Senin, Juni 11, 2012

Reorientasi Paradigma Pendidikan Islam

Reorientasi Paradigma Pendidikan Islam


Di era globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi, komunikasi, media elektronik yang tidak mungkin dibendung lagi. Manusia harus menghadapi kemajuan teknologi dengan segala dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini Pendidikan Islam dihadapkan pada pilihan yang sulit antara mempertahankan sistem pendidikan yang lama yang sarat dengan materi-materi yang sifatnya eskatologis ataukah melakukan terobosan baru guna membekali anak didik dalam mengadapi globalisasi?
Kalau umat Islam masih cenderung mempertahankan cara yang pertama: paradigma salaf maka penulis yakin Pendidikan Islam akan ditinggalakan oleh masyarakat. Karena model ini lebih cenderung menonjolkan aspek kognisi bersifat menghafalkan materi-materi pelajaran agama sehingga produk yang dihasilakan  (siswa didik) tidak lebih seperti robot-robot yang mampu bekerja sesuai dengan remote control (pendidik). Proses pendidikan berlangsung secara monolitik  (seragam) kurang mengembangkan daya kritis, keratif dan inovatif. Oleh karena itu harus ada reorientasi paradigma pendidikan agama Islam yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dengan tidak meninggalkan inti ajarannya. Dalam hal ini peran pendidikan tidak lain yaitu menyiapkan anak didik mampu mengadaptasikan dengan perkembangan zaman dengan dampak yang ditimbulkannya. Anak didik tidak hanya akan cukup dibekali dengan materi-materi namun lebih dari itu dibutuhkan penguasaan metodologi.
Ada empat tradisi psikologi kognitif yang mewarnai proses pembelajaran saat ini, yaitu: behaviorisme[1], developmental[2], information processing[3], dan kontructivisme. Namun hanya dua (behaviorisme dan developmental) yang diimplementasikan dalam pendidikan di Indonesia secara intensif.[4] Sutrisno[5] mengatakan bahwa tradisi contruktivisme memandang belajar sebagai proses aktif seseorang dalam membangun pengetahuan yang bermakna dalam dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya dengan cara membangun keterkaitan antara pengetahuan yang sedang dihadapi dan pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain terjadinya proses dialog dan perenungan antara pengetahuan yang diperoleh (siswa didik) dari pendidikan dengan realitas empirik –budaya masyarkat setempat.
Untuk menuju pada pendidikan agama Islam yang mengargai pluralisme selain perubahan pada materi-materi yang tersusun dalam silabi seperti yang disebutkan di atas, juga harus dilakukan perubahan pendekatan dalam pengajaran. Pola-pola lama dalam pendekatan agama harus dirubah dengan model baru yang lebih mengalir dan komunikatif dengan tidak mengenyampingkan perbedaan peserta didik. Dengan demikian pola penyeragaman harus ditinggalkan karena menggingat keunikan peserta didik harus tetap tumbuh sebagai upaya menumbuhkan daya kerativitas. Adapun pendekatan-pendekatan tersebut antara lain sebagai berikut:
Pertama, pendekatan historis. Pendekatan ini berusaha mengajak manusia untuk menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.[6] Dengan demikian dalam pengajaran agama Islam guru harus menyampaikan secara detail sampai pada akar-akarnya: berkaitan dengan isi, asbabun nuzul/asbabul wurud, kapan, di mana dan hikmah dari ayat atau hadist tersebut. Penelusuran sejarah menjadi titik tekan dan dikemukakan secara terbuka dan jujur dengan senantiasa membuka diri untuk berbeda pendapat. Sejarah dikemukakan sebagai fakta, bukan sebagai kemestian yang harus diikuti dan dibenarkan. Apa yang baik dalam sejarah harus dikatakan baik dan apa yang buruk dikatakan buruk. Penilaian diserahkan kepada peserta didik sedangakn pendidik sebagai penyampai berita.
Pendektan historis ini sebenarnya merupakan pendekatan yang mencoba mendekatkan kejadian-kejadian di masa lampau yang biasanya mensejarah kemudian dikonfrontasikan dengan norma-norma yang ada. Dalam konfrontasi ini kadang-kadang yang dikatakan dalam kitab suci berlainan dengan apa terjadi sehingga menimbulkan semacam confuse tersendiri, bukan hanya bagi siswa namun juga pendidik. Tetapi itu realitas yang harus dikemukakan.
Kedua, pendekatan sosiologis. pendekatan ini berusaha melihat keadaan masyarakat serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.[7] Dengan pendekatan ini diharapkan ada proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya. Kontekstualisasi ini dalam pemikiran Islam dapat disebut ijtihad (inovasi/pembaharuan) atas apa yang dulu pernah dipahami. Dengan pendekatan sosiologi akan membawa materi Pendidikan Agama Islam pada umumnya lebih aktual. Keaktualan materi bukan karena dibuat-buat tetapi lebih berdasarkan keterangan-keterangan yang senantiasa ada dasar argumentasinya dan dikemukakan secara terbuka.
Pendekatan sosiologi secara tegas menolak pengajaran dengan pola indokrinasi tetapi lebih menekankan kerangka berpikir kontekstual kekinian, dengan ini ada peluang siswa untuk saling menghormati dan toleran terhadap pluralisme. Pendekatan doktrinal dogmatikal cenderung menekankan pada pembelaan-pembelaan atas apa yang dikatakan kitab suci. Pendekatan sosiologi tidak demikian, kitab suci tetap sebagai rujukan tetapi dengan melihat realitas kondisi masyarakat yang berbeda dengan masyarakat di mana kitab suci diturunkan.
Ketiga, pendekatan kultural. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengajak siswa memahami apa yang sebenarnya menjadi tradisi dan mana yang otensik (orisinil). Pendektan ini berusaha melihat campur aduknya tradisi Arab dan nilai ajaran agama yang orisinil, sehingga masih banyak umat Islam salah memahami mana yang tradisi Arab dan mana yang ajaran Islam.
Tumpang-tindih antara tradisi Islam dan pure Islam menjadi agenda yang harus dipikirkan pendidik karena jika terus-menerus dibiarkan akan menyebabkan tumbuhnya “tradisi-tradisi” yang dianggap ajaran Islam. Dengan pendekatan ini akan menolong siswa untuk dapat membedakan mana yang tradisi dan mana yang ajaran Islam sehingga siswa memiliki sikap menghargai tradisi-tradisi yang berbeda-beda serta melanggengkan tradisi yang baik dan meninggalkan jika memang tidak perlu diikuti.
Keempat, pendekatan psikologis. Pendektan ini dimaksudkan bahwa materi pelajaran diberikan sesuai dengan perkembangan kejiwaan anak didik. Di mana setiap siswa dilihat sebagi manusia yang mandiri dan unique dengan karakter dan kemapuan yang dimiliki. Dengan pendekatan ini anak didik menjadi manusia “pembelajar” yang dengan segala informasinya akan dapat secara progresif mengorganisasikan dan memperkaya apa-apa yang sudah diketahui dan bukan malah mematikannya. Pendidik dalam hal ini tidak memperhatikan aspek kognisi dalam keberhasilan intelektual tetapi lebih pada mengorientasikan pada fakta-fakta yang terjadi di lingkungan sekitar.
Untuk menyiapkan peserta didik di era modern: yang multi etnik, multi kultural dan multi religius menurut masthuhu pendidikan harus merubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar problem solving (pemecahan masalah), dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari penguasaan materi sebanyak mungkin ke penguasaan metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu sebagai proses, dan fungsi pendidikan hanya mengasah dan mengembangkan akal namun mengelola dan mengembangkan hati dan keterampilan.[8]
Dengan demikian Pendidikan Islam berusaha mengoptimalkan tiga ranah (kognisi, afeksi dan psikomotor) sekaligus serta aspek sosial. Proses pembelajaran harus dimaknai sebagai upaya mengantarkan anak didik untuk berpikir (learning to think), untuk berbuat (learning to do), untuk menjadi (learning to be), serta untuk hidup bersama dengan orang lain (learning to live together). Jadi, dalam hal ini pendidikan agama Islam merupakan proses menyeimbangkan antara kebutuhan individu dengan kebutuhan sosial-kemasyarakatan.



[1] Tradisi behaviorisme mencerminkan proses pembelajaran dari perubahan tingkah laku dari belum tahu menjadi tahu. Maka materi pelajaran disusun berdasarkan hirarki dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Anak didik bagaikan mesin “poto copy” yang harus mengikuti apa yang dikehendaki guru.
[2] Tradisi ini menunjukkan bahwa perkembangan intelektual manusia mengalami beberapa tahapan. Maka dianjurkan cara penyampaian materi pelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik.
[3] Tradisi ini belum secra keseluruhan diterapkan di lembaga pendidikan di Indonesia karena memerlukan biaya yang mahal. Tradisi information processing memerlukan sarana komputer.
[4] Leo Sutrisno, “Pluralisme, Pendidikan Pembelajaran dalam Tradisi Kontruktivisme”, Th. Sumartana, Pluralisme Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001), hlm. 210
[5] Ibid., hlm. 211
[6] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 47
[7] Ibid., hlm. 39
[8] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 49
lintasberita

Tidak ada komentar: