Atas Nama Agama bahwa rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah, dan tugas manusia adalah menerima, memahami dan menjalani.[38]
4.       Surat al-Hujaraat: 13:
ياايها الناس انا جعلناكم من ذكر وانثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير.
(الحجرات: 13)
Artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal. [39]

Makna substansial surat al-Hujaraat ayat 13 adalah, bahwa umat manusia harus menerima kenyataan kemajemukan budaya. Surah ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (etnis), dengantujuan agar mereka saling mengenal dan menghargai. Dari kemajemukan itu yang paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya. Kemajemukan dalam ayat ini menunjuk pada keanekaragaman budaya seperti; gender, ras, suku, dan bangsa dalam rangka mendatangkan kebaikan dan kediaman di muka bumi.

Sikap Al-Qur’an Terhadap Pluralisme Agama

Perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang sejarah kemanusiaan. Dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat pengakuan tentang adanya perbedaan. Perbedaan agama, keyakinan, budaya, dan pola berfikir.
Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan untuk rahmat bagi semesta alam pada dasarnya sangat demokratis, sangat mengerti dan memperhatikan keadaan suatu kaum. Al-Qur’an mengakui adanya kenyataan beragamnya agama sebagai suatu bentuk perbedaan interpretasi terhadap teks-teks Tuhan yang ada dalam kitab-kitab suci. Namun al-Qur’an tidak mengakui adanya pluralisme agama sebagai bentuk keyakinan yang berbeda tentang ke-Esaan Tuhan. Artinya bahwa al-Qur’an akan menolak mentah-mentah segala ajaran yang mengandung unsur syirik di dalamnya. Untuk itu Allah menegaskan:
ومن يبتغ غير الاسلام دينا فلن يقبل منه وهو فى الآخرة من الخاسرين (العمران: 85)  
Artinya:
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima dan akhirat dia termasuk kaum yang merugi”. [40]

Adapun tafsirnya adalah :
Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi.
Namun demikian al-Qur’an yang mengakui adanya pluralisme agama sebagai sebuah fenomena, menganjurkan umat Islam untuk dapat menjaga hubungan baik dengan umat beragama lain. Di antara sikap al-Qur’an tersebut adalah tercermin sebagai berikut:
1.       Ajakan berbuat damai
ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى عزيز. (الحج: 22)
Artinya:
“Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha kuat lagi maha perkasa” (Q.S. Al-Hajj 22: 40). [41]

Tafsirnya adalah :
   Katakanlah hai wahai ahli kitab marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan bahwa tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.
Al-Qur’an, seperti yang termaktub dalam ayat di atas jelas tidak menghendaki adanya perseteruan antar agama (clash). Dengan adanya agama sebagai pedoman hidup hendaknya menjadikan seseorang sebagai sosok yang gandrung dengan kedamaian dan cinta kasih. Bukan sebaliknya sebagai jiwa perusak, seperti fenomena umat beragama saat ini yang gemar melakukan perusakan tempat ibadah umat beragama lain.
Mahatma Gandhi dalam All Men Are Brothers: Life and Thoughts of Mahatma Gandhi As Told in His Own Words (1958) yang dialihbahasakan dalam Semua Manusia Bersaduara menyatakan:
“Jika kita percaya Tuhan, tidak hanya dengan kepandaian kita, tetapi dengan seluruh diri kita maka kita akan mencintai seluruh umat manusia tanpa membedakan ras atau kelas, bangsa atau pun agama, kita akan bekerja untuk kesatuan umat manusia. Semua kegiatan saya bersumber pada cinta kasih saya yang kekal kepada umat manusia. Saya tidak mengenal perbedaan antara kaum keluarga dan orang luar, orang sebangsa dengan orang asing, berkulit putih atau berwarna, orang hindu atau orang india beragama lain, orang muslim, parsi, Kristen, atau yahudi. Saya dapat mengatakan bahwa jiwa saja tidak mampu membuat perbedaan-perbedaan semacam itu. Melalui suatu proses panjang melakukan disiplin keagamaan, saya telah berhenti membenci siapapun juga selama lebih dari empat puluh tahun ini”. (terdapat dalam kata pengantar, hal: xv)[42]

Sungguh merupakan jiwa yang sangat memukau dan dapat dikatakan sebagai manusia yang “Qur’aniy” sebab pemahamannya terhadap makna hidup beserta nilai-nilai kasih sayang dan perdamaian yang ada di dalamnya begitu tinggi.
Jika perbedaan jalan itu merupakan “sunatullah”, seharusnya perbedaan itu tidak menghalangi orang dalam kelompok tertentu menyampaikan “kebenaran” kepada kelompok lain. Terutama hal-hal yang merupakan isu bersama. Dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 64, dilukiskan dengan indahnya tentang ajakan untuk menuju perdamaian yang nyata dengan:
قل يا اهل الكتاب تعلوا الى كلمة سواء بيننا وبينكم الا تعبد الا الله ولا تشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا اربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بانا مسلمون.(العمران: 64)
Artinya:
“Katakanlah, ‘hai ahli kitab, Marilah kita mengambil prinsip dasar untuk kita: bahwa kita tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian lain Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah. ‘saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.” [43]

2.       Larangan adanya unsur paksaan
Al-Qur’an tidak pernah membenarkan adanya paksaan dalam memeluk suatu agama karena itu berkaitan erat dengan hak-hak manusia yang perlu mendapatkan penghargaan setelah disampaikan pesan-pesan (message) al-Qur’an yang sesungguhnya. Ayat al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat 256 menyebutkan:
لا اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لانفصام لها والله سميع عليم. (البقرة: 256)

Artinya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui.” [44]

Ketiadaan adanya paksaan dalam beragama ini menurut Syaikh Nawawi seperti terdapat dalam Tafsir Marah Labid jilid 1, karena pada dasarnya seseorang sudah diberi potensi untuk membedakan barang yang haq dan bathil, keimanan dan kekufuran, petunjuk dan kesesatan (melalui banyaknyapetunjuk-petunjuk yang telah ada (al-dalaa’il) melalui ayat-ayat Qouliyah maupun kauniyah).[45]
Al-Qur’an hanya membenarkan adanya peringatan (mengingatkan), dalam surat al-Ghasyiah dinyatakan:
فذكر انما انت مذكر لست عليهم بمصيطر الا من تولى وكفر. فيعذبه الله العذاب الاكبر.
Artinya:
“… maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan yang besar”. [46]

Setelah peringatan-peringatan itu disampaikan dan ternyata tidak mau juga merambah jalan yang menuju kebenaran, maka keyakinan dan ritual-ritual yang mereka jalani menjadi urusan masing-masing dan tidak boleh ada perasaan permusuhan karena tertolaknya ajakan (surat al-Kaafirun). Keinginan untuk membawa orang lain mengikuti jalan kebenaran adalah sah menurut al-Qur’an, namun keputusan untuk ikut atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada orang yang bersangkutan, bukan orang yang menginginkan.
Dalam sejarah secara nyata dipaparkan bagaimana pribadi seorang yang menjadi suri tauladan bagi umatnya, Muhammad utusan Allah tidak pernah melakukan pemaksaan. Karena disitulah letak ujian bagi seseorang. Terdapat dalam surat al-Kahf:
فلعلك باخع نفسك على اثارهم ان لم يؤمنوا بهذا الحديث اسفا. انا جعلنا ما على الارض زينة لها لنبلوهم ايهم احسن عملا.
(الكهف: 6-7)
Artinya:
“Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak percaya kepada cerita al-Qur’an ini. Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di perhiasan baginya, agar kami menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. [47]


3.       Konsep Ukhuwah Islamiyyah
Ukhuwah sering diartikan sebagai sebuah bentuk atau hubungan persaudaraan antara seseorang dengan orang lainnya. Yang paling besar gaungnya adalah tentang ukhuwah islamiyah. Ukhuwah yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, menurut M. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Maka asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.[48]
Dalam Wawasan Al-Qur’an konsep tentang “ukhuwah islamiyah” dibahas secara panjang lebar oleh M. Quraish Shihab. Menurutnya, istilah “ukhuwah islamiyah” ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan tentang “ukhuwah” tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan katan “Islamiyah” dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”, atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama muslim”, sehingga dengan demikian, kata “Islamiyah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini kurang tepat. Kata “islamiyah” yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai “adjektifa”, sehingga “ukhuwah islamiyah” berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam”. (1996: 486-487). Paling tidak, ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini. Pertama, al-Qur’an dan al-Hadits memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan seperti; saudara kandung (QS Al-Nisa [4]: 23), saudara dalam arti sebangsa (QS al-A’raf [7]: 65), saudara semasyarakat, walaupum berselisih faham (QS Shaad [38]: 23), persaudaraan seagama (QS Al-Hujurat [49s]: 10), dan saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga (QS Thaha [20]: 29-30). Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefintif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat jelas pada saat kita berkata Ukhuwah Islamiyah dan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah”.
Berkaitan dengan ukhuwah islamiyah, Al-Qur’an memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
1.       Ukhuwah di al-‘ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan.
وما من دآبة فى الارض ولا طآئر يطير بجناحيه الا امم امثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون.

Artinya:
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada tuhanlah mereka dihimpunkan”. (QS 6: 38) [49]

Persamaan ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah (Al-Baqarah [2]: 28).
2.       Ukhuwah fi al-insaniyah, dalam arti keseluruhan umat manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu. Ayat al-Hujurat 12 menjelaskan tentang hal ini.rasul saw. Juga menekankannya dalam sabda beliau: “Kuunuu ‘ibadallah ikhwanaa al-‘ibad kulluhumikhwat”.
3.       Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab. Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh ayat wa ila ‘ad akhahum hud, dan lain-lain.
4.       Ukhuwah fi din al-Islam. Persaudaraan antar sesama muslim, seperti bunyi surah al-Ahzab 5. demikian juga dalam sabda Rasulullah saw.: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah [wafat]-ku”.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1995: 359) menyatakan bahwa faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. Persaudaraan dalam rasa dan cita merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan hakiki dan yang pada akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita saudaranya. Sebagai contoh adalah mengulurkan tangan bantuan kepada saudaranya sebelum diminta serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give tetapi justru “Mengutamakan orang lain walau dirinya sendiri kekurangan”.(Q.S. 59: 9)[50]
Dari fenomena yang dipaparkan di atas paling tidak sudah begitu mencukupi sebagai bukti bahwa al-qur’an benar-benar menghargai adanya pluralitas, pluralisme agama khususnya, sesuai pembahasan kali ini. Itu menunjukkan betapa al-Qur’an berisi penuh ajaran-ajaran kasih dan sayang. Tidak seperti yang dituduhkan para orientalis sementara ini.

Jihad dan Relevansinya Dengan Konsep Pluralisme Keagamaan

M. Darwan Raharjo (1996) dalam Ensiklopedi Al-Qur’an menyebutkan, jihad sebagai sebuah konsep penting dalam al-Qur’an berkaitan dengan hakikat sosial keberagaman Islam. Karena pemakaiannya dewasa ini biasa dikaitkan dengan peristiwa kerusuhan sosial, istilah jihad kini mengandung unsur “pejoratif”. Istilah itu sudah tereduksi, bahkan terdegradasi maknanya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an mengandung begitu banyak ayat-ayat yang menganjurkan perang dan bersikap bermusuhan dengan kaum ataupun golongan lain. Misalnya, ayat 120 yang terdapat dalam surah al-Baqarah:
ولن ترض عنك اليهود ولا النصرى حتى تتبع ملتهم قل ان هدى الله هو الهدى ولئن اتبعت اهواءهم بعد الذى جآءك من العلم ما لك من الله من ولي ولا نصير. (البقرة: 23)

Artinya:
“Orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolongbagimu”. [51]

Kemudian ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin seharusnya memerangi orang-orang yang tidak beriman dan ahli kitab:
قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون الحق من الذين اوتوا الكتاب حتى يؤتوا الجزية عن يد وهم صاغرون.
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi kitab, jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah [9]: 29) [52]

Ayat-ayat ini barangkali yang membentuk karakter yang keras kepada pemeluk yang berbeda-beda disamping ayat “Asyiddaa ‘ala al-kuffaar”. (QS. Al-Isra’). Al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat yang secara sekilas memberikan pemahaman yang bertentangan dan banyak orang yang mengambil bagian-bagian yang sesuai dengan kepentingan atau cara pandang mereka.
Menurut Machasin (1999) dalam Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, bahwa mereka akan mentakwilkan atau tidak mau membaca ayat-ayat lain yang tidak sesuai menurut mereka. Tidak heran jika Islam oleh sementara orang-orang barat dipandang sebagai kaum-kaum teroris yang keji. Islam dengan konsep jihadnya dipandang sebagai umat yang menyukai kekerasan. Jelasnya, bahwa masih banyak orang yang belum paham dengan substansi jihad itu sendiri, bahkan orang-orang Islam sekalipun.[53]
Jihad menurut tuntunan al-Qur’an adalah alternatif terakhir dan satu-satunya jalan yang ditempuh, tidak ada jalan lainnya. Dasarnya adalah pesan Rasulullah saw. Ketika kembali dari perang badar, perang besar antara kaum muslimim melawan kaum kuffar yang berlipat-lipat jumlahnya, nabi Muhammad saw. Bersabda:
رجعنا من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر الجهاد الاكبر هو الجهاد النفس.
Artinya
“Ketika telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar (jihad el-akbar) yaitu jihad melawan hawa nafsu”. (Al-Hadits)

Artinya, jihad dengan senjata itu bukan hal yang utama, melainkan yang lebih utama adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri sebagai sumber kerusakan. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam Islam yang berjudul asli L’humanisme De L’islam, menyatakan bahwasanya doktrin Islam telah membentuk suatu hirarki tentang nilai-nilai. Jihad yang paling tinggi adalah jihad yang dilakukan terhadap “hawa nafsunya” sebagaimana dikatakan oleh hadits nabi. Usaha pribadi ini dianggap “perang suci yang terbesar”. Dengan begitu maka perang suci dengan senjata menjadi nomor dua secara relatif, dan hanya merupakan manifestasi yang paling konkret dari jihad.[54] 
Jihad dalam Islam adalah jalan satu-satunya yang bisa dilakukan sebagai upaya membela diri. Sedangkan diantara sebab-sebab yang membolehkan perang adalah untuk mempertahankan masyarakat, dan melindungi orang yang dianiaya pada umumnya. Hal tersebut senada dengan Boisard bahwa dalam bidang “perang suci” dengan senjata, kaum muslimim berkewajiban untuk melakukannya dalam bentuk mempertahankan diri dari serangan-serangan. Yang dilukiskan oleh doktrin yuridis Islam dalam enam tipe: jihad terhadap musuh-musuh Tuhan, jihad untuk menjaga tapal batas (ribat), jihad terhadap orang-orang murtad dan orang-orang yang memisahkan diri (baghi), terhadap gerombolan-gerombolan yang mengacau keamanan dan terhadap kaum menoteis yang menolak membayar “jizyah”.[55]
Sikap al-Qur’an terhadap agresi sangat jelas. Kecenderungan alamiah untuk melakukan kekerasan, kehausan untuk dominasi, keinginan untuk membalas dendan, keuntungan material, kemauan untuk merampas hk orang lain, adalah sebab-sebab jahat dan zalim. Dengan ringkas, agresi adalah terlarang. Bagi literatur Islam, perang-perang yang dilakukan nabi Muhammad saw. Menunjukkan sifat-sifat khusus perang Islam, yaitu adil dalam motifnya, defensive dalam permulaannya, tinggi dalam cara pelaksanaannya, damai dalam tujuan akhirnya, dan berperikemanusiaan dalam memperlakukan mereka yang dikalahkan.
Menurut Alwi Shihab, seperti yang terdapat dalam Islam Inklusif bahwa tuduhan yang sering dilontarkan oleh sebagian kaum orientalis bahwa Islam adalah “agama pedang”, yang menganjurkan aksi-aksi radikal pada umumnya, mendasarkan argumentasinya dalam dua hal. Pertama adalah dalam interaksinya dengan kekuatan eksternal (non-Islam), Islam telah berhasil menyebarkan sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer jauh dari titik geografis kelahirannya. Bukti sejarah menunjukkan ekspansi teritorial Islam yang tak terbendung pada masa formatifnya sampai ke daratan eropa di barat dan benua india di timur.[56]
Kedua, hubungan internal umat Islam yang berlangsung antara kelompok oposisi dengan penguasa sejak pembunuhan khalifah utsman r.a. sampai sekarang selalu diwarnai oleh kekerasan. Corak kekerasan ini bagi sebagian orientalis adalah konsekuensi logis penekanan konsep jihad dalam kehidupan politik Islam.
Asumsi sebagian orientalis tentang kaitan Islam dengan radikalisme adalah akibat persepsi keliru tentang arti dan fungsi jihad dalam Islam. Adalah tidak benar asumsi yang menyatakan bahwa jihad identik dengan aksi mengangkat senjata. Jihad dalam pengertian etimologis adalah usaha sungguh-sungguh yang tidak mengenal lelah.
Karena itu dapat dikatakan bahwa jihad dengan mengangkat senjata adalah jihad dalam pengertian yang sempit. Dalam al-Qur’an dikenal dua ketegori untuk jihad; pertama, jihad fi  sabilillah, dimaksudkan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan harta dan nyawa (konfrontasi). Kedua, jihad fillah adalah usaha untuk memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang dengan Allah. Usaha sungguh-sungguh ini diekspresikan melalui penundukan tendensi negatif yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa sebagai titik orientasi seluruh kegiatan.
Untuk memperjelas substansi jihad tidak diidentikkan dengan aksi mengangkat senjata, al-Qur’an membedakan antara konsep qital (interaksi bersenjata) dengan konsep jihad. Jihad jelasnya menunjuk kepada suatu konsep yang komprehensif, di mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah melalui penggunaan senjata.
Jihad dalam pengertian yang sempit (mengangkat senjata) inilah agaknya yang banyak dipegangi oleh para orientalis dan sebagian umat Islam sehingga tidak heran dapat menimbulkan antagonisme diantara mereka. Kasus seperti yang terjadi di ambon tentang adanya laskar jihad banyak menimbulkan pro dan kontra bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Gus Dur sebagai kepala negara tidak menyetujui dikirimkannya laskar jihad dari jawa karena urusan itu biar mereka sendiri yang menyelesaikan, lagi pula akan memancing datangnya laskar salib dari daerah lain seperti NTT dan Papua. Namun ustadz Ja’far memandang bahwa jihad ini wajib adanya bagi umat Islam, dan jihad disini adalah jihad kemanusiaan, artinya tidak harus turun ke medan laga untuk bertahan.
Dengan adanya jihad dalam pengertian yang sebenarnya tidak akan menghambat proses pembumian kesadaran pluralisme agama pada umat-umat beragama. Untuk itulah mengapa perlu dijelaskan tentang konsep jihad yang sebenarnya menurut cara pandang Islam yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.


[1]Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 39
[2]Marsen, Martin H, Oxford Leaner’s Pokcet Dictionary, (Oxford University, 1999),  Second Edition
[3]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 209.
[4]Shihab, M. Quraish, Wawasan Al Qur’an, (Bandung, Mizan), hal. 375
[5]Ibid., hal. 210.
[6]Ibid., hal. 209.
[7]Thouless, Robert H., Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1985), hal. 17.
[8]Nottingham, Elizabeth K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pemngantar Sosiologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VI, 1996), hal. 2.
[9]Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford University, Second Edition, 1991) hal. 349
[10]Shihab, Alwi, Islam Inklusif,  hal. 41
[11]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[12]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 211.
[13]Ibid.
[14]Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[15] Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[16] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[17] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag,  Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[18] Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[19]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[20] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[21] John L. Esposito, Bahaya Hijau!, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, Cet. I) hal. 62
[22] Ibid., hal. 62. 
[23] Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[24]Arifin, Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta: ITTIBA Pers dan UMM, Cet. I, 2000) 
[25]Al Qur’an dan terjemah, Depag,  Al Baqarah (2) : 62, hal. 19
[26]Alwi Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[27]Shihab, M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.  
[28]Ibid.
[29] Pencarian Manusia Akan Allah, Op. Cit.  
[30]Esposito, L.  John.  Op. Cit., hal. 67.
[31]Pencarian Manusia Akan Allah, Op. Cit., hal. 16.
[32]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Maidah (3) : 48, hal. 168.
[33]Yusuf, Abdul Wadud, Tafsir al-Mu’minin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 62 
[34]Al-Maliky,Syaikh Ahmad Al-Shawi, Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir Al-Jalaluddin, (Surabaya: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), hal. 287
[35]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. An Nahl (16) : 93, hal. 416
[36]Makhluf,  Syaikh Hasanain Muhammad,  Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an, (Cairo: Darul Basya’ir, 1994) hal. 277
[37]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah  (2) : 148, hal. 38
[38]Nugroho, Heru,  Atas Nama Agama, (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, 1998) hal. 64.
[39]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Hujurat (49) : 13, hal. 847.
[40] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali ‘Imran (3) : 85, hal. 90
[41] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al-Hajj (22) : 40, hlm. 518
[42]Gandhi, Mahatma, Semua Manusia Bersaudara, (Jakarta: Gramedia, 1998) hal. 15
[43]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali Imron (3) : 64, hal. 86
[44]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 256, hal. 63.
[45]Tafsir Marah Labid, Jilid I, 82.
[46]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Ghaasyiyah (88) : 21-23, hal. 1055
[47]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Kahfi (18) : 6-7, hal. 443-444
[48]Shihab,  M. Quraish, Wawasan …. , hal. 486.
[49]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al  An’am (6) : 38, hal. 192
[50]Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal. 359
[51]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 120, hal. 32
[52]Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. At Taubah (9) : 29, hal. 282
[53] Machasin, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, 1999. 
[54] Boisard, Marcel A. Humanisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 259
[55] Ibid, hal. 259.
[56]Shihab, Alwi, Op. Cit., hal. 283 
lintasberita

Tidak ada komentar: