Reorientasi Paradigma Pendidikan Islam
Di era globalisasi dan
modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi, komunikasi, media
elektronik yang tidak mungkin dibendung lagi. Manusia harus menghadapi kemajuan
teknologi dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini Pendidikan Islam
dihadapkan pada pilihan yang sulit antara mempertahankan sistem pendidikan yang
lama yang sarat dengan materi-materi yang sifatnya eskatologis ataukah
melakukan terobosan baru guna membekali anak didik dalam mengadapi globalisasi?
Kalau umat
Islam masih cenderung mempertahankan cara yang pertama: paradigma salaf maka
penulis yakin Pendidikan Islam akan ditinggalakan oleh masyarakat. Karena model
ini lebih cenderung menonjolkan aspek kognisi bersifat menghafalkan materi-materi
pelajaran agama sehingga produk yang dihasilakan (siswa didik) tidak lebih seperti robot-robot
yang mampu bekerja sesuai dengan remote control (pendidik). Proses pendidikan
berlangsung secara monolitik (seragam)
kurang mengembangkan daya kritis, keratif dan inovatif. Oleh karena itu harus
ada reorientasi paradigma pendidikan agama Islam yang dapat menjawab kebutuhan
masyarakat dengan tidak meninggalkan inti ajarannya. Dalam hal ini peran
pendidikan tidak lain yaitu menyiapkan anak didik mampu mengadaptasikan dengan
perkembangan zaman dengan dampak yang ditimbulkannya. Anak didik tidak hanya
akan cukup dibekali dengan materi-materi namun lebih dari itu dibutuhkan
penguasaan metodologi.
Ada empat tradisi
psikologi kognitif yang mewarnai proses pembelajaran saat ini, yaitu: behaviorisme[1],
developmental[2],
information processing[3],
dan kontructivisme. Namun hanya dua (behaviorisme dan
developmental) yang diimplementasikan dalam pendidikan di Indonesia secara intensif.[4]
Sutrisno[5]
mengatakan bahwa tradisi contruktivisme memandang belajar sebagai proses
aktif seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya sendiri
melalui interaksi dengan lingkungannya dengan cara membangun keterkaitan antara
pengetahuan yang sedang dihadapi dan pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata
lain terjadinya proses dialog dan perenungan antara pengetahuan yang diperoleh
(siswa didik) dari pendidikan dengan realitas empirik –budaya masyarkat
setempat.
Untuk menuju
pada pendidikan agama Islam yang mengargai pluralisme selain perubahan pada
materi-materi yang tersusun dalam silabi seperti yang disebutkan di atas, juga
harus dilakukan perubahan pendekatan dalam pengajaran. Pola-pola lama dalam
pendekatan agama harus dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif
dengan tidak mengenyampingkan perbedaan peserta didik. Dengan demikian pola
penyeragaman harus ditinggalkan karena menggingat keunikan peserta didik harus
tetap tumbuh sebagai upaya menumbuhkan daya kerativitas. Adapun
pendekatan-pendekatan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama,
pendekatan historis. Pendekatan ini berusaha mengajak manusia untuk menukik
dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.[6]
Dengan demikian dalam pengajaran agama Islam guru harus menyampaikan secara
detail sampai pada akar-akarnya: berkaitan dengan isi, asbabun nuzul/asbabul
wurud, kapan, di mana dan hikmah dari ayat atau hadist tersebut. Penelusuran
sejarah menjadi titik tekan dan dikemukakan secara terbuka dan jujur dengan
senantiasa membuka diri untuk berbeda pendapat. Sejarah dikemukakan sebagai
fakta, bukan sebagai kemestian yang harus diikuti dan dibenarkan. Apa yang baik
dalam sejarah harus dikatakan baik dan apa yang buruk dikatakan buruk.
Penilaian diserahkan kepada peserta didik sedangakn pendidik sebagai penyampai
berita.
Pendektan
historis ini sebenarnya merupakan pendekatan yang mencoba mendekatkan
kejadian-kejadian di masa lampau yang biasanya mensejarah kemudian
dikonfrontasikan dengan norma-norma yang ada. Dalam konfrontasi ini kadang-kadang
yang dikatakan dalam kitab suci berlainan dengan apa terjadi sehingga
menimbulkan semacam confuse tersendiri, bukan hanya bagi siswa namun
juga pendidik. Tetapi itu realitas yang harus dikemukakan.
Kedua,
pendekatan sosiologis. pendekatan ini berusaha melihat keadaan masyarakat serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.[7]
Dengan pendekatan ini diharapkan ada proses kontekstualisasi atas apa yang
pernah terjadi di masa sebelumnya. Kontekstualisasi ini dalam pemikiran Islam
dapat disebut ijtihad (inovasi/pembaharuan) atas apa yang dulu pernah dipahami.
Dengan pendekatan sosiologi akan membawa materi Pendidikan Agama Islam pada
umumnya lebih aktual. Keaktualan materi bukan karena dibuat-buat tetapi lebih
berdasarkan keterangan-keterangan yang senantiasa ada dasar argumentasinya dan
dikemukakan secara terbuka.
Pendekatan
sosiologi secara tegas menolak pengajaran dengan pola indokrinasi tetapi lebih
menekankan kerangka berpikir kontekstual kekinian, dengan ini ada peluang siswa
untuk saling menghormati dan toleran terhadap pluralisme. Pendekatan doktrinal
dogmatikal cenderung menekankan pada pembelaan-pembelaan atas apa yang
dikatakan kitab suci. Pendekatan sosiologi tidak demikian, kitab suci tetap
sebagai rujukan tetapi dengan melihat realitas kondisi masyarakat yang berbeda
dengan masyarakat di mana kitab suci diturunkan.
Ketiga,
pendekatan kultural. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengajak siswa memahami
apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan mana yang otensik (orisinil). Pendektan
ini berusaha melihat campur aduknya tradisi Arab dan nilai ajaran agama yang
orisinil, sehingga masih banyak umat Islam salah memahami mana yang tradisi
Arab dan mana yang ajaran Islam.
Tumpang-tindih
antara tradisi Islam dan pure Islam menjadi agenda yang harus dipikirkan
pendidik karena jika terus-menerus dibiarkan akan menyebabkan tumbuhnya
“tradisi-tradisi” yang dianggap ajaran Islam. Dengan pendekatan ini akan
menolong siswa untuk dapat membedakan mana yang tradisi dan mana yang ajaran
Islam sehingga siswa memiliki sikap menghargai tradisi-tradisi yang
berbeda-beda serta melanggengkan tradisi yang baik dan meninggalkan jika memang
tidak perlu diikuti.
Keempat,
pendekatan psikologis. Pendektan ini dimaksudkan bahwa materi pelajaran
diberikan sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak didik. Di mana setiap siswa
dilihat sebagi manusia yang mandiri dan unique dengan karakter dan
kemapuan yang dimiliki. Dengan pendekatan ini anak didik menjadi manusia
“pembelajar” yang dengan segala informasinya akan dapat secara progresif
mengorganisasikan dan memperkaya apa-apa yang sudah diketahui dan bukan malah
mematikannya. Pendidik dalam hal ini tidak memperhatikan aspek kognisi dalam
keberhasilan intelektual tetapi lebih pada mengorientasikan pada fakta-fakta
yang terjadi di lingkungan sekitar.
Untuk
menyiapkan peserta didik di era modern: yang multi etnik, multi kultural dan
multi religius menurut masthuhu pendidikan harus merubah cara belajar dari
model warisan menjadi cara belajar problem solving (pemecahan masalah), dari
hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari penguasaan materi sebanyak
mungkin ke penguasaan metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan
menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima
ilmu sebagai proses, dan fungsi pendidikan hanya mengasah dan mengembangkan
akal namun mengelola dan mengembangkan hati dan keterampilan.[8]
Dengan
demikian Pendidikan Islam berusaha mengoptimalkan tiga ranah (kognisi, afeksi
dan psikomotor) sekaligus serta aspek sosial. Proses pembelajaran harus
dimaknai sebagai upaya mengantarkan anak didik untuk berpikir (learning to
think), untuk berbuat (learning to do), untuk menjadi (learning
to be), serta untuk hidup bersama dengan orang lain (learning to live
together). Jadi, dalam hal ini pendidikan agama Islam merupakan proses
menyeimbangkan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan
sosial-kemasyarakatan.
[1] Tradisi behaviorisme
mencerminkan proses pembelajaran dari perubahan tingkah laku dari belum tahu
menjadi tahu. Maka materi pelajaran disusun berdasarkan hirarki dari yang
sederhana ke yang lebih kompleks. Anak didik bagaikan mesin “poto copy” yang harus mengikuti apa
yang dikehendaki guru.
[2] Tradisi
ini menunjukkan bahwa perkembangan intelektual manusia mengalami beberapa
tahapan. Maka dianjurkan cara penyampaian materi pelajaran disesuaikan dengan
tingkat perkembangan intelektual peserta didik.
[3] Tradisi
ini belum secra keseluruhan diterapkan di lembaga pendidikan di Indonesia
karena memerlukan biaya yang mahal. Tradisi information processing memerlukan
sarana komputer.
[4] Leo
Sutrisno, “Pluralisme, Pendidikan
Pembelajaran dalam Tradisi Kontruktivisme”, Th. Sumartana, Pluralisme
Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001),
hlm. 210
[5] Ibid.,
hlm. 211
[6] Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 47
[7] Ibid., hlm. 39
[8] Mastuhu,
Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar