ASURANSI KONVESIONAL DAN PANDANGAN ISLAM
A. Ruang Lingkup Asuransi Konvensional
Sejarah dan Perkembangan Asuransi
Asuransi
merupakan suatu evolusi panjang dengan permulaan sederhana dan bukan suatu
produk legislatif, serta merupakan bagian dari sejarah perdagangan dan
pelayaran pada umumnya. Asuransi mulai dimanfaatkan oleh masyarakat pedagang di
lembah Inggris, Mesopotamia, sekitar 4000 tahun SM. Namun pengaturannya pertama
kali ditemukan dalam kitab Undang-Undang Hukum Hammurabi dari Babilonia sekitar
2100 SM.[1]
Dalam
catatan sejarah dunia Barat, di kalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan
perjanjian asuransi laut pada abad 12, kemudian memencar di beberapa daerah
Eropa pada abad 14. Pada tahun 1680 di London berdiri asuransi kebakaran
sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1966 yang melalap
lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
Pada
abad 18 bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa negara, seperti
Prancis dan Belgia di Eropa. Kemudian di Amerika muncul pula pada abad 19
asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti pada mulanya asuransi
jiwa meluas dan berkembang pada abad 20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi
laut dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia adalah Batavianche Zee
and Brand Assurantie Maatshappij, didirikan pada tahun 1843. Pada tahun 1912
lahir perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi[2]
Pengertian Asuransi
a.
Secara
bahasa
Kata
asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie” dan dalam hukum Belanda
dipakai kata Verzekerring, kata ini kemudian disalin dalam bahasa Indonesia
dengan kata “Pertanggungan”. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul
istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Dari
istilah Verzekerring timbullah peristilahan Verzekerear bagi “penanggung” dan
Verzekerde bagi “tertanggung”. Dalam bahasa Arab asuransi menggunakan kata
ta’min, “penanggung” disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut
dengan mu’ammin lahu sering juga disebut dengan musta’min[3]
b.
Secara
istilah
b.1.
Dari sudut pandang sosial
Asuransi
adalah suatu alat sosial yang menggabungkan risiko-risiko individual ke dalam
suatu kelompok dan menggunakan dana yang disumbangkan oleh anggota-anggota
kelompok itu untuk membayar kerugian-kerugian[4]
b.2.
Dari sudut pandang teknik
Asuransi
adalah usaha untuk mengurangi ketidakpastian pada pihak-pihak tertentu yang
dinamakan tertanggung melalui pengalihan risiko-risiko tertentu kepada pihak
lain yang dinamakan penganggung yang berjanji untuk memberikan ganti rugi
kepada tertanggung, meskipun sebagian atas kerugian finansial yang menimpanya[5]
b.3.
Dari sudut pandang hukum
Dalam
kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 memberikan pengertian asuransi
sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan
mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan
menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[6]
Sedangkan
menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan[7]
Prinsip-prinsip Dasar Asuransi
Sebagaimana pengertian asuransi yang
ditunjukkan dalam pasal 246 KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang
perasuransian, maka usaha asuransi ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1.
Prinsiple
of Insurable Interest
Bahwa,
seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang bersangkutan
mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)
2.
Prinsiple
of Utmost Good Faith
Penutupan
asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
3.
Prinsiple
of Indemnity
Dasar penggantian kerugian dari
penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar kerugian yang
sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan mencari
keuntungan dari ganti rugi asuransi
4.
Prinsiple
of Subrogatian
Apabila
tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity, maka si
tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak lain, walaupun
jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya.
Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada penanggung yang telah
memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[8].
5.
Prinsiple
of Proximate Cause
Adalah suatu sebab aktif, efisiensi yang
mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan dan
intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber
baru dan independen
6.
Prinsiple
of Contribution
Suatu
prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang
memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada
seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung
belum tentu sama besarnya[9]
Jenis-jenis Asuransi
Istilah perasuransian
melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha
penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi
adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui
pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa
yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".
Sedanggkan dalam Pasal 2
huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha penunjang
usaha asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian
kerugian asuransi, dan jasa aktuaria."
Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No.
2 Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian
yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan
manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa
yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup
atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang
memberikan jasa asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan
Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Dalam Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang No.
2 Tahun 1992 usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menjadi lima jenis,
yaitu:
1.
Usaha
pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi
dan penanganan penyelesaian ganti kerugian asuransi dengan bertindak untuk
kepentingan tertanggung.
2.
Usaha
pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam menempatkan
reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan
bertindak untuk kepentingan Perusahaan Asuransi.
3.
Usaha
penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada
obyek asuransi yang dipertanggungkan.
4.
Usaha
konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultan aktuaria.
5.
Usaha
agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa
asuransi untuk dan atas nama Penanggung.
Pengelompokan jenis
usaha perasuransian dalam pasal 3 tersebut didasarkan pada pengertian bahwa
perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung
risiko asuransi. Selain itu, di bidang perasuransian terdapat pula
perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi
yang kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun
demikian, sebagai sesama peneyediaan jasa di bidang perasuransian, perusahaan
di bidang usaha asuransi dan penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang
saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu
memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.[10]
Selain pengelompokan
menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari
penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu:
a.
Usaha
asuransi sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial
yang bersifat wajib (compulsory)
berdasarkan undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan
masyarakat.
b.
Usaha
asuransi komersial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan
Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary)
berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif
ekonomi).[11]
Dalam bentuk hukum usaha
perasuransian, menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun
1992, usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang
berbentuk: Perusahaan Perseroan (Persero); Koperasi; Perseroan Terbatas (PT);
Usaha Besama (Mutual).
Namun, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat
dilakukan oleh Perusahaan Perseorangan, ayat (2). Sedangkan mengenai bentuk
Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, ayat (3). Mengingat
undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama belum ada, maka untuk
sementara ketentuan mengenai bentuk hukum ini akan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Apabila badan hukum yang
menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau
Perusahaan Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan
Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum
Perusahaan Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan
Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila
badan hukum itu berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti Undang-undang
No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.[12]
Setiap pihak yang
melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh izin dari Menteri Keuangan,
kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan
Program Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun
1992). Khusus bagi Badan Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi
Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan
dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti bahwa pemerintah memang menugaskan
Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program
Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah.
Dengan demikian, bagi Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud tidak perlu
memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan.
Untuk mendapatkan izin
usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai:
Anggaran Dasar; Susunan Organisasi; Permodalan; Kepemilikan; Keahlian di bidang
perasuransian; Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang
diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (pasal
9 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 1992)
Yang dimaksud dengan
keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain
keahlian di bidang aktuari, underwriting,
manajemen risiko, penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai
dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijelaskan.
Dalam hal terdapat
kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi
persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan
kepengurusan pihak asing (Pasal 9 ayat (3) Undang-undang No. 2 Tahun 1992).
Dalam pengertian “batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing” termasuk pula
pengertian tentang proses indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini
diharapkan perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.
Pemberian izin usaha
perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pemberian
persetujuan prinsip, dan tahap kedua pemberian izin usaha. Tetapi pemberian
prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Pemberian
prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang
bersangkutan tidak berjalan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian
dapat dicabut (Pasal 9-10 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992).
Sementara dalam Bab III pasal 3 UU No. 2
Th. 1992, yang mana dalam pasal tersebut dikemukakan :
1.
Asuransi
kerugian, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggungjawab hukum kepada pihak
ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2.
Asuransi
jiwa, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko
yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3.
Re-Asuransi,
yaitu asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap risiko
yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atas perusahaan asuransi
jiwa[13]
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam
hal ini yang dilihat adalah siapa pemilik dari perusahaan asuransi tersebut,
baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.
Asuransi
Milik Pemerintah
Yaitu
asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh
pemerintah Indonesia
2.
Asuransi
Milik Swasta Nasional
Asuransi
ini kepemilikan sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional, sehingga
siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam
rapat umum pemegang saham (RUPS)
3.
Asuransi
Milik Perusahaan Asing
Perusahaan
asuransi jenis ini biasanya beroperasi di Indonesia hanyalah merupakan cabang
dari negara lain dan jelas kepemilikannya dimiliki oleh 100 persen oleh pihak
asing
4.
Asuransi
Milik Campuran
Merupakan
jenis asuransi yang sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan
pihak asing[14]
Ditinjau dari aspek tujuan dan sifat
penyelenggaraannya, asuransi dibedakan menjadi dua, yaitu asuransi sosial (Social
Insurance) dan asuransi khusus (Special Insurance).
Asuransi sosial bertujuan untuk umum dan biasanya bentuknya usaha bersama
(koperasi) yang berciri khas:
1.
Demokrasi
dalam kepemilikan dan kepengurusan
2.
Tertanggung
sekaligus penanggung
3.
Tidak
ada modal
4.
Semua
pemegang polis mempunyai hak yang sama pada sisi hasil usaha
5.
Menyediakan
asuransi dengan biaya serendah mungkin dan seluas mungkin
Di Indonesia asuransi sosial untuk
anggota masyarakat kebanyakan diselenggarakan oleh pemerintah, sehingga sering
disebut asuransi wajib karena demi kepentingan umum
Asuransi khusus (Special Insurance)
mempunyai tujuan mencari laba dan biasanya berbentuk perusahaan Perseroan,
kepemilikannya oleh pemegang saham. Ciri asuransi khusus ini adalah:
1.
Kepemilikan
dimiliki oleh pemilik saham atau modal
2.
Bertujuan
mengejar laba
3.
Penanggung
tidak sebagai tertanggung
4.
Menyelenggarakan
harga polis yang tetap
5.
Adanya
unsur penekanan pentingnya modal[15]
Sedangkan ditinjau dari hukum Islam asuransi
dibagi menjadi dua, yaitu :
1.
Asuransi
syari’ah, adalah asuransi di mana di dalam kegiatannya terhindar dari unsur
yang diharamkan oleh Islam, baik itu garar, maisir, riba dan
eksploitasi
2.
Asuransi
non syari’ah, adalah asuransi yang dalam kegiatannya masih mengandung empat
unsur di atas.
Bentuk Hukum Usaha Asuransi
Di Indonesia bentuk hukum usaha
peransuransian diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992, yaitu usaha
peransuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk ;
1.
Perusahaan
Perseroan (PERSERO)
2.
Koperasi
3.
Perseroan
Terbatas
4.
Usaha
Bersama (mutual)
Dengan
tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan
aktual dan usaha agar asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
Ketentuan
tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) diatur lebih
lanjut dengan undang-undang.
Mengingat
Undang-undang mengenai bentuk hukum usaha bersama (mutual) belum ada, maka
untuk sementara ketentuan tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha
bersama (mutual) akan diatur dengan peraturan pemerintah[16].
Sifat-sifat Asuransi
Asuransi sesuai dengan definisi,
pengaturan dan bentuk-bentuknya mempunyai sifat :
1.
Sifat
Persetujuan
Semua
asuransi berupa suatu persetujuan tertentu (Byzondere Overeenkomst),
yaitu suatu pemufakatan antara dua pihak atau lebih dengan maksud akan mencapai
suatu persetujuan dan dalam mana seorang atau lebih berjanji terhadap seorang
lain atau lebih (lihat pasal 1213 KUHS)
2.
Sifat
Timbal Balik
Persetujuan
asuransi merupakan suatu persetujuan timbal-balik (Weder-Kerige-Overeenkomst)
yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi
pihak lain. Pihak tertanggung berjanji akan membayar sejumlah uang (uang
asuransi) kepada pihak tertanggung apabila suatu peristiwa tertentu akan
terjadi
3.
Sifat
Konsensuil
Persetujuan
asuransi merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensuil, yakni sudah
dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat belaka antara kedua belah pihak
4.
Sifat
Perusahaan
Asuransi
premi yang diadakan antara pihak penanggung dan pihak tertanggung, tanpa ikatan
hukum antara tertanggung ini dengan orang-orang lain yang juga menjadi pihak
tertanggung terhadap si penanggung tadi. Dalam hal ini pihak penanggung
biasanya bukan seorang individu melainkan suatu badan yang bersifat perusahaan,
artinya mementingkan hal untung rugi dalam tindakan-tindakannya. Badan itu akan
beruntung, apabila dalam satu tahun tidak perlu membayar uang-uang asuransi
kepada para tertanggung oleh karena tidak adanya peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan pembayaran uang asuransi. Maka kebanyakan badan penanggung dalam
asuransi itu dibentuk secara Perseroan Terbatas (PT).
5.
Sifat
Perusahaan
Dalam
pembicaraan tentang bentuk asuransi, asuransi premi diperlawankan dengan
asuransi saling menanggung, dan yang disebut terakhir ini bersifat perkumpulan
yang terbentuk di antara para tertanggung selaku anggota
6.
Sifat
Untung-untungan
Persetujuan
asuransi dilukiskan oleh pasal 1774 KUHS sebagai persetujuan untung-untungan di
mana untung ruginya bagi semua pihak bergantung pada suatu kejadian yang belum
tentu
7.
Sifat
Berat Sebelah
Persetujuan
asuransi yang mengikat dua pihak, pada galibnya memberatkan pihak tertanggung,
karena yang menetapkan segala syarat (termaktub dalam polis) adalah pihak
penanggung (perusahaan asuransi) yang kedudukannya jauh lebih kuat disebabkan
modal yang dimilikinya, sehingga dengan mudah ia menetapkan segala persyaratan
yang menjamin pihaknya (kepentingan pihaknya).[17]
Sedangkan
menurut Prof. Emmy Pangaribuan menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian
asuransi juga mempunyai sifat :
-
Perjanjian asuransi pada asanya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (Shcadever
Zekerring) atau (Indemniteits Contract) penanggung
mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak-pihak tertanggung
menderita kerugian dan yang akan diganti itu adalah seimbang dengan kerugian
yang sungguh-sungguh diderita (Prinsip Indemnitas).
-
Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat, kewajiban mengganti rugi dari
penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas nama
pertanggungan itu terjadi
-
Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu
atas mana diadakan pertanggungan.[18]
B.
Kontrak
Asuransi Konvensional
1. Definisi
Kontrak Asuransi
Banyak
definisi mengenai asuransi. Salah satu yang populer adalah asuransi ialah
subsitusi suatu biaya kecil tertentu dengan suatu kerugian besar yang tidak
tertentu.
Dari
pandangan hukum, kontrak dengan mana satu pihak dengan menerima sesuatu nilai
yang dikenal sebagai premi, memikul suatu risiko kerugian atau tanggung jawab
yang menimpa pihak lain, sesuai dengan suatu rencana (plan) untuk
mendistribusikan risiko tersebut, adalah kontrak asuransi apapun bentuk atau
nama yang dipakainya. Banyak kontrak yang sepintas lalu tampak seperti tampak
asuransi, tetapi jika diteliti menurut definisi ini ternyata tidak memenuhi
syarat.[19]
2.
Unsur-unsur Esensil Dari Kontrak Asuransi
Walaupun
kontrak asuransi mempunyai beberapa ciri khas, namun ia harus memenuhi bentuk
dan syarat umum yang ditetapkan oleh hukum untuk setiap kontrak. Antara lain:[20]
1. Perjanjian (penawaran dan penerimaan)
Perjanjian
terdiri dari penawaran yang dilakukan oleh atau pihak dan penerimaannya oleh
pihak kedua. Dalam segala macam asuransi, jenis penawaran terpenting adalah
aplikasi asuransi dari calon yang ditanggung. Aplikasi ini dapat secara lisan.
Misalnya seseorang yang memutuskan hendak mengasuransikan rumahnya terhadap
kerugian akibat kebakaran dapat menelpon seorang agen asuransi. Kontrak lainnya
ini orang ini dengan agen tersebut adalah penerimaan polis dan rekening premi.
Dengan demikian berarti telah terjadi penawaran dan penerimaan atau perjanjian
antara pihak yang ditanggung dengan perusahaan asuransi itu karena agen
asuransi telah diberi wewenang oleh perusahaan asuransi tersebut.
2. Pihak-pihak yang Kompeten
Untuk
sahnya suatu kontrak asuransi seperti juga halnya dengan segala kontrak lain,
adalah itu harus dibuat oleh pihak-pihak yang kompeten (mampu). Ada tiga
kelompok orang yang dianggap tidak kompeten yaitu anak-anak yang belum dewasa,
orang dewasa, orang-orang yang secara mental tidak kompeten (mampu), dan dewasa
bersuami. Usia dewasa tidak sama di setiap negara. Di New York usia legal itu
adalah 141/2 tahun.
Seseorang
yang telah dinyatakan secara resmi tidak waras adalah tidak kompeten melakukan
perbuatan hukum dan tidak mampu membuat kontrak asuransi yang sah.
3.
Obyek
yang Sah atau Legal
Suatu
kontrak asuransi biasanya dianggap bertentangan dengan kebijaksanaan negara dan dengan demikian tidak legal adalah
jika pihak yang ditanggung tidak mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan
dalam objek yang diasuransikan itu. Jika tidak ada kepentingan yang dapat
diasuransikan maka kontrak itu adalah perjudian.
Sebuah
contoh lain dari kontrak yang bertentangan dengan kebijaksanaan negara adalah
kontrak yang dibuat oleh pihak musuh.
Pasal
208 kitab Undang-undang Hukum Perniagaan mengatakan bahwa yang dapat menjadi
obyek asuransi ialah semua kepentingan yang:
a)
Dapat
dinilai dengan sejumlah uang
b)
Dapat
tertimpa macam-macam bahaya
c)
Tidak
dilarang oleh undang-undang
4.
Imbalan
(Consideration)
Suatu
kontrak hanya sah jika masing-masing pihak memberikan nilai atau memikul
sesuatu kewajiban terhadap pihak lainnya. Kontrak asuransi seringkali
menyatakan bahwa imbalan dari pihak yang ditanggung adalah
"ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan yang tersebut di sini dan
premi tertentu". Ini tidak berarti bahwa premi harus dibayar sebelum polis
berlaku. Kenyataannya banyak polis asuransi harta sudah berlaku sebelum
diterimanya pembayaran premi. Janji membayar adalah imbalan (consideration). Sebaliknya
pada asuransi jiwa, premi pertama harus dibayar sebelum berlakunya polis.
Perusahaan
asuransi juga memberikan imbalan yang berupa janji akan melakukan pembayaran
jika terjadi peristiwa tertentu yang telah ditetapkan.
3. Ciri-Ciri Kontrak
Asuransi
Ada
beberapa ciri khas tertentu dalam kontrak asuransi:
1.
Kontrak
Untung-untungan (Aleatory Contract)
Kebanyakan
kontrak bersifat commutative artinya masing-masing pihak menyerahkan
barang-barang atau jasa-jasa yang dianggap sama nilainya. Akan tetapi, kontrak
asuransi adalah bersifat aleatory artinya pihak-pihak yang membuat
kontrak menyadari bahwa jumlah uang yang akan diserahkan oleh masing-masing
pihak tidak akan sama.[21]
Dalam
polis asuransi, pihak yang ditanggung menyerahkan jumlah premi. Jika ia
menderita kerugian, ia mungkin menerima jumlah uang yang jauh lebih besar
daripada premi yang dibayarkannya kepada perusahaan asuransi. Dan jika ia tidak
menderita kerugian (yang lebih besar kemungkinannya demikian), ia tidak akan
menerima apa-apa dari perusahaan asuransi. Bagi perusahaan asuransi, ada
kemungkinan ia akan harus melaksanakan pembayaran yang jauh lebih besar
daripada premi yang diterimanya atau (lebih besar kemungkinannya) ia tidak akan
membayar sama sekali. Ciri-ciri khas dari aleatory contract adalah adanya
untung-untungan (chance)
2.
Kontrak
Adhesi
Kebalikan
dari kontrak tawar-menawar, kontrak asuransi biasanya merupakan suatu kontrak
adhesi. Perjanjian pada umumnya dibuat oleh para pengacara dan wakil-wakil lain
dari perusahaan asuransi, atau barangkali oleh wakil-wakil pemerintah. Biasanya
kontrak ini diberikan kepada calon yang ditanggung dalam semangat "terima
atau tolak". Calon pembeli asuransi tidak bisa mengajukan usul, agar
perusahaan asuransi mengubah sedikit pasal ini atau mengganti suatu perkataan.[22]
Ciri-ciri
ini sebetulnya menguntungkan pihak yang ditanggung jika kontrak itu menjadi
perkara pengadilan. Pengadilan menentukan bahwa karena perusahaan asuransi yang
menyusun kontrak itu, maka setiap kekaburan arti (ambiguity = arti dua,
kemenduaan) dalam kontrak itu harus ditafsirkan yang menguntungkan pihak yang
ditanggung terhadap perusahaan asuransi.
3.
Kontrak
Sepihak (Unilateral)
Kontrak
dapat bilateral atau unilateral. Pertukaran suatu janji dengan suatu janji
adalah bilateral (belah dua pihak), sedangkan pertukaran suatu tindakan dengan
suatu janji adalah unilateral (sepihak). Kontrak asuransi pada umumnya adalah
kontrak unilateral artinya pihak yang ditanggung sudah membayar premi, hanya
satu pihak terbuka terhadap janji sah yang berlaku untuk melaksanakan sesuatu
selanjutnya. Perusahaan asuransi menjanjikan pelaksanaan (performance).
4.
Kontrak
Bersyarat (Conditional)
Kontrak
asuransi adalah kontrak bersyarat. Memang benar kontrak itu telah terpenuhi
seluruhnya oleh pihak yang ditanggung dengan telah dibayarnya premi dan tinggal
perusahaan asuransi saja yang berkewajiban memenuhi janjinya. Akan tetapi, ini
tidak berarti tidak ada lagi syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak yang
ditanggung jika ia ingin memperoleh penggantian atas kerugiannya. Perbedaan antara
janji (promis) dengan syarat (condition) adalah bahwa janji itu dapat
dipaksakan berlakunya secara hukum, sedangkan syarat (condition) tidak.
Pengaruh dari dilanggarnya suatu syarat adalah pihak yang ditanggung tidak
memperoleh penggantian kerugian dari perusahaan asuransi. Contoh, pada suatu
kontrak asuransi kebakaran, perusahaan berjanji akan mengganti kerugian yang
diderita pihak yang ditanggung karena kebakaran. Pihak yang ditanggung perlu
memenuhi beberapa syarat yang berhubungan dengan pengajuan bukti kerugian
karena suatu kebakaran. Akan tetapi, ia secara hukum tidak wajib mengajukan
bukti-bukti kerugian yang diminta oleh syarat-syarat itu. Ia hanya perlu
mengajukannya kalau ia ingin memperoleh penggantian kerugian tersebut.
Sebaliknya, perusahaan asuransi kebakaran dapat dipaksa oleh hukum untuk
memenuhi janjinya membayar ganti rugi, jika pihak yang ditanggung telah
memenuhi semua syarat-syarat yang dicantumkan dalam kontrak.[23]
5.
Sepenuhnya
Berdasarkan Kepercayaan
Pada
umumnya, kontrak-kontrak apa saja adalah berdasarkan kepercayaan (bonafide,
contract, good-faith contract). Akan tetapi, kontrak asuransi adalah kontrak
yang sepenuhnya berdasarkan kepercayaan.[24]
Dibutuhkan tingkat tertinggi bonafiditas dalam negosiasi sebelum dikeluarkannya
polis. Dalam mengambil keputusan pertanggungan, perusahaan asuransi harus
mempercayai benar informasi yang diberikan oleh applicant (pelamar, pembeli
asuransi).
6.
Kontrak
Pribadi
Orang-orang
mengatakan bahwa asuransi harta itu adalah kontrak pribadi seperti halnya
kontrak perkawinan.[25]
Baik pihak yang ditanggung maupun penanggung (perusahaan asuransi) tidak saja
memperhatikan kontrak itu tetapi juga watak, prilaku, dan bonafiditas, dari
masing-masing pihak. Dalam bahasa biasa dikatakan sesuatu barang diasuransikan.
Tetapi sesungguhnya yang diasuransikan adalah si pemilik barang itu. Kontrak
asuransi tidak terikat kepada barang itu dan tidak berpindah kepada pembeli
barang itu. Persetujuan penanggung diperlukan untuk memindahkan sesuatu kontrak
asuransi sebelum terjadi suatu kerugian kecuali dalam hal asuransi jiwa dan
beberapa polis asuransi kesehatan. Oleh karena asuransi jiwa bukan suatu
kontrak pribadi, maka ia dapat dipindahkan tanpa izin perusahaan asuransi.
Jika
telah terjadi kerugian, maka kontrak asuransi mana saja akan menjadi tidak
lebih dari suatu klaim uang dan karena itu ia dapat dipindah-tangankan.
7.
Prinsip
Ganti Rugi (Principle of Indemnity)
Kontrak
asuransi harta dan asuransi tanggung jawab (liability insurance) pada umumnya
adalah kontrak ganti rugi,[26]
artinya ia menyatakan akan mengganti kerugian atas kerusakan yang diderita oleh
pihak yang ditanggung. Penggantian lebih rendah (undercompensate) dibolehkan
tetapi penggantian lebih tinggi tidak. Salah satu masalah utama penerapan
prinsip ganti rugi ini adalah bagaimana mengukur kompensasi yang tepat agar
tidak menimbulkan laba atau rugi. Sehingga di sini, dibutuhkan tiga doktrin penting yang timbul
dari prinsip indemnity ini adalah: kepentingan yang dapat diasuransikan,
pembatasan jumlah penggantian atas suatu polis asuransi, dan subrogation.[27]
C.
Pandangan
Ulama tentang Asuransi Konvensional.
Dewan yurisprudensi Islam
Liga Dunia Muslim, Makkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi
asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan
ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya "Asuransi Koperatif"
yang tegak di atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam
Asuransi Takaful
Yusuf al-Qardawi dalam "Al
halal wa al-Haram fi al-Islam" mengatakan bahwa diharamkannya asuransi
konvensional a.l: (1) karena semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu
dengan maksud tabarru, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2)
karena badan asuransi memutar uang tersebut dengan jalan riba.
Di Indonesia PP Persatuan
Islam (Persis) melalui Dewan Hisbah mengharamkan praktek asuransi konvensional.
Demikian pula Muhammadiyah di Malang tahun 1987 juga mengharamkan asuransi yang
mengandung unsur gharar dan judi, kecuali asuransi yang
diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek dan Jasa Raharja, karena
banyak mengandung maslahah maka dibolehkan.
Oleh karenanya, jika ditelaah
secara mendalam, maka sebenarnya diharamkan asuransi konvensional oleh para
ulama disebabkan karena asuransi itu mencakup tiga hal:[28]
1. Garar (Ketidakpastian)
Dalam asuransi konvensional
adanya gharar atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad
yang melandasinya. Apakah Aqd Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqd
Takafuli (tolong menolong). Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil
10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli,
dan meninggal pada tahun ke 4, maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp.
10.000.000. Ini berarti Rp. 6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana
asalnya.
Dalam Asuransi Takaful akad
yang melandasinya adalah Aqd Takafuli atau tolong menolong. Sehingga
sejak awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5%
diniatkan untuk tabarru. Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6
juta di atas tidak garar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan
tabarru (derma)
2. Maisir (Judi atau Gambling)
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T. Dengan
sangat tegas telah menjelaskan prihal maisir. Di antara firman Allah
SWT. adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[29]
Dalam Asuransi konvensional maisir
timbul dalam dua hal: Pertama, Seandainya dia memasuki satu program
premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu.
Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing Periode,
dimana dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah +
20%, uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir.
Kedua, Manakala Underwriter atau yang menghitung remortalita
kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat, maka perusahaan akan untung.
Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas
disini mengandung unsur maisir atau judi.
Dalam Asuransi Takaful berbeda, si
penerima polis sebelum ia mencapai refresing periode sekalipun, apabila
karena suatu hal ia ingin mengambil dananya, maka hal itu dibolehkan. Karena
Takaful dalam hal ini hanya sebagai pemegang amanah. Selain itu jika perusahaan
mencapai kelebihan daripada pembayaran klaim, tidak akan diterima begitu saja
sebagai keuntungan perusahaan, tetapi diberikan kembali kepada pemegang
premi/nasabah.
3. Riba (Tambahan Uang dari Modal Pokok)
Dalam hal investasi Takaful menyimpan
seluruh dananya ke Bank yang berdasarkan Syariah Islam, yaitu : BMI, BPRS atau
Perbankan Islam lainnya.
Dalam hal ini terdapat silang pendapat
dikalangan ulama, apakah sama atau tidak dengan bunga. Bagi ulama yang
mengharamkan, paling tidak pada nas-nas syari':
-Firman Allah S.W.T.:
- ياايها الذين
امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم
لاتظلمون ولاتظلمون.[30]
-Hadis Nabi S.A.W:
Terlepas dari silang pendapat
di atas, Syarikat Takaful mempunyai suatu standing, membawa yang terbaik
adalah menjauhi syubhat, menjauhi yang diikhtilafkan ummat dan kembali
kepada ajaran agama.
[1]
Syamsul Anwar, “Sumber
Hukum dan Pengaturan Asuransi di Indonesia”, dalam Modul
Asuransi Islam, (ttp, tp, 2002) hlm.
13.
[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah:
Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonisia, 2003). hlm.100.
[3]
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 205-206.
[4]
Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi, alih bahasa A. Hasymi,
(Jakarta: Balai Aksara, 1981), hlm. 2
[5]
Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas Syari’ah, 2002)
[6]
Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal
'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996) hlm. 15
[7]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.
260
[8]
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet.
IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429
[9]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hlm. 266.
[10]
Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 24
[11] Ibid., hlm. 25.
[12] Ibid.,
hlm. 26.
[13]
C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan, hlm. 440
[14]
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[15]
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo, Nastangin,
(Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 281
[16]
C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan, hlm. 443
[17] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, hlm.
210
[18]
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. IV
(Jakarta: Sinar Grafaika, 2001), hlm 84
[19]A.
Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara,
2002), hl. 101
[20] Ibid., hlm.
102-103
[21] Ibid., hlm.
103-104
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm.
105
[24] Ibid., hlm.
106
[25] Ibd.
[26] Untuk mengetahui lebih
mendalam mengenai prisip ganti rugi ini Baca juga Muhammad Muslehuddin, Menggugat
Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru Dalam Perspektif Hukum Islam,
alih bahasa Burhan Wirasubrata, cet. I, (Jakarta: Lentera Basramita, 1999),
hlm. 42-43
[27] Subrogation adalah hak penanggung (perusahaan
asuransi) untuk mengambil alih klaim pihak yang ditanggung terhadap mereka yang
bertanggung jawab atas kerugian itu. Mengizinkan pihak yang ditanggung
memperoleh penggantian dari perusahaan asuransi dan kemudian menagihnya lagi
dari orang yang bertanggung jawab atas kerugiannya itu adalah bertentangan
dengan prinsip ganti rugi (principle of indemnity). Misalkan pada suatu pagi,
tetangga anda menabrak mobil anda yang sedang parkir. Jika ia membayar kerugian
anda sepenuhnya, maka anda tidak boleh lagi menagih kerugian tersebut dari
perusahaan asuransi anda. Sebaliknya, jika anda meminta perusahaan asuransi
anda mengganti kerugian anda tersebut berdasarkan polis asuransi anda, maka
anda tidak boleh meminta cek tetangga anda itu, kecuali untuk jumlah kerugiain
yang tidak diganti oleh perusahaan asuransi anda. Akan tetapi, penanggung
(perusahaan asuransi anda) berhak memperoleh cek tetangga anda itu untuk jumlah
yang tercantum dalam polis anda, dan bahkan memintanya jika tetangga itu tidak
otomatis membayarnya. Lihat Ibid., hlm. 107
[28] Marjuki Zuhdi, Pandangan
Ulama Terhadap Asuransi Konvensional, http//www.
takaful.com/whitepaper/whitepaper.html., hlm. 32-33
[29] Al-Maidah (5): 90
[30] Al-Baqarah (2): 278-279
[31] Muslim, Sahih
Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih
riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169
Tidak ada komentar:
Posting Komentar