Pengertian Pluralisme Agama
Pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab
dalam Islam Inklusif, bahwa umat beragama dihadapkan kepada serangkaian
tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan apa yang pernah dialami
sebelumnya. Pleuralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena
nyata.[1]
Pluralisme agama adalah hal ini, harus benar-benar dapat
dimaknai sesuai dengan akar kata serta makna sebenarnya. Hal itu merupakan
upaya penyatuan persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan
terjadi “misinterpretation” maupun “misunderstanding”.
Pertama, bertolak dari akar kata yang pertama
yaitu pluralisme. Kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari
kata “plural” yang berarti banyak atau majemuk. Atau meminjam definisi
Martin H. Manser dalam Oxford
Learner’s Pocket Dictionary: “Plural (form of a word) used of referring
to more than one”.[2]
Kata “plural” mempunyai akar kata sifat yaitu “Plurality” yang
menurut The Advanced Learner’s Dictionary of Current English (second
edition 1963, Oxford University Press, London) berarti “state of being
plural”. Sedangkan makna dari pluralism
itu sendiri masih menurut Kamus The Advanced berarti: “The
holding of more than one office, especially in the church, at one time”.
Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme berarti: “Teori yang
mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi”.
Akar kata yang kedua adalah agama, yang berasal
dari kata “ugama” dalam bahasa Sansekerta yang berarti aturan-aturan. Dalam
al-Qur’an, agama biasa dilambangkan dengan kata “diin”. M. Quraish
Shihab, dalam Membumikan Al-qur’an mengatakan bahwa, agama adalah satu
kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah untuk memberikan penjelasan
maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan
(definisi) yang tepat lebih-lebih bagi para pakar. Mengapa? Hal itu, masih
menurut Quraish Shihab adalah disebabkan antara lain karena dalam menjelaskan
sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendefinisikannya), mengharuskan adanya
rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus
mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Adapun kemudahan yang dialami
orang awam disebabkan oleh cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan
itulah yang mereka lukiskan.[3]
Lebih lanjut, dalam Wawasan Al-Qur’an, M. Quraish
Shihab berpendapat bahwa tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini
kita menemukan kenyataan bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap
agama, ditentukan oleh pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri.[4]
Dalam Membumikan Al-Qur’an dijelaskan pengertian agama, sebagai hubungan
antara makhluk dan khaliqnya yang mewujud dalam sikap batinnya serta tampak
dalam ibadah yang dilakukannya dan tercermin dalam sikap kesehariannya.[5]
Menurut seorang Guru Besar di Al-Azhar, Syaikh Muhammad
Abdullah Badran dalam Al-Madkhal ila Al-Adyan seperti dikutip dari Membumikan
Al-Qur’an bahwa yang dikatakan agama itu merupakan hubungan antara dua
pihak dimana yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang
kedua.[6]
Artinya agama adalah sarana penghambaan seorang hamba (‘abid) yang oleh
al-Qur’an dinyatakan bahwa memang tugas manusia ialah beribadah, sedangkan
Tuhan mempunyai otoritas untuk membalas ibadah yang telah dilakukan oleh hamba-Nya
tersebut.
Dalam An Introduction to The Psychology of Religion,
Robert Thouless (1971) mendefinisikan agama sebagai suatu sikap terhadap dunia,
sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas dari pada
lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu, lingkungan yang lebih luas
itu adalah dunia rohani.[7]
Jika Thouless menekankan agama sebagai sikap, maka William James berpendapat
lebih luas dari itu. Seperti yang dikutip dari The Varieties of Religious
Experience (1937) oleh Elizabeth K. Nottingham dalam Agama dan
Masyarakat, James menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agama adalah:
Perasaan-perasaan, tindakan-tindakan, dan pengalaman individu dalam kesendirian
mereka … [dan] dalam hubungan dengan apa saja yang mereka anggap Tuhan.[8]
Sementara itu seorang ulama Mesir pengarang kitab Al-Fatawa,
Syaikh Mahmud Syaltut mendefinisikan agama sebagai ketetapan-ketetapan ilahi
yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia. Sedangkan
seorang ahli bahasa di Oxford
University, Martin H.
Manser mendefinisikan agama (religion) sebagai: “Belief in and
worship of God or gods, particular system of faith and worship based on such
belief”.[9]
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas
dapat diambil pengertian yang mendasar tentang pluralisme agama sebagai bentuk
kemajemukan, keragaman dalam beragama, dan itu merupakan sebuah realita yang
harus diterima. Seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut
apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut.
Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama
dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam
usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam
klebhinekaan.[10]
Sejarah Perkembangan Hubungan Antar Agama
Beda pendapat merupakan ketentuan alam (order of
nature) atau dalam bahasa al-Qur’an, “sunatullah”. Perbedaan
pandangan, keyakinan, dan agama, merupakan fenomena alamiah. Barang siapa
mengingkari adanya perbedaan berarti mengingkari sunatullah,
ketentuan-ketentuan yang telah Allah tetapkan.
Perbedaan yang ada, di satu sisi akan menjadi suatu hal
yang menguntungkan bagi manusia. Dengan adanya perbedaan seseorang dapat
merasakan berfariasinya hidup ini. Kekurangan yang dimiliki seseorang ada pada
kelebihan yang dimiliki orang lain demikian pula sebaliknya. Tanpa adanya
perbedaan tidak akan mungkin ada kemajuan. Namun di sisi lain tidak dapat
dipungkiri bahwa perbedaan tersebut kadang meruncing sampai ke titik perseteruan.
Untuk mempertahankan posisi masing-masing, tidak jarang agama atau interpretasi
teks-teks keagamaan dijadikan sarana legitimasi.
Agama sebagai pedoman keselamatan hidup dipahami secara
sempit sehingga tidak heran ada asumsi tentang bolehnya berbuat kekerasan dan
permusuhan dengan umat dari agama lain karena itu merupakan perbuatan suci. Di
sinilah paling tidak akan tampak betapa perluanya mengetahui perbedaan
sekaligus persamaan yang ada pada agama lain untuk kemudian menjadikannya
sebagai pengetahuan yang sangat berguna.
1.
Asal Mula Agama
Dalam
Watch Tower
Bible And Tract Society of Pennsylvana disinggung bahwa:
“Sejarah agama
itu pada hakikatnya sudah setua sejarah itu sendiri. Demikianlah yang dikatakan
oleh para arkeolog dan antropolog kepada kita. Bahkan dalam peradaban yang
paling “primitif”, yaitu yang tidak berkembang, ditemukan bukti peribadatan
dalam bentuk tertentu. Sebenarnya The New Encyclopedia Britannica
mengatakan bahwa, “sejauh yang telah ditemukan para sarjana, tidak pernah ada
orang, dimanapun, kapanpun, yang sama sekali tidak religius.”[11]
Pertanyaan-pertanyaan timbul dalam pikiran. Dari mana semua
agama muncul? Karena ada perbedaan maupun persamaan yang mencolok, apakah
agama-agama ini mulai secara terpisah, atau berkembang dari satu sumber. Atau
dapat juga bertanya: Mengapa agama ada? dan bagaimana ia bisa muncul? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini benar-benar penting bagi semua orang yang
berminat mengetahui kebenaran mengenai agama.
Untuk apa ada agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
rasanya tidak terlalu sulit, kalau agama dipahami sebagai pedoman hidup bagi
manusia. Artinya, manusia sebagai makhluk sosial yang berinteraksi dengan
sesamanya memang membutuhkan aturan yang dapat mengatur hidup mereka. Aturan
itu kesepakatan yang harus ditaati
seluruh komponen masyarakat tidak ada kecuali, dan harus dipatuhi semua pihak.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendirian, karena ada sekian
banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhinya sendiri.
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an menganalogkan
hidup manusia sebagai lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat
sekaligus cepat sampai tujuan. Namun karena kepentingan mereka berlain-lainan,
maka apabila tidak ada peraturan lalu lintas kehidupan, pasti akan terjadi
benturan dan tabrakan.[12]
Dengan demikian manusia membutuhkan peraturan demi lancarnya
lalu lintas kehidupannya. Manusia membutuhkan rambu-rambu lalu lintas yangakan
memberinya petunjuk seperti kapan harus berhenti (lampu merah), kapan hati-hati
(lampu kuning), dan lampu hijau (silakan jalan), dan sebaginya. Siapa yang
mengatur lalu lintas kehidupan itu? Manusiakah? Paling tidak dalam pengaturan
di atas, manusia mempunyai dua kelemaham: pertama keterbatasan
pengetahuannya dan kedua sifat egoisme (ingin mendahulukan kepentingan
diri sendiri). Kalau demikian yang seharusnya mengatur lalu lintas kehidupan
adalah Dia yang paling mengetahui sekaligus yang tidak mempunyai kepentingan
sedikitpun. Yang dimaksud adalah Allah, Tuhan Yang Maha Tahu.
Allah, yang menetapkan peraturan-peraturan tersebut, baik
secara umum, berupa nilai-nilai, maupun secara rinci khususnya bila perincian
petunjuk itu tidak dapat dijangkau oleh penalaran manusia. Peraturan-peraturan
itulah yang kemudian dinamakan agama.
Mengapa harus beragama? William James seperti dikutip M.
Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an (1996) menyatakan: “Selama
manusia masih memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia beragama”
(berhubungan dengan Tuhan). Itulah sebabnya mengapa perasaan takut merupakan
salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama. Jadi dorongan yang ada dalam
diri manusia itu tidak lain karena adanya perasaan membutuhkan suatu hal di
luar dirinya yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang Maha.[13]
Jika menyangkut asal-usul agama, nama-nama seperti Muhammad,
Yesus, Budha, dan Kong Hu Chu timbul dalam pikiran orang-orang dari berbagai
agama. Dalam hampir setiap agama, didapati seorang tokoh utama yang diakui
sebagai pendiri “iman yang benar”. Beberapa diantaranya pembaharu yang
menentang penyembahan berhala. Yang lainnya filsuf moral. Yang lain lagi
pahlawan-pahlawan rakyat yang tidak mementingkan diri sendiri. Banyak dari
mereka yang meninggalkan karya tulis maupun ucapan-ucapan yang menjadi dasar
suatu agama. Bahkan dalam buku Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan
bahwa lambat lain apa yang mereka katakan dan lakukan dikembangkan, dibumbui,
dan diberi kesan mistik. Beberapa dari para pemimpin ini bahkan dipuja.
Walaupun pribadi-pribadi ini dianggap pendiri agama-agama besar,
perlu diperhatikan bahwa mereka bukanlah pencipta dari agama. Lebih lanjut
dinyatakan dalam Pencarian Manusia Akan Allah bahwa dalam kebanyakan
kasus, ajaran mereka berkembang dari gagasan-gagasan agama yang sudah ada,
meskipun kebanyakan pendiri mengaku mendapat “ilham ilahi” sebagai
sumber mereka. Atau mereka mengganti dan mengubah sistem agama yang sudah ada
yang dalam satu atau lain cara tidak memuaskan lagi. [14]
Agama, sebagai pedoman hidup manusia untuk mencapai
keselamatan dan kediaman, menurut al-Qur’an sudah ada sejak manusia pertama
Adam as. Walaupun sistem ataupun ajaran agama yang ada masih sangat sederhana.
Karena pada dasarnya risalah agama selalu mengalami perkembangan sampai risalah
terakhir, Islam. Dikatakan dalam al-Qur’an, surat al-Maidah ayat 5:
اليوم
اكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم الاسلام دينا (المائدة: 5)
Artinya:
“Pada hari ini telah
kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan
telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu”.
[15]
Agama sudah ada sejak Nabi Adam adalah berdasarkan ayat
al-Qur’an dalam surat
al-Baqarah ayat 37:
فتلقى آدم من ربه كلمات فتاب
عليه (البقرة: 37)
Artinya:
“Kemudian Adam menerima
beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya”. [16]
Tentang beberapa kalimat (ajaran-ajaran) dari Tuhan yang
diterima oleh Adam sebagai ahli tafsir mengartikan dengan kata-kata bertaubat
Artinya bahwa Adam telah menerima pedoman hidup berupa kalimat taubat, jadi
agama sudah ada saat itu karena adanya hubungan dari Khaliq dengan makhluk-Nya.
Ayat di atas diperkuat oleh ayat berikutnya:
قلنا
اهبطوا منها جميعا فإما يأتينكم منى هدى فمن تبع هداي فمن تبع هداي فلا خوف عليهم
ولا هم يحزنون (البقرة: 38)
Artinya:
“Kami
berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang
petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya
tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [17]
Apa yang
diperlihatkan oleh begitu banyak ragam pengabdian agama? Yaitu bahwa selama
ribuan tahun manusia mempunyai kebutuhan dan kerinduan akan hal-hal rohani. Manusia
hidup dengan pencobaan dan kesulitannya, keraguan dan pertanyaan-pertanyaannya,
termasuk teka-teki mengenai kematian. Perasaan religius diungkapkan dalam
banyak cara sewaktu orang berpaling kepada Allah atau Tuhan-Tuhan mereka,
memohonkan berkat dan penghiburan.
2.
Persinggungan Antar Agama
Interaksi antar agama berbeda telah terjadi sejak beberapa
abad yang telah lalu. Dan selama berabad-abad sejarah interaksi antar umat
beragama lebih banyak diwarnai oleh kecurigaan dan permusuhan dengan dalil demi
mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari
Yang Maha Kuasa.
Kalau ditelusuri, sebenarnya agama-agama yang ada saat ini
adalah berasal dari induk yang sama yaitu agama tauhid. Hal tersebut
berdasarkan kenyataan historis, bahwa Ibrahim (Abraham) menurut keimanan
Yahudi, Nasrani, dan Islam diakui sebagai bapak agama. Ketiga agama samawi
tersebut akarnya adalah dari Nabi Ibrahim as.
Kesamaan tersebut dapat dilihat dari sebagian cara ibadah
mereka yang menurut tuntunan aslinya mengenal istilah sujud bagi yang
dipujanya. Islam, Kristen, Budha, Yahudi, Nasrani mengenal itu sebagai
rangkaian ibadah mereka. Dalam Pencarian Manusia Akan Allah dinyatakan
bahwa, dari luar, banyak agama yang dewasa ini tampaknya sangat berbeda satu
sama lain. Namun jika, jika kita menanggalkan hal-hal yang hanya merupakan
bumbu-bumbu dan yang ditambahkan dikemudian hari, atau jika kita menyingkirkan
perbedaan-perbedaan akibat pengaruh iklim, bahasa keadaan tertentu dari negeri
asalnya, dan faktor-faktor lain, sungguh menakjubkan betapa serupanya
kebanyakan dari agama-agama tersebut.[18]
Memang banyak persamaan diantara agama tersebut disamping perbedaan yang sangat
menonjol, terutama masalah keimanan yang akhirnya mengalami perkembangan sesuai
pengalaman batinnya masing-masing.
Adanya persamaan-persamaan tersebut ternyata tidak cukup
membuat mereka untuk tidak bersitegang antara yang satu dengan yang lainnya.
Dapat dilihat tentang bagaimana sikap permusuhan orang Yahudi terhadap Nasrani
yang begitu banyak menelan korban. Yesus (Isa al-Masih) dikejar-kejar dan akan
dibunuh karena sebagai utusan Tuhan dia ternyata bukan berasal dari Yahudi
(kebencian serupa juga terjadi pada diri nabi Muhammad Saw).
Dalam surat
al-Baqarah ayat 87 diceritakan tentang kebencian mereka terhadap para utusan
Allah dari kalangan Nasrani, yaitu:
ولقد آتينا موسى
الكتاب وقفينا من بعده بالرسل وآتينا عيسى ابن مريم البينات وأيدناه بروح القدس
افكلما جاءكم رسول بما لا تهوى انفسكم استكبرتم ففريقا كذبتم وفريقا تقتلون
(البقرة: 87)
Artinya:
“Dan sesungguhnya
Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah
menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah Kami
berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul
membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu
angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang
(yang lain) kamu bunuh?” [19]
Petentangan antara Yahudi dan Nasrani tergambar dalam
al-Qur’an surat
al-Baqarah ayat 113:
وقالت اليهود ليست النصرى على شيء وقالت النصرى
ليست اليهود على شيء وهم يتلون الكتاب كذلك قال اللذين لا يعلمون مثل قولهم فالله
يحكم بينهم يوم القيامة فيما كانوا فيه يختلفون (البقرة: 113)
Artinya:
“Dan
orang-orang Yahudi berkata: “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu
pegangan”, dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak
mempunyai sesuatu pegangan,”padahal mereka (sama-sama) membaca Al Kitab.
Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan
mereka itu. Maka Allah akan mengadili di antara mereka pada hari kiamat,
tentang apa-apa yang mereka perselisihkan.” [20]
Di dalam surat ar-Ruum ayat 2-5 diceritakan hubungan
emosional antara umat Islam Makkah dengan Umat Nasrani Romawi pernah terjadi, saat tentara Romawi
dikalahkan oleh tentara Persia (Majusi), umat Islam merasa sedih dan terpukul.
Namun tatkala tentara Romawi dapat memenangkan peperangan, umat Islam Makkah
merasa senang. Mengapa demikian? Hal itu karena adanya ikatan emosional sebagai
sesama penganut agama Tauhid.
Asal-usul Agama Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah satu. Agama
Yahudi dan Kristen adalah dari Nabi Ibrahim as. dan Sarah yang menurunkan garis
keturunan Nabi Ishaq as. sampai pada Nabi Isa as. Sedangkan Siti Hajar
melahirkan garis keturunan Nabi Ismail as. sampai pada Nabi Muhammad Saw.
Sebagai pembawa ajaran dan tradisi agama Islam.[21]
Namun hubungan umat Islam dan Kristen menjadi rusak dengan
meletusnya perang salib. Perang yang menghabiskan kerugian materi yang tidak
sedikit. perang yang membuat dendam kuat mengakar dihati sanubari generasi
kedua agama besar tersebut. Meski sebenarnya banyak orang tidak mengetahui
siapa yang memulai peperangan itu, mengapa berperang, atau bagimana peperangan
itu dimenangkan.[22] Warisan
perang salib ini tergantung pada tempat seseorang berpijak dalam sejarah. Kaum
Kristen dan Muslim bersaing dalam visi dan kepentingan, serta masing-masing
senantiasa ingat pada komitmennya terhadap agama dan kisah-kisah kepahlawanan
para nabi terdahulu melawan kaum “kafir”.
Itu merupakan fakta sejarah yang tidak dapat dipungkiri bahwa
ternyata hubungan antar agama lebih banyak diwarnai konflik. Konflik anta agama
merupakan konflik yang sangat rumit dan sulit mengatasinya tanpa dilandasi
kesadaran mencari titik temu kreatif bagi pencipta sebuah kedamaian yang
hakiki.
Fenomena Pluralisme Keagamaan Dewasa Ini
“Perang-perang agama cenderung lebih ganas. Jika orang
memperebutkan suatu daerah untuk kepentingan ekonomi, mereka mencapai suatu
titik di mana pertempuran dianggap merugikan dibanding biayanya dan kemudian
berkompromi. Jika penyebabnya adalah agama, kompromi dan perdamaian dianggap
suatu kejahatan.” (Roger Shinn, profesor etika sosial, Union Theological
Semanary, New York)
Jika mempertimbangkan fenomena pluralisme agama, maka
akan didapati fakta-fakta yang menyedihkan. Di Bosnia, umat-umat Ortodoks,
Katolik, dan Islam saling membunuh. Di Irlandia Utara, umat Katolik dan umat
Protestan saling bermusuhan. Di Timur Tengah, ketiga cucu Nabi Ibrahim, umat
Yahudi, Kristen, dan Islam saling menggunakan bahasa kekerasan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi di antara sesama mereka. Di Sudan, senjata
adalah alat komunikasi antar umat beragama Islam dan Kristen. Di Kashmir, pengikut
agama Hindu dan umat Muhammad saling bersitegang. Di Sri Lanka, kaum Budha dan
kelompok Hindu bercakar-cakaran. Di Armenia-Azerbaijan, umat Kristen dan Islam
saling berlomba untuk berkuasa dengan cara destruktif. Atau yang tampak
langsung dihadapan kita saat ini adalah peperangan yang terjadi antara
orang-orang sebangsa, bersaudara namun beda agama; Kristen dan Islam di ambon,
Maluku Utara, saling berperang yang hingga saat ini belum ada titik terang
menuju perdamaian.
Apakah manusia beragama untuk berkonflik? Pertanyaan ini
selalu muncul setiap kali terjadi peretentangan, kekerasan, dan kerusuhan
sosial yang melibatkan komunitas agama. Ada
nuansa kegetiran dalam pertanyaan itu, karena seringnya agama tampil dalam
wajah yang paradoks. Jonathan Swift (1667-1745) menyatakan bahwa:
“Kita mempunyai cukup banyak agama untuk membuat kita
membenci, tetapi tidak cukup untuk membuat kita saling mengasihi”[23]
Agama sebagai tempat mencari ketenangan dan motivasi,
sepertinya hanya menjadi semacam lembaga-lembaga militer tidak resmi yang
setiap saat siap melakukan penekanan (pressure) pada yang lainnya. Wajah
agama sebagai penganjur kedamaian menjadi semakin kabar oleh ketidakpahaman
manusia untuk hidup secara damai, bersanding dengan saudara yang lain. Untuk
itu Klause Meine[24], salah
seorang pentolan group musik terkenal asal Jerman-Scorpions, dalam salah satu
syair lagunya mengatakan:
“Do you
ever ask your self there is heaven in the sky. Why can’t we get it right. Cause
we all live under the some sun we all walk under the some moon. Then why, why
can’t we live as one” (Gold Albums)
Agama sebagai sarana pendekatan diri kepada Tuhan dan
alam semesta, seringkali tampil dalam suatu komunitas yang menyeramkan dan
menakutkan terhadap komunitas agama lain. Seperti yang terjadi di Ambon maupun
Maluku Utara saat ini, setelah terjadinya serangkaian kekerasan dan peperangan,
situasi psikologis dan sosiologis keagamaan masyarakat mulai diliputi perasaan
saling curiga, tidak nyaman, dan tidak aman. Alhasil, situasi konflik kini paling
tidak mulai menyelimuti pada sebagian besar pemeluk agama. Dan yang lebih
menarik lagi seperti yang diungkapkan Syamsul Arifin dalam Merambah
Jalan Baru Dalam Beragama, bahwa karena wilayah konflik itu berada
dalam ranah agama, yang selalu dipandang sebagai “problem of ultimate
concern”, suatu problem yang berhubungan dengan kepentingan mutlak, maka
biasanya konflik akan melahirkan trauma yang cukup mendalam, dan karena itu
akan membentuk jaringan konflik.
Berbicara tentang timbulnya pertentangan dan perseteruan
antar agama yang berbeda, paling tidak bisa disebabkan oleh beberapa sebab yang
begitu pelik, yang antara satu dan yang lainnya saling berkaitan. Sebab-sebab
itu sebagian berasal dari umat itu sendiri (faktor intern), dan ada yang
berasal dari luar lingkungannya (faktor ekstern)
1.
Eksklusifisme
Dalam sejarah, telah lama berkembang doktrin mengenai
eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar, agama lain
sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental, bahkan sampai
saat sekarang ini, seperti termuat dalam tidak hanya dalam buku-buku polemis,
tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer, misalnya, (Republika,
24 Juni 2000 dalam Opini) masih menarik untuk diungkapkan. Katanya, “Other
religions are false paths, that mislead their followers” (Agama lain adalah
jalan yang sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan tersebut memang sangat
keras dan langsung tergambar segi keeksklusivitasnya. Dan ia menganggap bahwa
kitab suci membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu menurut Budhy Munawar Rachman
seorang staf pengajar Universitas Paramadina (2000), memang bisa
dilegitimasikan, atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat kitab suci. Tetapi
itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh dalam tradisi katolik, sejak
konsili Vatikan ii (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat
terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama
non-kristiani.
Dalam Theological Investigations seperti
dikutip Budhy Munawar Rahman (2000) bahwa Karl Rahner, teolog besar yang
menafsirkan Konsili Vatikan II, merumuskan teologi inklusifisnya yang begitu
terbuka, dengan mengatakan, “Other religions are emplicit form of our own
religion” (Agama lain adalah bentuk-bentuk implisit dari agama kita). Dalam
pemikiran Islam, masalah ini juga terjadi secara ekspresif. Walaupun dalam
Islam sejak awal sudah ada konsep “ahl al-kitab” yang memberi kedudukan
kurang lebih setara pada kelompok non-Muslim, dan ini dibenarkan oleh al-qur’an
sendiri, tetapi selalu saja ada “interpretation away”, yaitu suatu cara
penafsiran yang pada akhirnya menafsirkan sesuatu tidak sesuai lagi dengan
bunyi tekstual Kitab Suci, sehingga ayat yang inklusif misalnya malah dibaca
secara eksklusif.
Dari sinilah paling tidak bisa diberikan pemahaman kepada
umat tentang perlunya memahami arti pluralisme agama yang didalamnya juga
menyadari adanya pluralisme teolog. Secara teologis, umat manusia dijadikan
Allah dalam satu kesatuan dan kemudian berbeda-beda.
Dalam kesadaran “millah Ibrahim” (Abrahamic religions)
sesungguhnya cermin adanya kesatuan “ummatiyah” yang didasarkan
kepatuhan kepada Allah. Namun dengan
adanya sikap eksklusif, yang cenderung menutup diri dari kenyataan yang ada,
jelas sangat merugikan dan merupakan salah satu penyebab adanya konflik yang
terjadi. Pemimpin sufi seperti Jalaluddin Rumi, misalnya melukiskan pandangan
pluralismenya dengan menggunakan gambaran sebagai berikut:
“Meskipun
ada bermacam-macam agama, tujuannya adalah satu. Apakah Anda tidak tahu bahwa
ada banyakjalan menuju ka’bah? … oleh karena itu apabila yang anda
pertimbangkan adalah jalannya maka sangat beraneka ragam dan sangat tidak terbatas jumlahnya; tetapi apabila yang
anda pertimbangkan adalah tujuannya, maka semuanya terarah hanya pada satu
tujuan.”
Terdapat sebuah ayat dalam al-Qur’an yang menarik untuk
dikaji, yaitu surat
al-Baqarah ayat 62
ان الذين امنوا والذين هادوا والنصرى والصابئين من امن بالله واليوم الآخر وعمل صالحا فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون (البقرة:62)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang
Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang nasrani, dan orang-orang shabiin, siapa
saja diantara mereka beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka,
dan tiada pula mereka bersedih hati”
[25]
Alwi Shihab dalam Islam Inklusif[26]
menyatakan bahwa pada dasarnya ayat di atas berbicara tentang empat kelompok; alladzina
aamanuu (menunjuk kepada umat Islam), alladziina haaduu (umat
Yahudi), al-nashaaraa (umat Kristen), dan al-shaabi’iin. Para pakar tafsir menyadari kesulitan menafsirkan ayat
ini, mengingat ayat-ayat lain menunjukkan hanya Islamlah yang dijanjikan
keselamatannya oleh Allah. Al-Thabari, ahli tafsir kenamaan abad ke sepuluh
yang banyak memberikan ispirasi buat ahli-ahli tafsir selanjutnya, berpendapat
bahwa jaminan Allah tersebut bersyaratkan tiga hal: beriman (man aamana),
percaya pada hari kemudian, dan perbuatan baik. Syarat beriman itu termasuk,
beriman kepada Allah dan Muhammad Saw. Atau, dengan kata lain, yang dimaksudkan
dalam ayat ini ialah mereka yang telah memeluk Islam. Pendapat Al-Thabari
tersebut mendapat dukungan dari Fakhruddin Al-Razi, dan Al-Zamakhsyari.[27]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, ia berpendapat bahwa
syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan
keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut
memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah
dapat juga ditemukan di luar Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw.
Al-Thabathabai lain pula penafsirannya. Baginya, Allah tidak memandang pada
agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung
dalam agama itu. Selama tiga syarat dalam ayat tersebut terpenuhi, janji Tuhan
itu akan terlaksana.[28]
2.
Sentimen Keagamaan, Fanatisme dan
Fundamentalisme
Sentimen keagamaan sebagai perasaan tidak menyukai hadirnya
orang yang beragama lain disekitarnya atau bahkan dalam kehidupannya merupakan
sikap kekanak-kanakan dan sangat tidak familer. Sikap seperti ini pada akhirnya
akan selalu menimbulkan kebencian yang mudah sekali meledak menjadi konflik
tatkala tercipta kondisi yang tidak menyenangkannya. Hal serupa juga terjadi
pada fanatisme, sebagai sebuah perasaan cinta yang berlebihan terhadap
agamanya. Fanatisme dalam artian kecintaan yang berlebihan terhadap agamanya
pada dasarnya tidak dilarang, hanyasannya diharapkan tidak menyebabkan
seseorang meremehkan atau menyalahkan orang yang berlainan agama.
Umat beragama diharapkan dapat menempatkan arti fanatisme
secara benar dalam kehidupannya. Fanatisme pada dasarnya adalah kekuatan iman
yang ada di dalam jiwa, dan apabila ternyata mencuat kepermukaan dalam bentuk
kekerasan sudah merupakan sikap sentimen keagamaan. Dan itu jelas sangat
merugikan kerukunan hidup beragama yang selama ini dengan susah payah berusaha
dijalin.
Pada dasarnya agama adalah penganjur kedamaian, maka dengan
adanya fanatisme hendaknya tidak mengaburkan tujuan agama tersebut. Dalam Pencarian
Manusia Akan Allah, ada dikutip sebuah pernyataan dari Charles
Caleb Colton (1825), ia mengatakan:
“Manusia
akan bergumul demi agama, menulis demi itu, bertempur demi itu, mati demi itu;
berbuat apa saja kecuali hidup demi itu. Apabila agama yang sejati mencegah
satu kejahatan, agama-agama palsu membuat dalih untuk ribuan kejahatan”.[29]
Berbicara tentang sentimen keagamaan dan fanatisme pada dasarnya
tidak akan terlepas dari rasa emosional umat beragama. Umat beragama tidak akan
senang dan tidak akan membenarkan orang lain merendahkan martabat agama yang
diyakini kebenarannya. Namun, pelampiasan emosi juga bukan merupakan solusi
terbaik mengingat begitu banyak kepentingan yang dapat membawa umat menuju
kesadaran hidup damai tanpa darah dan permusuhan.
Jelaslah bahwa perkembangan kehidupan agama sangat tergantung
pada daya tangkap intelektual dan penghayatan para pemeluknya. Persoalannya,
seperti yang dinyatakan A. Malik Fadjar, (2000), keberagaman seperti apakah
yang dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat milenium baru ini? Pertanyaan ini
agaknya memerlukan perenungan secara mendalam mengingat kehidupan beragama saat
ini justru menghadapi persoalan pada tingkat penghayatan.
Fenomena yang terjadi saat-saat ini, tentang timbulnya
sentimen keagamaan, fanatisme buta, dan fundamentalisme adalah persoalan pada
tingkat penghayatan tentang agama. Memang beberapa futurology seperti John
Naisbitt dan Patricia Aburdene, menangkap adanya kegairahan dalam beragama yang
mereka sebut dengan kebangkitan agama. Tapi jika dicermati lebih mendalam lagi,
apa yang disebut dengan kebangkitan itu masih berada pada tataran penghayatan
skriptual, simbolik, dan eksklusif serta sarat dengan klaim-klaim kebenaran (truth
claim). Meskipun mengundang perdebatan, banyak dari kalangan pengamat
sosial-keagamaan yang menyebut keberagaman semacam itu dengan fundamentalisme.
Sebuah fundamentalisme, apapun bentuknya, menurut Malik Fajar
(2000) biasanya bermakna “pejoratif”, dan mengundang kekhawatiran dari
pihak lain, tak terkecuali dalam kehidupan agama. Setidaknya ada tiga ciri
utama dalam fundamentalisme agama ini. Pertama, dalam memahami agama
lebih mengutamakan teks. Segala bentuk penafsiran dihindari, karena
dikhawatirkan akan mereduksi absolusitas dan universalitas kebenaran agama.
Dengan pemahaman seperti ini kalangan fundamentalisme agama dikatakan terpasang
oleh teks.
Kedua, agar pemahaman yang tekstual atau skriptual itu
selalu diakui otoritasnya, fundamentalisme agama melembagakan kepemimpinan
agama yang tunggal, monolitik dan otoritatif. Pemimpin ini diberi hak penuh
dalam menentukan hitam putihnya agama.
Ketiga, sebagai konsekuensi pertama dan kedua,
klaim-klaim kebenaran menjadi sesuatu yang tak terhindarkan. Klaim-klaim ini
biasanya menyimpan “prejudice” terhadap kelompok agama lain.
Nuansa fundamentalisme belakangan ini sudah merasuki pada
sebagian masyarakat. Hal ini dapat diamati dari sejumlah tindakan kekerasan
yang terjadi akhir-akhir ini. Menurut sinyalemen, tindakan kekerasan itu salah
satunya dipicu oleh praktik manipulasi simbol-simbol agama yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu yang bertujuan meraih kepentingan sesaat (Syamsul Arifin,
2000: ix). Jelas bahwa, fundamentalisme agama merupakan contoh keberagaman
parsial yang berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan destruktif dalam
kehidupan sosial.
3.
Kondisi Politik, Sosial dan Ekonomi
Bagaimanapun kondisi politik sebuah negara, situasi sosial
dan ekonomi akan mempunyai andil dalam menciptakan konflik yang terjadi antar
agama. Seperti dinyatakan John L. Esposito dalam Political Islam:
Beyond The Green Menace (diterjemahkan dengan judul Bahaya
Hijau !) bahwa perang salib dalam masa kerajaan Utsmaniyah
menunjukkan walaupun akar teologis Kristen dan Islam sama, namun akibat
kepentingan politik dan agama yang terus bersaing menghabiskan sejarah
konfrontasi dan peperangan.[30]
Di Indonesia, elit politik secara manis dapat bermain di
sela-sela sentimen keagamaan dengan memanfaatkan para pemuka agama untuk dapat
mengajak umatnya mendukung partai tertentu. Dan ternyata memang cukup manjur.
Namun yang terjadi akhirnya adalah terjadinya benturan antara dua kubu yang
berbeda untuk membela salah satu partai politik yang diyakini juga membela
agamanya. Karena sesuai dengan propaganda bahwa partai yang bersangkutan adalah
partai yang memperjuangkan hak-hak agama tertentu.
Keadaan ekonomi dalam sebuah negara akan berkaitan erat dengan keamanan negara. Bila ekonomi
kuat, baik maka negara akan relatif aman. Namun jika ternyata kondisi
ekonominya menyedihkan, maka di sana
sini akan timbul situasi sosial yang penuh dengan gejolak. Kejahatan dan
tindakan kekerasan akan mudah timbul. Dan akan ada pula orang-orang yang
menggunakan isu agama sebagai isu untuk membenarkan tindakan perusakan,
penjarahan dan perampasan hak orang lain yang berlainan agama dengannya. Ini
adalah kondisi riil saat ini di manapun di belahan dunia ini.
Dalam sebuah Seminar Nasional tentang Kemajemukan Suku,
Agama, Ras dan Antar Golongan dalam Kehidupan Berbangsa di Era Modern yang
diadakan oleh Pusat Studi Islam dan Penelitian Sosial Universitas Islam
Indonesia, 17 Juni 1997. Drs. Edy Suandi Hamid, M.Sc., mengemukakan pendapat
William Suhanda bahwa sentimen berbau sara yang sering muncul adalah berkaitan
erat dengan adanya kesenjangan ekonomi yang sangat tinggi antara penduduk
pribumi dan non pribumi (William Suhanda, 1996).
Begitulah fenomena pluralisme agama dewasa inim, yang jauh
dari harapan tuntutan ajaran agama-agama yang dianutnya. Seperti dikatakan
seorang sejarawan, Arnold Toynbee dalam Pencarian Manusia Akan Allah,[31]
menyatakan:
“Tujuan yang
sebenarnya dari agama yang lebih luhur adalah untuk menyebarkan nasihat-nasihat
rohani dan kebenaran yang menjadi dasarnya
kepada sebanyak mungkin jiwa yang dapat dicapainya, agar setiap jiwa
tersebut mampu memenuhi tujuan manusia yang sesungguhnya. Tujuan manusia yang
sesungguhnya adalah memuliakan Allah dan memiliki Dia selama-lamanya”.
PLURALISME
AGAMA DALAM PERSPEKTIF AL
QUR’AN
Pandangan
Al Qur’an tentang pluralisme agama. Konsep-konsep tersebut adalah :
1.
Mengakui eksistensi agama lain. (S. An-Nahl : 93)
2.
Memberinya hak untuk hidup berdampingan sambil
menghormati pemeluk agama lain. (S. Al-An’am : 198)
3.
Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat
beribadah umat beragama lain. (S. Al Hajj : 4)
4.
Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain.
(S. Al Baqarah : 229)
5.
Mengakui banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia
dan perintah berlomba-lomba dalam kebajikan. (S. Al Baqarah : 148)
6.
Islam mengakui umat manusia diatas dunia tidak mungkin
semuanya sepakat dalam segala hal itu termasuk hal-hal yang menyangkut
keyakinan agama. (S. Hud : 18-19)
Ayat tersebut digunakan Nur Kholis Madjid dalam pluralisme dan dialog
agama.
Pluralisme Menurut Al-Qur’an
Al-Qur’an sebagai kitab suci (kitabun muthahharah)
maupun sebagai pedoman hidup (hudan linnas) sangat menghargai adanya
pluralitas. Pluralitas oleh al-Qur’an dipandang sebagai sebuah keharusan.
Artinya bagaimanapun juga sesuai dengan “sunatullah”, pluralitas pasti
ada dan dengan itulah manusia akan diuji oleh Tuhan untuk melihat sejauh mana
kepatuhan mereka dan dapat berlomba-lomba dalam mewujudkan kebajikan.
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengakui
adanya pluralitas sebagai sesuatu yang alamiah bahkan dikehendaki oleh Tuhan
itu sendiri, yaitu:
1.
Surat
al-Ma’idah: 48:
لكل
جعلنا منكم شرعة ومنهاجا ولوشاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم فى ما آتكم
فاستبقوا الخيرات الى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه تختلفون.
Artinya:
“Untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.” [32]
Keterangan al-Qur’an di atas jelas merupakan pengakuan
terhadap adanya pluralitas dalam agama. Dalam Tafsir Al-Mu’minin,
Abdul Wadud Yusuf mengomentari ayat tersebut bahwa memang kehendak Allah-lah
manusia dijadikan menjadi umat yang bermacam-macam. Karena jika seandainya Dia
kehendaki manusia akan dijadikan satu umat saja dengan diberikan-Nya satu
risalah dan di bawah satu kenabian. Tetapi Allah menghendaki manusia menjadi
umat yang banyak (umaman) dan Dia turunkan bagi setiap umat itu satu
orang Rasul untuk menguji manusia, siapa yang benar-benar beriman dan siapa
yang ingkar.[33] Hal
senada juga dikemukakan oleh Syaikh Ahmad Al-Shawi Al-Maliki dalam Hasyiyah
Al-‘Allamah Al-Shawi Juz 1 bahwa, Allah sengaja memecah
manusia menjadi beberapa kelompok yang berbeda untuk menguji mereka dengan
adanya syari’at yang berbeda-beda (al-syara’I al-mukhtalifah) untuk
mengetahui yang taat dan yang membangkang.[34]
Dalam ayat tersebutjuga disebutkan, bahwa perbedaan tidak
dapat diperdebatkan sekarang, yakni pada saat orang tidak sanggup keluar atau
melepaskan diri dari apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Allah-lah nanti
yang akan menentukan mana yang benar. Sikap yang seharusnya diambil adalah
membiarkan masing-masing orang berbuat menurut apa yang diyakininya.
2.
Surat
al-Nahl: 93:
ولو
شاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن يضل من يشاء ويهدى من يشاء ولتسئلن عما كنتم
تعملون.
Artinya:
“Dan kalau Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.” [35]
Ayat ini mempunyai substansi yang sama dengan ayat 46 surah
al-Ma’idah tersebut di atas, yaitu mengemukakan kesengajaan Allah menciptakan
perbedaan. Bahwa Tuhan tidak menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Satu
dalam pengertian, satu agama (millarun wahidatun) sehingga tidak
berselisih faham dan berpecah-pecah seperti diungkapkan dalam tafsir Shafwatul
Bayan Li Ma’anil Qur’an karya Syaikh Hasanain Muhammad Makluf
(1994: 277)[36]
3.
Surat
al-Baqarah: 148:
ولكل وجهة هو مولها
فاستبقوا الخيرات اين ما تكونوا يأت بكم الله جميعا ان الله على كل شيء قدير.
(البقرة: 148)
Artinya:
“Dan tiap-tiap umat ada
kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu
(dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan
kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala
sesuatu.” [37]
Al-Qur’an seperti tersebut dalam ayat di atas mengakui bahwa
masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi
kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya
dan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan
ibadahnya. Dengan keragaman dan perbedaan itu ditekankan perlunya masing-masing
berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah pada hari
akhir untuk memperoleh keputusan final. Dikatakan oleh Heru Nugroho sebagaimana
pernah termuat dalam Harian Kompas edisi 17 Januari 1997
dan Atas Nama Agama bahwa rahasia kemajemukan hanya
diketahui oleh Allah, dan tugas manusia adalah menerima, memahami dan menjalani.[38]
4.
Surat
al-Hujaraat: 13:
ياايها الناس انا جعلناكم من ذكر وانثى
وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا ان اكرمكم عند الله اتقاكم ان الله عليم خبير.
(الحجرات:
13)
Artinya:
“Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal. [39]
Makna substansial surat al-Hujaraat ayat 13
adalah, bahwa umat manusia harus menerima kenyataan kemajemukan budaya. Surah
ini menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan
perempuan, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (etnis), dengantujuan
agar mereka saling mengenal dan menghargai. Dari kemajemukan itu yang paling
mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya. Kemajemukan
dalam ayat ini menunjuk pada keanekaragaman budaya seperti; gender, ras, suku,
dan bangsa dalam rangka mendatangkan kebaikan dan kediaman di muka bumi.
Sikap Al-Qur’an Terhadap Pluralisme Agama
Perbedaan pendapat dalam segala aspek kehidupan manusia
merupakan satu fenomena yang telah lahir dan akan berkelanjutan sepanjang
sejarah kemanusiaan. Dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat pengakuan tentang
adanya perbedaan. Perbedaan agama, keyakinan, budaya, dan pola berfikir.
Al-Qur’an sebagai kitab yang diturunkan untuk rahmat
bagi semesta alam pada dasarnya sangat demokratis, sangat mengerti dan
memperhatikan keadaan suatu kaum. Al-Qur’an mengakui adanya kenyataan
beragamnya agama sebagai suatu bentuk perbedaan interpretasi terhadap teks-teks
Tuhan yang ada dalam kitab-kitab suci. Namun al-Qur’an tidak mengakui adanya
pluralisme agama sebagai bentuk keyakinan yang berbeda tentang ke-Esaan Tuhan.
Artinya bahwa al-Qur’an akan menolak mentah-mentah segala ajaran yang
mengandung unsur syirik di dalamnya. Untuk itu Allah menegaskan:
ومن يبتغ غير الاسلام دينا فلن يقبل منه وهو فى
الآخرة من الخاسرين
(العمران: 85)
Artinya:
“Dan
barang siapa mencari agama selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima
dan akhirat dia termasuk kaum yang merugi”.
[40]
Adapun tafsirnya adalah
:
Dan
barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang
merugi.
Namun
demikian al-Qur’an yang mengakui adanya pluralisme agama sebagai sebuah
fenomena, menganjurkan umat Islam untuk dapat menjaga hubungan baik dengan umat
beragama lain. Di antara sikap al-Qur’an tersebut adalah tercermin sebagai
berikut:
1.
Ajakan berbuat damai
ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع
وبيع وصلوات ومساجد يذكر فيها اسم الله كثيرا ولينصرن الله من ينصره إن الله لقوى
عزيز. (الحج: 22)
Artinya:
“Dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah
telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang
yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar maha kuat lagi maha perkasa” (Q.S. Al-Hajj 22: 40). [41]
Tafsirnya adalah :
Katakanlah hai wahai ahli kitab marilah
kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan
bahwa tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak pula sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka saksikanlah bahwa kami adalah
orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.
Al-Qur’an,
seperti yang termaktub dalam ayat di atas jelas tidak menghendaki adanya
perseteruan antar agama (clash). Dengan adanya agama sebagai pedoman hidup
hendaknya menjadikan seseorang sebagai sosok yang gandrung dengan kedamaian dan
cinta kasih. Bukan sebaliknya sebagai jiwa perusak, seperti fenomena umat
beragama saat ini yang gemar melakukan perusakan tempat ibadah umat beragama
lain.
Mahatma
Gandhi dalam All Men Are Brothers: Life and Thoughts of Mahatma Gandhi
As Told in His Own Words (1958) yang dialihbahasakan dalam Semua
Manusia Bersaduara menyatakan:
“Jika kita
percaya Tuhan, tidak hanya dengan kepandaian kita, tetapi dengan seluruh diri
kita maka kita akan mencintai seluruh umat manusia tanpa membedakan ras atau
kelas, bangsa atau pun agama, kita akan bekerja untuk kesatuan umat manusia.
Semua kegiatan saya bersumber pada cinta kasih saya yang kekal kepada umat
manusia. Saya tidak mengenal perbedaan antara kaum keluarga dan orang luar,
orang sebangsa dengan orang asing, berkulit putih atau berwarna, orang hindu
atau orang india beragama lain, orang muslim, parsi, Kristen, atau yahudi. Saya
dapat mengatakan bahwa jiwa saja tidak mampu membuat perbedaan-perbedaan
semacam itu. Melalui suatu proses panjang melakukan disiplin keagamaan, saya
telah berhenti membenci siapapun juga selama lebih dari empat puluh tahun ini”.
(terdapat dalam kata pengantar, hal: xv)[42]
Sungguh merupakan jiwa yang sangat memukau dan dapat
dikatakan sebagai manusia yang “Qur’aniy” sebab pemahamannya terhadap
makna hidup beserta nilai-nilai kasih sayang dan perdamaian yang ada di
dalamnya begitu tinggi.
Jika perbedaan jalan itu merupakan “sunatullah”,
seharusnya perbedaan itu tidak menghalangi orang dalam kelompok tertentu
menyampaikan “kebenaran” kepada kelompok lain. Terutama hal-hal yang merupakan
isu bersama. Dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 64, dilukiskan dengan
indahnya tentang ajakan untuk menuju perdamaian yang nyata dengan:
قل يا اهل الكتاب تعلوا الى كلمة سواء بيننا
وبينكم الا تعبد الا الله ولا تشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا اربابا من دون
الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بانا مسلمون.(العمران: 64)
Artinya:
“Katakanlah, ‘hai ahli kitab, Marilah kita mengambil prinsip dasar
untuk kita: bahwa kita tidak menyembah selain Allah, tidak mempersekutukan Dia
dengan sesuatu pun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian lain Tuhan
selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah. ‘saksikanlah, bahwa kami
adalah orang-orang yang menyerahkan diri kepada Allah.” [43]
2.
Larangan adanya unsur paksaan
Al-Qur’an tidak pernah membenarkan adanya paksaan
dalam memeluk suatu agama karena itu berkaitan erat dengan hak-hak manusia yang
perlu mendapatkan penghargaan setelah disampaikan pesan-pesan (message)
al-Qur’an yang sesungguhnya. Ayat al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat 256
menyebutkan:
لا اكراه فى الدين قد تبين الرشد من الغي فمن
يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى لانفصام لها والله سميع
عليم. (البقرة: 256)
Artinya:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang
ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah
berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah
maha mendengar lagi maha mengetahui.”
[44]
Ketiadaan adanya paksaan dalam beragama ini menurut
Syaikh Nawawi seperti terdapat dalam Tafsir Marah Labid
jilid 1, karena pada dasarnya seseorang sudah diberi potensi untuk membedakan
barang yang haq dan bathil, keimanan dan kekufuran, petunjuk dan kesesatan
(melalui banyaknyapetunjuk-petunjuk yang telah ada (al-dalaa’il) melalui
ayat-ayat Qouliyah maupun kauniyah).[45]
Al-Qur’an hanya membenarkan adanya peringatan
(mengingatkan), dalam surat
al-Ghasyiah dinyatakan:
فذكر انما انت مذكر لست عليهم بمصيطر الا من
تولى وكفر. فيعذبه الله العذاب الاكبر.
Artinya:
“… maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang
yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka, tetapi
orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan yang besar”. [46]
Setelah peringatan-peringatan itu disampaikan dan
ternyata tidak mau juga merambah jalan yang menuju kebenaran, maka keyakinan
dan ritual-ritual yang mereka jalani menjadi urusan masing-masing dan tidak
boleh ada perasaan permusuhan karena tertolaknya ajakan (surat al-Kaafirun). Keinginan untuk membawa
orang lain mengikuti jalan kebenaran adalah sah menurut al-Qur’an, namun
keputusan untuk ikut atau tidak diserahkan sepenuhnya kepada orang yang
bersangkutan, bukan orang yang menginginkan.
Dalam sejarah secara nyata dipaparkan bagaimana
pribadi seorang yang menjadi suri tauladan bagi umatnya, Muhammad utusan Allah
tidak pernah melakukan pemaksaan. Karena disitulah letak ujian bagi seseorang.
Terdapat dalam surat
al-Kahf:
فلعلك باخع نفسك على اثارهم ان لم يؤمنوا بهذا
الحديث اسفا. انا جعلنا ما على الارض زينة لها لنبلوهم ايهم احسن عملا.
(الكهف:
6-7)
Artinya:
“Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah
mereka berpaling, sekiranya mereka tidak percaya kepada cerita al-Qur’an ini.
Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang ada di perhiasan baginya, agar kami
menguji mereka, siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”. [47]
3.
Konsep Ukhuwah Islamiyyah
Ukhuwah sering diartikan sebagai sebuah bentuk atau hubungan
persaudaraan antara seseorang dengan orang lainnya. Yang paling besar gaungnya
adalah tentang ukhuwah islamiyah. Ukhuwah yang biasa diartikan
sebagai “persaudaraan”, menurut M. Quraish Shihab dalam Wawasan
Al-Qur’an, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti
“memperhatikan”. Maka asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan
adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.[48]
Dalam Wawasan Al-Qur’an konsep
tentang “ukhuwah islamiyah” dibahas secara panjang lebar oleh M. Quraish
Shihab. Menurutnya, istilah “ukhuwah islamiyah” ini perlu didudukkan
maknanya, agar bahasan tentang “ukhuwah” tidak mengalami kerancuan.
Untuk itu terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan
kedudukan katan “Islamiyah” dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan
bahwa istilah tersebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”,
atau dengan kata lain, “persaudaraan antar sesama muslim”, sehingga dengan
demikian, kata “Islamiyah” dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini kurang tepat. Kata “islamiyah”
yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai “adjektifa”,
sehingga “ukhuwah islamiyah” berarti “persaudaraan yang bersifat islami
atau yang diajarkan oleh Islam”. (1996: 486-487). Paling tidak, ada dua alasan
untuk mendukung pendapat ini. Pertama, al-Qur’an dan al-Hadits
memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan seperti; saudara kandung (QS Al-Nisa
[4]: 23), saudara dalam arti sebangsa (QS al-A’raf [7]: 65), saudara
semasyarakat, walaupum berselisih faham (QS Shaad [38]: 23), persaudaraan
seagama (QS Al-Hujurat [49s]: 10), dan saudara yang dijalin oleh ikatan
keluarga (QS Thaha [20]: 29-30). Kedua, karena alasan kebahasaan. Di
dalam bahasa Arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya.
Jika yang disifati berbentuk indefintif maupun feminin, kata sifatnya pun harus
demikian. Ini terlihat jelas pada saat kita berkata Ukhuwah Islamiyah
dan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah”.
Berkaitan dengan ukhuwah islamiyah, Al-Qur’an
memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
1.
Ukhuwah di al-‘ubudiyyah, yaitu bahwa seluruh
makhluk adalah bersaudara dalam arti memiliki kesamaan.
وما من
دآبة فى الارض ولا طآئر يطير بجناحيه الا امم امثالكم ما فرطنا فى الكتاب من شيء
ثم الى ربهم يحشرون.
Artinya:
“Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami
alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab, kemudian kepada tuhanlah mereka
dihimpunkan”. (QS 6: 38)
[49]
Persamaan
ini, antara lain, dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah (Al-Baqarah [2]:
28).
2.
Ukhuwah fi al-insaniyah, dalam arti keseluruhan umat
manusia adalah bersaudara, karena mereka bersumber dari ayah dan ibu yang satu.
Ayat al-Hujurat 12 menjelaskan tentang hal ini.rasul saw. Juga menekankannya
dalam sabda beliau: “Kuunuu ‘ibadallah ikhwanaa al-‘ibad kulluhumikhwat”.
3.
Ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab.
Persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan seperti yang disyaratkan oleh ayat wa
ila ‘ad akhahum hud, dan lain-lain.
4.
Ukhuwah fi din al-Islam. Persaudaraan antar
sesama muslim, seperti bunyi surah al-Ahzab 5. demikian juga dalam sabda Rasulullah
saw.: “Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang
datang sesudah [wafat]-ku”.
Lebih lanjut M. Quraish Shihab dalam Membumikan
Al-Qur’an (1995: 359) menyatakan bahwa faktor penunjang lahirnya
persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak
persamaan semakin kokoh pula persaudaraan. Persaudaraan dalam rasa dan cita
merupakan faktor yang sangat dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan
hakiki dan yang pada akhirnya menjadikan seorang saudara merasakan derita
saudaranya. Sebagai contoh adalah mengulurkan tangan bantuan kepada saudaranya
sebelum diminta serta memperlakukannya bukan atas dasar take and give
tetapi justru “Mengutamakan orang lain walau dirinya sendiri kekurangan”.(Q.S.
59: 9)[50]
Dari fenomena yang dipaparkan di atas paling tidak
sudah begitu mencukupi sebagai bukti bahwa al-qur’an benar-benar menghargai
adanya pluralitas, pluralisme agama khususnya, sesuai pembahasan kali ini. Itu
menunjukkan betapa al-Qur’an berisi penuh ajaran-ajaran kasih dan sayang. Tidak
seperti yang dituduhkan para orientalis sementara ini.
Jihad dan Relevansinya Dengan Konsep Pluralisme Keagamaan
M. Darwan Raharjo (1996) dalam Ensiklopedi
Al-Qur’an menyebutkan, jihad sebagai sebuah konsep penting dalam
al-Qur’an berkaitan dengan hakikat sosial keberagaman Islam. Karena
pemakaiannya dewasa ini biasa dikaitkan dengan peristiwa kerusuhan sosial,
istilah jihad kini mengandung unsur “pejoratif”. Istilah itu sudah
tereduksi, bahkan terdegradasi maknanya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam al-Qur’an
mengandung begitu banyak ayat-ayat yang menganjurkan perang dan bersikap
bermusuhan dengan kaum ataupun golongan lain. Misalnya, ayat 120 yang terdapat
dalam surah al-Baqarah:
ولن ترض عنك اليهود ولا النصرى حتى تتبع ملتهم
قل ان هدى الله هو الهدى ولئن اتبعت اهواءهم بعد الذى جآءك من العلم ما لك من الله
من ولي ولا نصير. (البقرة: 23)
Artinya:
“Orang-orang Yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada
kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk
Allah itulah petunjuk (yang benar). Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti
kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi
menjadi pelindung dan penolongbagimu”.
[51]
Kemudian ayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin
seharusnya memerangi orang-orang yang tidak beriman dan ahli kitab:
قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخر
ولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولا يدينون الحق من الذين اوتوا الكتاب حتى يؤتوا
الجزية عن يد وهم صاغرون.
Artinya:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak pula kepada hari kemudian dan mereka yang tidak mengharamkan apa yang
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang
benar, yaitu orang-orang yang diberi kitab, jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk”. (QS. At-Taubah [9]: 29)
[52]
Ayat-ayat ini barangkali yang membentuk karakter yang
keras kepada pemeluk yang berbeda-beda disamping ayat “Asyiddaa ‘ala
al-kuffaar”. (QS. Al-Isra’). Al-Qur’an memang mengandung ayat-ayat
yang secara sekilas memberikan pemahaman yang bertentangan dan banyak orang yang
mengambil bagian-bagian yang sesuai dengan kepentingan atau cara pandang
mereka.
Menurut Machasin (1999) dalam Pergulatan
Pesantren dan Demokrasi, bahwa mereka akan mentakwilkan atau tidak
mau membaca ayat-ayat lain yang tidak sesuai menurut mereka. Tidak heran jika
Islam oleh sementara orang-orang barat dipandang sebagai kaum-kaum teroris yang
keji. Islam dengan konsep jihadnya dipandang sebagai umat yang menyukai
kekerasan. Jelasnya, bahwa masih banyak orang yang belum paham dengan substansi
jihad itu sendiri, bahkan orang-orang Islam sekalipun.[53]
Jihad menurut tuntunan al-Qur’an adalah alternatif
terakhir dan satu-satunya jalan yang ditempuh, tidak ada jalan lainnya.
Dasarnya adalah pesan Rasulullah saw. Ketika kembali dari perang badar, perang
besar antara kaum muslimim melawan kaum kuffar yang berlipat-lipat jumlahnya,
nabi Muhammad saw. Bersabda:
رجعنا
من الجهاد الاصغر الى الجهاد الاكبر الجهاد الاكبر هو الجهاد النفس.
Artinya
“Ketika telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad
yang besar (jihad el-akbar) yaitu jihad melawan hawa nafsu”. (Al-Hadits)
Artinya, jihad dengan senjata itu bukan hal yang
utama, melainkan yang lebih utama adalah jihad melawan hawa nafsu sendiri
sebagai sumber kerusakan. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam
Islam yang berjudul asli L’humanisme De L’islam,
menyatakan bahwasanya doktrin Islam telah membentuk suatu hirarki tentang
nilai-nilai. Jihad yang paling tinggi adalah jihad yang dilakukan terhadap
“hawa nafsunya” sebagaimana dikatakan oleh hadits nabi. Usaha pribadi ini
dianggap “perang suci yang terbesar”. Dengan begitu maka perang suci dengan
senjata menjadi nomor dua secara relatif, dan hanya merupakan manifestasi yang
paling konkret dari jihad.[54]
Jihad dalam Islam adalah jalan satu-satunya yang bisa
dilakukan sebagai upaya membela diri. Sedangkan diantara sebab-sebab yang
membolehkan perang adalah untuk mempertahankan masyarakat, dan melindungi orang
yang dianiaya pada umumnya. Hal tersebut senada dengan Boisard bahwa dalam
bidang “perang suci” dengan senjata, kaum muslimim berkewajiban untuk
melakukannya dalam bentuk mempertahankan diri dari serangan-serangan. Yang
dilukiskan oleh doktrin yuridis Islam dalam enam tipe: jihad terhadap
musuh-musuh Tuhan, jihad untuk menjaga tapal batas (ribat), jihad terhadap
orang-orang murtad dan orang-orang yang memisahkan diri (baghi), terhadap
gerombolan-gerombolan yang mengacau keamanan dan terhadap kaum menoteis yang
menolak membayar “jizyah”.[55]
Sikap al-Qur’an terhadap agresi sangat jelas.
Kecenderungan alamiah untuk melakukan kekerasan, kehausan untuk dominasi,
keinginan untuk membalas dendan, keuntungan material, kemauan untuk merampas hk
orang lain, adalah sebab-sebab jahat dan zalim. Dengan ringkas, agresi adalah
terlarang. Bagi literatur Islam, perang-perang yang dilakukan nabi Muhammad
saw. Menunjukkan sifat-sifat khusus perang Islam, yaitu adil dalam motifnya,
defensive dalam permulaannya, tinggi dalam cara pelaksanaannya, damai dalam
tujuan akhirnya, dan berperikemanusiaan dalam memperlakukan mereka yang
dikalahkan.
Menurut Alwi Shihab, seperti yang terdapat dalam Islam
Inklusif bahwa tuduhan yang sering dilontarkan oleh sebagian kaum
orientalis bahwa Islam adalah “agama pedang”, yang menganjurkan aksi-aksi
radikal pada umumnya, mendasarkan argumentasinya dalam dua hal. Pertama
adalah dalam interaksinya dengan kekuatan eksternal (non-Islam), Islam telah
berhasil menyebarkan sayapnya dan menancapkan kakinya melalui ekspansi militer
jauh dari titik geografis kelahirannya. Bukti sejarah menunjukkan ekspansi
teritorial Islam yang tak terbendung pada masa formatifnya sampai ke daratan
eropa di barat dan benua india
di timur.[56]
Kedua, hubungan internal umat Islam yang
berlangsung antara kelompok oposisi dengan penguasa sejak pembunuhan khalifah
utsman r.a. sampai sekarang selalu diwarnai oleh kekerasan. Corak kekerasan ini
bagi sebagian orientalis adalah konsekuensi logis penekanan konsep jihad dalam
kehidupan politik Islam.
Asumsi sebagian orientalis tentang kaitan Islam dengan
radikalisme adalah akibat persepsi keliru tentang arti dan fungsi jihad dalam
Islam. Adalah tidak benar asumsi yang menyatakan bahwa jihad identik dengan
aksi mengangkat senjata. Jihad dalam pengertian etimologis adalah usaha
sungguh-sungguh yang tidak mengenal lelah.
Karena itu dapat dikatakan bahwa jihad dengan
mengangkat senjata adalah jihad dalam pengertian yang sempit. Dalam al-Qur’an
dikenal dua ketegori untuk jihad; pertama, jihad fi sabilillah, dimaksudkan sebagai usaha
sungguh-sungguh dalam menempuh jalan Allah, termasuk di dalamnya pengorbanan
harta dan nyawa (konfrontasi). Kedua, jihad fillah adalah usaha untuk
memperdalam aspek spiritual sehingga terjalin hubungan erat antara seseorang
dengan Allah. Usaha sungguh-sungguh ini diekspresikan melalui penundukan
tendensi negatif yang bersarang di jiwa tiap manusia, dan penyucian jiwa
sebagai titik orientasi seluruh kegiatan.
Untuk memperjelas substansi jihad tidak diidentikkan
dengan aksi mengangkat senjata, al-Qur’an membedakan antara konsep qital
(interaksi bersenjata) dengan konsep jihad. Jihad jelasnya menunjuk kepada
suatu konsep yang komprehensif, di mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan
Allah melalui penggunaan senjata.
Jihad dalam pengertian yang sempit (mengangkat
senjata) inilah agaknya yang banyak dipegangi oleh para orientalis dan sebagian
umat Islam sehingga tidak heran dapat menimbulkan antagonisme diantara mereka.
Kasus seperti yang terjadi di ambon tentang adanya laskar jihad banyak
menimbulkan pro dan kontra bahkan di kalangan umat Islam sendiri. Gus Dur
sebagai kepala negara tidak menyetujui dikirimkannya laskar jihad dari jawa
karena urusan itu biar mereka sendiri yang menyelesaikan, lagi pula akan
memancing datangnya laskar salib dari daerah lain seperti NTT dan Papua. Namun
ustadz Ja’far memandang bahwa jihad ini wajib adanya bagi umat Islam, dan jihad
disini adalah jihad kemanusiaan, artinya tidak harus turun ke medan laga untuk bertahan.
Dengan adanya jihad dalam pengertian yang sebenarnya
tidak akan menghambat proses pembumian kesadaran pluralisme agama pada
umat-umat beragama. Untuk itulah mengapa perlu dijelaskan tentang konsep jihad
yang sebenarnya menurut cara pandang Islam yang berlandaskan kepada al-Qur’an
dan al-Hadits.
[1]Alwi
Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 39
[2]Marsen,
Martin H, Oxford Leaner’s Pokcet Dictionary, (Oxford University,
1999), Second Edition
[3]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
209.
[4]Shihab,
M. Quraish, Wawasan Al Qur’an, (Bandung,
Mizan), hal. 375
[5]Ibid.,
hal. 210.
[6]Ibid.,
hal. 209.
[7]Thouless,
Robert H., Pengantar Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Cet. II, 1985), hal. 17.
[8]Nottingham,
Elizabeth K., Agama dan Masyarakat: Suatu Pemngantar Sosiologi Agama,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. VI, 1996), hal. 2.
[9]Martin
H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford University,
Second Edition, 1991) hal. 349
[10]Shihab,
Alwi, Islam Inklusif, hal. 41
[11]Watch Tower
and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New York:
International Bible Students Association, 1991), hal. 19.
[12]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
211.
[13]Ibid.
[14]Watch
Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah, (New
York: International Bible Students Association, 1990) hal. 20
[15]
Al Qur’an dan Terjemahnya, Depag, Al Maidah (5), hal. 158.
[16]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 37, hal. 15.
[17]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag,
Al-Baqarah, (2) : 38, hal. 15
[18]
Watch Tower and Tract Society of New York, Op. Cit., hal. 32
[19]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 87, hal. 24
[20]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, Al Baqarah (2) : 113, hal. 30
[21] John L. Esposito, Bahaya
Hijau!, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997, Cet. I) hal. 62
[22] Ibid.,
hal. 62.
[23]
Watch Tower and Tract Society of New York, Pencarian Manusia Akan Allah,
(New York: Internasional) Bible Students Assosiation, 1991), hal. 14
[24]Arifin,
Syamsul, Merambah Jalan Baru dalam Beragama, (Yogyakarta:
ITTIBA Pers dan UMM, Cet. I, 2000)
[25]Al
Qur’an dan terjemah, Depag, Al Baqarah
(2) : 62, hal. 19
[26]Alwi
Shihab, Islam Iklusif, (Bandung: Mizan 1997), hal. 79
[27]Shihab,
M. Quraish Wawasan ….., Op. Cit., hal.
[28]Ibid.
[29]
Pencarian Manusia Akan Allah, Op. Cit.
[30]Esposito,
L. John.
Op. Cit., hal. 67.
[31]Pencarian
Manusia Akan Allah, Op. Cit., hal. 16.
[32]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Maidah (3) : 48, hal. 168.
[33]Yusuf,
Abdul Wadud, Tafsir al-Mu’minin, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 62
[34]Al-Maliky,Syaikh Ahmad
Al-Shawi, Hasyiah Al-‘Allamah Al-Shawy ‘Ala Tafsir Al-Jalaluddin, (Surabaya: Dar Ihya
Al-Kutub Al-Arabiyah, tt), hal. 287
[35]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. An Nahl (16) : 93, hal. 416
[36]Makhluf, Syaikh Hasanain Muhammad, Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’an,
(Cairo: Darul Basya’ir, 1994) hal. 277
[37]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah
(2) : 148, hal. 38
[39]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Hujurat (49) : 13, hal. 847.
[40]
Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali ‘Imran (3) : 85, hal. 90
[41] Al Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al-Hajj (22) : 40, hlm. 518
[42]Gandhi,
Mahatma, Semua Manusia Bersaudara, (Jakarta: Gramedia, 1998) hal. 15
[43]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Ali Imron (3) : 64, hal. 86
[44]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 256, hal. 63.
[45]Tafsir
Marah Labid, Jilid I, 82.
[46]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Ghaasyiyah (88) : 21-23, hal. 1055
[47]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Kahfi (18) : 6-7, hal. 443-444
[48]Shihab, M. Quraish, Wawasan …. , hal. 486.
[49]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al
An’am (6) : 38, hal. 192
[50]Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, Cet. XI, 1995) hal.
359
[51]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. Al Baqarah (2) : 120, hal. 32
[52]Al
Qur’an dan terjemahnya, Depag, S. At Taubah (9) : 29, hal. 282
[53]
Machasin, Pergulatan Pesantren dan Demokrasi, 1999.
[54] Boisard, Marcel A. Humanisme
Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hal. 259
[55] Ibid,
hal. 259.
[56]Shihab,
Alwi, Op. Cit., hal. 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar