Senin, Juni 11, 2012

Asuransi Konvensional dalam Pandangan Islam

ASURANSI KONVESIONAL DAN PANDANGAN ISLAM

A.     Ruang Lingkup  Asuransi Konvensional

Sejarah dan Perkembangan Asuransi
Asuransi merupakan suatu evolusi panjang dengan permulaan sederhana dan bukan suatu produk legislatif, serta merupakan bagian dari sejarah perdagangan dan pelayaran pada umumnya. Asuransi mulai dimanfaatkan oleh masyarakat pedagang di lembah Inggris, Mesopotamia, sekitar 4000 tahun SM. Namun pengaturannya pertama kali ditemukan dalam kitab Undang-Undang Hukum Hammurabi dari Babilonia sekitar 2100 SM.[1]
Dalam catatan sejarah dunia Barat, di kalangan bangsa Romawi muncul gagasan melakukan perjanjian asuransi laut pada abad 12, kemudian memencar di beberapa daerah Eropa pada abad 14. Pada tahun 1680 di London berdiri asuransi kebakaran sebagai akibat peristiwa kebakaran besar di London pada tahun 1966 yang melalap lebih dari 13.000 rumah dan kira-kira 100 gereja.
Pada abad 18 bermunculan perusahaan asuransi kebakaran di beberapa negara, seperti Prancis dan Belgia di Eropa. Kemudian di Amerika muncul pula pada abad 19 asuransi jiwa bagi awak kapal mulai dikenal, yang berarti pada mulanya asuransi jiwa meluas dan berkembang pada abad 20 hingga sekarang. Perusahaan asuransi laut dan kebakaran yang pertama kali muncul di Indonesia adalah Batavianche Zee and Brand Assurantie Maatshappij, didirikan pada tahun 1843. Pada tahun 1912 lahir perusahaan asuransi jiwa Bumi Putera sebagai usaha pribumi[2]

Pengertian Asuransi
a.      Secara bahasa
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda “Assurantie” dan dalam hukum Belanda dipakai kata Verzekerring, kata ini kemudian disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata “Pertanggungan”. Dari peristilahan Assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung. Dari istilah Verzekerring timbullah peristilahan Verzekerear bagi “penanggung” dan Verzekerde bagi “tertanggung”. Dalam bahasa Arab asuransi menggunakan kata ta’min, “penanggung” disebut dengan mu’ammin, dan “tertanggung” disebut dengan mu’ammin lahu sering juga disebut dengan musta’min[3]
b.      Secara istilah
b.1. Dari sudut pandang sosial
Asuransi adalah suatu alat sosial yang menggabungkan risiko-risiko individual ke dalam suatu kelompok dan menggunakan dana yang disumbangkan oleh anggota-anggota kelompok itu untuk membayar kerugian-kerugian[4]
b.2. Dari sudut pandang teknik
Asuransi adalah usaha untuk mengurangi ketidakpastian pada pihak-pihak tertentu yang dinamakan tertanggung melalui pengalihan risiko-risiko tertentu kepada pihak lain yang dinamakan penganggung yang berjanji untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung, meskipun sebagian atas kerugian finansial yang menimpanya[5]
b.3. Dari sudut pandang hukum
Dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246 memberikan pengertian asuransi sebagai berikut : Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu[6]
Sedangkan menurut UU No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian, asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan[7]

Prinsip-prinsip Dasar Asuransi
Sebagaimana pengertian asuransi yang ditunjukkan dalam pasal 246 KUHP dan pasal 1 UU No. 2 Th. 1992 tentang perasuransian, maka usaha asuransi ditegakkan di atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Prinsiple of Insurable Interest
Bahwa, seseorang boleh mengansurasikan barang-barang apabila yang bersangkutan mempunyai kepentingan atas barang yang dipertanggungkan (Pasal 250 KUHP)
2.      Prinsiple of Utmost Good Faith
Penutupan asuransi baru sah, apabila penutupannya didasari itikad baik (pasal 251 KUHP)
3.      Prinsiple of Indemnity
Dasar penggantian kerugian dari penanggung kepada tertanggung setinggi-tingginya adalah sebesar kerugian yang sesungguhnya diderita tertanggung dalam arti tidak dibenarkan mencari keuntungan dari ganti rugi asuransi
4.      Prinsiple of Subrogatian
Apabila tertanggung sudah mendapatkan penggantian atas dasar indemnity, maka si tertanggung tidak berhak lagi memperoleh penggantian dari pihak lain, walaupun jelas ada pihak lain yang bertanggungjawab pula atas kerugian yang dideritanya. Penggantian dari pihak lain harus diserahkan pada penanggung yang telah memberikan ganti rugi dimaksud (pasal 284 KUHP)[8].
5.      Prinsiple of Proximate Cause
Adalah suatu sebab aktif, efisiensi yang mengakibatkan terjadinya suatu peristiwa secara berantai atau berurutan dan intervensi kekuatan lain, diawali dan bekerja dengan aktif dari suatu sumber baru dan independen
6.      Prinsiple of Contribution
Suatu prinsip di mana penanggung berhak mengajak penanggung-penanggung lain yang memiliki kepentingan yang sama untuk ikut bersama membayar ganti rugi kepada seseorang tertanggung, meskipun jumlah tanggungan masing-masing penanggung belum tentu sama besarnya[9]

Jenis-jenis Asuransi
Istilah perasuransian melingkupi kegiatan usaha yang bergerak di bidang usaha asuransi dan usaha penunjang usaha asuransi. Pasal 2 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang".

Sedanggkan dalam Pasal 2 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 menentukan:
"Usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi, dan jasa aktuaria."

Dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha asuransi dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu:
Pertama. usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan.
Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan jasa asuransi ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Dalam Pasal 3 huruf (b) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 usaha penunjang usaha asuransi dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu:
1.   Usaha pialang asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.
2.   Usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam menempatkan reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti kerugian reasuransi dengan bertindak untuk kepentingan Perusahaan Asuransi.
3.   Usaha penilai kerugian asuransi yang memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang dipertanggungkan.
4.   Usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultan aktuaria.
5.   Usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama Penanggung.
Pengelompokan jenis usaha perasuransian dalam pasal 3 tersebut didasarkan pada pengertian bahwa perusahaan yang melakukan usaha asuransi adalah perusahaan yang menanggung risiko asuransi. Selain itu, di bidang perasuransian terdapat pula perusahaan-perusahaan yang kegiatan usahanya tidak menanggung risiko asuransi yang kegiatannya dikelompokkan sebagai usaha penunjang usaha asuransi. Walaupun demikian, sebagai sesama peneyediaan jasa di bidang perasuransian, perusahaan di bidang usaha asuransi dan penunjang usaha asuransi merupakan mitra usaha yang saling membutuhkan dan saling melengkapi, yang secara bersama-sama perlu memberikan kontribusi bagi kemajuan sektor perasuransian di Indonesia.[10]
Selain pengelompokan menurut jenis usahanya, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya menjadi dua kelompok, yaitu:
a.    Usaha asuransi sosial adalah dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Sosial yang bersifat wajib (compulsory) berdasarkan undang-undang dan memberikan perlindungan dasar untuk kepentingan masyarakat.
b.   Usaha asuransi komersial dalam rangka penyelenggaraan Program Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa yang bersifat kesepakatan (voluntary) berdasarkan kontrak asuransi dengan tujuan memperoleh keuntungan (motif ekonomi).[11]
Dalam bentuk hukum usaha perasuransian, menurut ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 1992, usaha perasuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk: Perusahaan Perseroan (Persero); Koperasi; Perseroan Terbatas (PT); Usaha Besama (Mutual).
Namun, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) usaha konsultan aktuaria dan usaha agen asuransi dapat dilakukan oleh Perusahaan Perseorangan, ayat (2). Sedangkan mengenai bentuk Usaha Bersama diatur lebih lanjut dengan undang-undang, ayat (3). Mengingat undang-undang mengenai bentuk hukum Usaha Bersama belum ada, maka untuk sementara ketentuan mengenai bentuk hukum ini akan diatur dengan peraturan pemerintah.
Apabila badan hukum yang menjalankan usaha perasuransian itu berbentuk Perseroan Terbatas (PT) dan atau Perusahaan Perseroan (Persero) maka pendiriannya harus mengikuti ketentuan Undang-undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Khusus badan hukum Perusahaan Perseroan (Persero) perlu mengikuti juga ketentuan Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). Apabila badan hukum itu berbentuk Koperasi, pendiriannya harus mengikuti Undang-undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.[12]
Setiap pihak yang melakukan usaha perasuransian wajib memperoleh izin dari Menteri Keuangan, kecuali bagi perusahaan yang menyelenggarakan  Program Asuransi Sosial (Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992). Khusus bagi Badan Milik Negara yang menyelenggarakan Program Asuransi Sosial, fungsi dan tugas sebagai penyelenggara program tersebut dituangkan dalam peraturan pemerintah. Hal ini berarti bahwa pemerintah memang menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu Program Asuransi Sosial yang telah diputuskan untuk dilaksanakan oleh pemerintah. Dengan demikian, bagi Badan Usaha Milik Negara yang dimaksud tidak perlu memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan.
Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dipenuhi persyaratan mengenai: Anggaran Dasar; Susunan Organisasi; Permodalan; Kepemilikan; Keahlian di bidang perasuransian; Kelayakan rencana kerja;
Hal-hal lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha perasuransian secara sehat (pasal 9 ayat (2) Undang-undang No. 2 Tahun 1992)
Yang dimaksud dengan keahlian di bidang perasuransian dalam ketentuan ini mencakup antara lain keahlian di bidang aktuari, underwriting, manajemen risiko, penilaian kerugian asuransi, dan sebagainya yang sesuai dengan kegiatan usaha perasuransian yang dijelaskan.
Dalam hal terdapat kepemilikan pihak asing, maka untuk memperoleh izin usaha wajib dipenuhi persyaratan dalam ayat (2) serta ketentuan mengenai batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing (Pasal 9 ayat (3) Undang-undang No. 2 Tahun 1992). Dalam pengertian “batas kepemilikan dan kepengurusan pihak asing” termasuk pula pengertian tentang proses indonesianisasi. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan perasuransian nasional semakin dapat bertumpu pada kekuatan sendiri.
Pemberian izin usaha perasuransian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pertama pemberian persetujuan prinsip, dan tahap kedua pemberian izin usaha. Tetapi pemberian prinsip bagi agen asuransi dan konsultan aktuaria tidak diperlukan. Pemberian prinsip berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal izin usaha ditetapkan, perusahaan perasuransian yang bersangkutan tidak berjalan kegiatan usahanya, maka izin usaha perasuransian dapat dicabut (Pasal 9-10 Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992).
Sementara dalam Bab III pasal 3 UU No. 2 Th. 1992, yang mana dalam pasal tersebut dikemukakan :
1.      Asuransi kerugian, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti
2.      Asuransi jiwa, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan
3.      Re-Asuransi, yaitu asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atas perusahaan asuransi jiwa[13]
Dilihat dari segi kepemilikannya, dalam hal ini yang dilihat adalah siapa pemilik dari perusahaan asuransi tersebut, baik asuransi kerugian, asuransi jiwa ataupun Re-Asuransi.
1.      Asuransi Milik Pemerintah
Yaitu asuransi yang sahamnya dimiliki sebagian besar atau bahkan 100 persen oleh pemerintah Indonesia
2.      Asuransi Milik Swasta Nasional
Asuransi ini kepemilikan sahamnya sepenuhnya dimiliki oleh swasta nasional, sehingga siapa yang paling banyak memiliki saham, maka memiliki suara terbanyak dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) 
3.      Asuransi Milik Perusahaan Asing
Perusahaan asuransi jenis ini biasanya beroperasi di Indonesia hanyalah merupakan cabang dari negara lain dan jelas kepemilikannya dimiliki oleh 100 persen oleh pihak asing
4.      Asuransi Milik Campuran
Merupakan jenis asuransi yang sahamnya dimiliki campuran antara swasta nasional dengan pihak asing[14]
Ditinjau dari aspek tujuan dan sifat penyelenggaraannya, asuransi dibedakan menjadi dua, yaitu asuransi sosial (Social Insurance) dan asuransi khusus (Special Insurance). Asuransi sosial bertujuan untuk umum dan biasanya bentuknya usaha bersama (koperasi) yang berciri khas:
1.      Demokrasi dalam kepemilikan dan kepengurusan
2.      Tertanggung sekaligus penanggung
3.      Tidak ada modal
4.      Semua pemegang polis mempunyai hak yang sama pada sisi hasil usaha
5.      Menyediakan asuransi dengan biaya serendah mungkin dan seluas mungkin
Di Indonesia asuransi sosial untuk anggota masyarakat kebanyakan diselenggarakan oleh pemerintah, sehingga sering disebut asuransi wajib karena demi kepentingan umum
Asuransi khusus (Special Insurance) mempunyai tujuan mencari laba dan biasanya berbentuk perusahaan Perseroan, kepemilikannya oleh pemegang saham. Ciri asuransi khusus ini adalah:
1.      Kepemilikan dimiliki oleh pemilik saham atau modal
2.      Bertujuan mengejar laba
3.      Penanggung tidak sebagai tertanggung
4.      Menyelenggarakan harga polis yang tetap
5.      Adanya unsur penekanan pentingnya modal[15]
Sedangkan ditinjau dari hukum Islam asuransi dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Asuransi syari’ah, adalah asuransi di mana di dalam kegiatannya terhindar dari unsur yang diharamkan oleh Islam, baik itu garar, maisir, riba dan eksploitasi
2.      Asuransi non syari’ah, adalah asuransi yang dalam kegiatannya masih mengandung empat unsur di atas.

Bentuk Hukum Usaha Asuransi
Di Indonesia bentuk hukum usaha peransuransian diatur dalam pasal 7 ayat 1 UU No. 2 Tahun 1992, yaitu usaha peransuransian hanya dapat dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk ;
1.      Perusahaan Perseroan (PERSERO)
2.      Koperasi
3.      Perseroan Terbatas
4.      Usaha Bersama (mutual)
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), usaha konsultan aktual dan usaha agar asuransi dapat dilakukan oleh perusahaan perorangan.
Ketentuan tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Mengingat Undang-undang mengenai bentuk hukum usaha bersama (mutual) belum ada, maka untuk sementara ketentuan tentang usaha peransuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) akan diatur dengan peraturan pemerintah[16].

Sifat-sifat Asuransi
Asuransi sesuai dengan definisi, pengaturan dan bentuk-bentuknya mempunyai sifat :
1.      Sifat Persetujuan
Semua asuransi berupa suatu persetujuan tertentu (Byzondere Overeenkomst), yaitu suatu pemufakatan antara dua pihak atau lebih dengan maksud akan mencapai suatu persetujuan dan dalam mana seorang atau lebih berjanji terhadap seorang lain atau lebih (lihat pasal 1213 KUHS)
2.      Sifat Timbal Balik
Persetujuan asuransi merupakan suatu persetujuan timbal-balik (Weder-Kerige-Overeenkomst) yang berarti bahwa masing-masing pihak berjanji akan melakukan sesuatu bagi pihak lain. Pihak tertanggung berjanji akan membayar sejumlah uang (uang asuransi) kepada pihak tertanggung apabila suatu peristiwa tertentu akan terjadi
3.      Sifat Konsensuil
Persetujuan asuransi merupakan suatu persetujuan yang bersifat konsensuil, yakni sudah dianggap terbentuk dengan adanya kata sepakat belaka antara kedua belah pihak
4.      Sifat Perusahaan
Asuransi premi yang diadakan antara pihak penanggung dan pihak tertanggung, tanpa ikatan hukum antara tertanggung ini dengan orang-orang lain yang juga menjadi pihak tertanggung terhadap si penanggung tadi. Dalam hal ini pihak penanggung biasanya bukan seorang individu melainkan suatu badan yang bersifat perusahaan, artinya mementingkan hal untung rugi dalam tindakan-tindakannya. Badan itu akan beruntung, apabila dalam satu tahun tidak perlu membayar uang-uang asuransi kepada para tertanggung oleh karena tidak adanya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan pembayaran uang asuransi. Maka kebanyakan badan penanggung dalam asuransi itu dibentuk secara Perseroan Terbatas (PT).
5.      Sifat Perusahaan
Dalam pembicaraan tentang bentuk asuransi, asuransi premi diperlawankan dengan asuransi saling menanggung, dan yang disebut terakhir ini bersifat perkumpulan yang terbentuk di antara para tertanggung selaku anggota
6.      Sifat Untung-untungan
Persetujuan asuransi dilukiskan oleh pasal 1774 KUHS sebagai persetujuan untung-untungan di mana untung ruginya bagi semua pihak bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu
7.      Sifat Berat Sebelah
Persetujuan asuransi yang mengikat dua pihak, pada galibnya memberatkan pihak tertanggung, karena yang menetapkan segala syarat (termaktub dalam polis) adalah pihak penanggung (perusahaan asuransi) yang kedudukannya jauh lebih kuat disebabkan modal yang dimilikinya, sehingga dengan mudah ia menetapkan segala persyaratan yang menjamin pihaknya (kepentingan pihaknya).[17]
Sedangkan menurut Prof. Emmy Pangaribuan menjabarkan lebih lanjut bahwa perjanjian asuransi juga mempunyai sifat :
- Perjanjian asuransi pada asanya adalah suatu perjanjian penggantian kerugian (Shcadever Zekerring) atau (Indemniteits Contract) penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak-pihak tertanggung menderita kerugian dan yang akan diganti itu adalah seimbang dengan kerugian yang sungguh-sungguh diderita (Prinsip Indemnitas).
- Perjanjian asuransi adalah perjanjian bersyarat, kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas nama pertanggungan itu terjadi
- Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertanggungan.[18]

B.     Kontrak Asuransi Konvensional
1. Definisi Kontrak Asuransi
Banyak definisi mengenai asuransi. Salah satu yang populer adalah asuransi ialah subsitusi suatu biaya kecil tertentu dengan suatu kerugian besar yang tidak tertentu.
Dari pandangan hukum, kontrak dengan mana satu pihak dengan menerima sesuatu nilai yang dikenal sebagai premi, memikul suatu risiko kerugian atau tanggung jawab yang menimpa pihak lain, sesuai dengan suatu rencana (plan) untuk mendistribusikan risiko tersebut, adalah kontrak asuransi apapun bentuk atau nama yang dipakainya. Banyak kontrak yang sepintas lalu tampak seperti tampak asuransi, tetapi jika diteliti menurut definisi ini ternyata tidak memenuhi syarat.[19]

2. Unsur-unsur Esensil Dari Kontrak Asuransi
Walaupun kontrak asuransi mempunyai beberapa ciri khas, namun ia harus memenuhi bentuk dan syarat umum yang ditetapkan oleh hukum untuk setiap kontrak. Antara lain:[20]
1.      Perjanjian (penawaran dan penerimaan)
Perjanjian terdiri dari penawaran yang dilakukan oleh atau pihak dan penerimaannya oleh pihak kedua. Dalam segala macam asuransi, jenis penawaran terpenting adalah aplikasi asuransi dari calon yang ditanggung. Aplikasi ini dapat secara lisan. Misalnya seseorang yang memutuskan hendak mengasuransikan rumahnya terhadap kerugian akibat kebakaran dapat menelpon seorang agen asuransi. Kontrak lainnya ini orang ini dengan agen tersebut adalah penerimaan polis dan rekening premi. Dengan demikian berarti telah terjadi penawaran dan penerimaan atau perjanjian antara pihak yang ditanggung dengan perusahaan asuransi itu karena agen asuransi telah diberi wewenang oleh perusahaan asuransi tersebut.
2.      Pihak-pihak yang Kompeten
Untuk sahnya suatu kontrak asuransi seperti juga halnya dengan segala kontrak lain, adalah itu harus dibuat oleh pihak-pihak yang kompeten (mampu). Ada tiga kelompok orang yang dianggap tidak kompeten yaitu anak-anak yang belum dewasa, orang dewasa, orang-orang yang secara mental tidak kompeten (mampu), dan dewasa bersuami. Usia dewasa tidak sama di setiap negara. Di New York usia legal itu adalah 141/2 tahun.
Seseorang yang telah dinyatakan secara resmi tidak waras adalah tidak kompeten melakukan perbuatan hukum dan tidak mampu membuat kontrak asuransi yang sah.
3.   Obyek yang Sah atau Legal
Suatu kontrak asuransi biasanya dianggap bertentangan dengan kebijaksanaan  negara dan dengan demikian tidak legal adalah jika pihak yang ditanggung tidak mempunyai kepentingan yang dapat diasuransikan dalam objek yang diasuransikan itu. Jika tidak ada kepentingan yang dapat diasuransikan maka kontrak itu adalah perjudian.
Sebuah contoh lain dari kontrak yang bertentangan dengan kebijaksanaan negara adalah kontrak yang dibuat oleh pihak musuh.
Pasal 208 kitab Undang-undang Hukum Perniagaan mengatakan bahwa yang dapat menjadi obyek asuransi ialah semua kepentingan yang:
a)            Dapat dinilai dengan sejumlah uang
b)            Dapat tertimpa macam-macam bahaya
c)            Tidak dilarang oleh undang-undang
4.    Imbalan (Consideration)
Suatu kontrak hanya sah jika masing-masing pihak memberikan nilai atau memikul sesuatu kewajiban terhadap pihak lainnya. Kontrak asuransi seringkali menyatakan bahwa imbalan dari pihak yang ditanggung adalah "ketentuan-ketentuan dan ketetapan-ketetapan yang tersebut di sini dan premi tertentu". Ini tidak berarti bahwa premi harus dibayar sebelum polis berlaku. Kenyataannya banyak polis asuransi harta sudah berlaku sebelum diterimanya pembayaran premi. Janji membayar adalah imbalan (consideration). Sebaliknya pada asuransi jiwa, premi pertama harus dibayar sebelum berlakunya polis.
Perusahaan asuransi juga memberikan imbalan yang berupa janji akan melakukan pembayaran jika terjadi peristiwa tertentu yang telah ditetapkan.

3. Ciri-Ciri Kontrak Asuransi
Ada beberapa ciri khas tertentu dalam kontrak asuransi:
1.    Kontrak Untung-untungan (Aleatory Contract)
Kebanyakan kontrak bersifat commutative artinya masing-masing pihak menyerahkan barang-barang atau jasa-jasa yang dianggap sama nilainya. Akan tetapi, kontrak asuransi adalah bersifat aleatory artinya pihak-pihak yang membuat kontrak menyadari bahwa jumlah uang yang akan diserahkan oleh masing-masing pihak tidak akan sama.[21]
Dalam polis asuransi, pihak yang ditanggung menyerahkan jumlah premi. Jika ia menderita kerugian, ia mungkin menerima jumlah uang yang jauh lebih besar daripada premi yang dibayarkannya kepada perusahaan asuransi. Dan jika ia tidak menderita kerugian (yang lebih besar kemungkinannya demikian), ia tidak akan menerima apa-apa dari perusahaan asuransi. Bagi perusahaan asuransi, ada kemungkinan ia akan harus melaksanakan pembayaran yang jauh lebih besar daripada premi yang diterimanya atau (lebih besar kemungkinannya) ia tidak akan membayar sama sekali. Ciri-ciri khas dari aleatory contract adalah adanya untung-untungan (chance
2.    Kontrak Adhesi
Kebalikan dari kontrak tawar-menawar, kontrak asuransi biasanya merupakan suatu kontrak adhesi. Perjanjian pada umumnya dibuat oleh para pengacara dan wakil-wakil lain dari perusahaan asuransi, atau barangkali oleh wakil-wakil pemerintah. Biasanya kontrak ini diberikan kepada calon yang ditanggung dalam semangat "terima atau tolak". Calon pembeli asuransi tidak bisa mengajukan usul, agar perusahaan asuransi mengubah sedikit pasal ini atau mengganti suatu perkataan.[22]
Ciri-ciri ini sebetulnya menguntungkan pihak yang ditanggung jika kontrak itu menjadi perkara pengadilan. Pengadilan menentukan bahwa karena perusahaan asuransi yang menyusun kontrak itu, maka setiap kekaburan arti (ambiguity = arti dua, kemenduaan) dalam kontrak itu harus ditafsirkan yang menguntungkan pihak yang ditanggung terhadap perusahaan asuransi.
3.    Kontrak Sepihak (Unilateral)
Kontrak dapat bilateral atau unilateral. Pertukaran suatu janji dengan suatu janji adalah bilateral (belah dua pihak), sedangkan pertukaran suatu tindakan dengan suatu janji adalah unilateral (sepihak). Kontrak asuransi pada umumnya adalah kontrak unilateral artinya pihak yang ditanggung sudah membayar premi, hanya satu pihak terbuka terhadap janji sah yang berlaku untuk melaksanakan sesuatu selanjutnya. Perusahaan asuransi menjanjikan pelaksanaan (performance).
4.    Kontrak Bersyarat (Conditional)
Kontrak asuransi adalah kontrak bersyarat. Memang benar kontrak itu telah terpenuhi seluruhnya oleh pihak yang ditanggung dengan telah dibayarnya premi dan tinggal perusahaan asuransi saja yang berkewajiban memenuhi janjinya. Akan tetapi, ini tidak berarti tidak ada lagi syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak yang ditanggung jika ia ingin memperoleh penggantian atas kerugiannya. Perbedaan antara janji (promis) dengan syarat (condition) adalah bahwa janji itu dapat dipaksakan berlakunya secara hukum, sedangkan syarat (condition) tidak. Pengaruh dari dilanggarnya suatu syarat adalah pihak yang ditanggung tidak memperoleh penggantian kerugian dari perusahaan asuransi. Contoh, pada suatu kontrak asuransi kebakaran, perusahaan berjanji akan mengganti kerugian yang diderita pihak yang ditanggung karena kebakaran. Pihak yang ditanggung perlu memenuhi beberapa syarat yang berhubungan dengan pengajuan bukti kerugian karena suatu kebakaran. Akan tetapi, ia secara hukum tidak wajib mengajukan bukti-bukti kerugian yang diminta oleh syarat-syarat itu. Ia hanya perlu mengajukannya kalau ia ingin memperoleh penggantian kerugian tersebut. Sebaliknya, perusahaan asuransi kebakaran dapat dipaksa oleh hukum untuk memenuhi janjinya membayar ganti rugi, jika pihak yang ditanggung telah memenuhi semua syarat-syarat yang dicantumkan dalam kontrak.[23] 
5.    Sepenuhnya Berdasarkan Kepercayaan
Pada umumnya, kontrak-kontrak apa saja adalah berdasarkan kepercayaan (bonafide, contract, good-faith contract). Akan tetapi, kontrak asuransi adalah kontrak yang sepenuhnya berdasarkan kepercayaan.[24] Dibutuhkan tingkat tertinggi bonafiditas dalam negosiasi sebelum dikeluarkannya polis. Dalam mengambil keputusan pertanggungan, perusahaan asuransi harus mempercayai benar informasi yang diberikan oleh applicant (pelamar, pembeli asuransi).
6.    Kontrak Pribadi
Orang-orang mengatakan bahwa asuransi harta itu adalah kontrak pribadi seperti halnya kontrak perkawinan.[25] Baik pihak yang ditanggung maupun penanggung (perusahaan asuransi) tidak saja memperhatikan kontrak itu tetapi juga watak, prilaku, dan bonafiditas, dari masing-masing pihak. Dalam bahasa biasa dikatakan sesuatu barang diasuransikan. Tetapi sesungguhnya yang diasuransikan adalah si pemilik barang itu. Kontrak asuransi tidak terikat kepada barang itu dan tidak berpindah kepada pembeli barang itu. Persetujuan penanggung diperlukan untuk memindahkan sesuatu kontrak asuransi sebelum terjadi suatu kerugian kecuali dalam hal asuransi jiwa dan beberapa polis asuransi kesehatan. Oleh karena asuransi jiwa bukan suatu kontrak pribadi, maka ia dapat dipindahkan tanpa izin perusahaan asuransi.
Jika telah terjadi kerugian, maka kontrak asuransi mana saja akan menjadi tidak lebih dari suatu klaim uang dan karena itu ia dapat dipindah-tangankan.  
7.    Prinsip Ganti Rugi (Principle of Indemnity)
Kontrak asuransi harta dan asuransi tanggung jawab (liability insurance) pada umumnya adalah kontrak ganti rugi,[26] artinya ia menyatakan akan mengganti kerugian atas kerusakan yang diderita oleh pihak yang ditanggung. Penggantian lebih rendah (undercompensate) dibolehkan tetapi penggantian lebih tinggi tidak. Salah satu masalah utama penerapan prinsip ganti rugi ini adalah bagaimana mengukur kompensasi yang tepat agar tidak menimbulkan laba atau rugi. Sehingga di sini,  dibutuhkan tiga doktrin penting yang timbul dari prinsip indemnity ini adalah: kepentingan yang dapat diasuransikan, pembatasan jumlah penggantian atas suatu polis asuransi, dan subrogation.[27]

C.     Pandangan Ulama tentang Asuransi Konvensional.
Dewan yurisprudensi Islam Liga Dunia Muslim, Makkah, Saudi Arabia, menganggap bahwa semua transaksi asuransi modern termasuk asuransi jiwa dan niaga adalah bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi Dewan menyetujui adanya "Asuransi Koperatif" yang tegak di atas prinsip ta’awun seperti yang diterapkan dalam Asuransi Takaful
Yusuf al-Qardawi dalam "Al halal wa al-Haram fi al-Islam" mengatakan bahwa diharamkannya asuransi konvensional a.l: (1) karena semua anggota asuransi tidak membayar uangnya itu dengan maksud tabarru, bahkan nilai ini sedikitpun tidak terlintas, (2) karena badan asuransi memutar uang tersebut dengan jalan riba.
Di Indonesia PP Persatuan Islam (Persis) melalui Dewan Hisbah mengharamkan praktek asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah di Malang tahun 1987 juga mengharamkan asuransi yang mengandung unsur gharar dan judi, kecuali asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek dan Jasa Raharja, karena banyak mengandung maslahah maka dibolehkan.
Oleh karenanya, jika ditelaah secara mendalam, maka sebenarnya diharamkan asuransi konvensional oleh para ulama disebabkan karena asuransi itu mencakup tiga hal:[28]
1. Garar (Ketidakpastian)
Dalam asuransi konvensional adanya gharar atau ketidakpastian disebabkan karena ketidakjelasan akad yang melandasinya. Apakah Aqd Tabaduli (Akad jual beli) atau Aqd Takafuli (tolong menolong). Sehingga jika terjadi klaim misalnya mengambil 10 tahun untuk Rp. 1.000.000 per tahun. Jika akad yang melandasinya jual beli, dan meninggal pada tahun ke 4, maka pertanggungan yang diberikan sebanyak Rp. 10.000.000. Ini berarti Rp. 6.000.000 gharar. Tidak jelas dari mana asalnya.
Dalam Asuransi Takaful akad yang melandasinya adalah Aqd Takafuli atau tolong menolong. Sehingga sejak awal membuka polis sudah diniatkan bahwa 95% premi untuk tabungan dan 5% diniatkan untuk tabarru. Jika terjadi klaim di tahun ke 4, dana yang 6 juta di atas tidak garar tetapi jelas sumbernya yaitu dari dana kumpulan tabarru (derma)

 2. Maisir (Judi atau Gambling)
Dalam al-Qur’an, Allah S.W.T. Dengan sangat tegas telah menjelaskan prihal maisir. Di antara firman Allah SWT. adalah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءاَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسُُ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ.[29]
Dalam Asuransi konvensional maisir timbul dalam dua hal: Pertama, Seandainya dia memasuki satu program premi, biasanya orang itu ada kemungkinan berhenti karena alasan tertentu. Apabila ia berhenti dijalan dan belum mencapai masa refersing Periode, dimana dia bisa menerima uangnya kembali (biasanya 2 s.d. 3 tahun) dan jumlah + 20%, uang itu akan hangus. jadi disini ada unsur maisir.
Kedua, Manakala Underwriter atau yang menghitung remortalita kematian tepat, menentukan jumlah polis tepat, maka perusahaan akan untung. Tetapi jika salah dalam menghitungnya maka perusahaan akan rugi. Jadi jelas disini mengandung unsur maisir atau judi.
Dalam Asuransi Takaful berbeda, si penerima polis sebelum ia mencapai refresing periode sekalipun, apabila karena suatu hal ia ingin mengambil dananya, maka hal itu dibolehkan. Karena Takaful dalam hal ini hanya sebagai pemegang amanah. Selain itu jika perusahaan mencapai kelebihan daripada pembayaran klaim, tidak akan diterima begitu saja sebagai keuntungan perusahaan, tetapi diberikan kembali kepada pemegang premi/nasabah.

3. Riba (Tambahan Uang dari Modal Pokok)
Dalam hal investasi Takaful menyimpan seluruh dananya ke Bank yang berdasarkan Syariah Islam, yaitu : BMI, BPRS atau Perbankan Islam lainnya.
Dalam hal ini terdapat silang pendapat dikalangan ulama, apakah sama atau tidak dengan bunga. Bagi ulama yang mengharamkan, paling tidak pada nas-nas syari':
-Firman Allah S.W.T.:
- ياايها الذين امنوا اتقواالله وذروا مابقي من الربوا ان كنتم مؤمنين. فان لم تفعلوا فأذنوا بحرب من الله ورسوله وان تبتم فلكم رءوس اموالكم لاتظلمون ولاتظلمون.[30]
-Hadis Nabi S.A.W:
- لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا وموكله وكاتبه وشاهد يه.[31]
Terlepas dari silang pendapat di atas, Syarikat Takaful mempunyai suatu standing, membawa yang terbaik adalah menjauhi syubhat, menjauhi yang diikhtilafkan ummat dan kembali kepada ajaran agama.



[1] Syamsul Anwar, Sumber  Hukum dan Pengaturan Asuransi di Indonesia”, dalam Modul Asuransi Islam, (ttp, tp,  2002) hlm. 13.
[2] Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi,  (Yogyakarta: Ekonisia, 2003). hlm.100.
[3] Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 205-206.
[4] Mehr dan Cammack, Manajemen Asuransi, alih bahasa A. Hasymi, (Jakarta: Balai Aksara, 1981), hlm. 2
[5] Syamsul Anwar, Asuransi Islam, (Yogjakarta: Fakultas Syari’ah, 2002)
[6] Ahmad Azhar Basyir, Takaful sebagai Alternatif Asuransi Islam,(Jurnal 'Ulumul Qur'an No.2 Vol VII, 1996) hlm. 15
[7] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 260
[8] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hlm. 429
[9] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, hlm. 266.
[10] Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Islam Indonesia, cet. II, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 24
[11] Ibid., hlm. 25.
[12] Ibid., hlm. 26.
[13] C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan, hlm. 440
[14] Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan, hlm. 264
[15] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, alih bahasa. Soeroyo, Nastangin, (Jakarta: Dana Bahkti Wakaf, 1995), IV: 281
[16] C.S.T. Kansil, Pokok-pokok Pengetahuan, hlm. 443
[17]  Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, hlm. 210
[18] Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, cet. IV (Jakarta: Sinar Grafaika, 2001), hlm 84
[19]A. Hasymi Ali, Pengantar Asuransi, cet. III, (Jakartarta: Bumi Aksara, 2002), hl. 101
[20]  Ibid., hlm. 102-103
[21] Ibid., hlm. 103-104
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 105
[24] Ibid., hlm. 106
[25] Ibd.
[26]  Untuk mengetahui lebih mendalam mengenai prisip ganti rugi ini Baca juga Muhammad Muslehuddin, Menggugat Asuransi Modern: Mengajukan Suatu Alternatif Baru Dalam Perspektif Hukum Islam, alih bahasa Burhan Wirasubrata, cet. I, (Jakarta: Lentera Basramita, 1999), hlm.  42-43
[27] Subrogation adalah hak penanggung (perusahaan asuransi) untuk mengambil alih klaim pihak yang ditanggung terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kerugian itu. Mengizinkan pihak yang ditanggung memperoleh penggantian dari perusahaan asuransi dan kemudian menagihnya lagi dari orang yang bertanggung jawab atas kerugiannya itu adalah bertentangan dengan prinsip ganti rugi (principle of indemnity). Misalkan pada suatu pagi, tetangga anda menabrak mobil anda yang sedang parkir. Jika ia membayar kerugian anda sepenuhnya, maka anda tidak boleh lagi menagih kerugian tersebut dari perusahaan asuransi anda. Sebaliknya, jika anda meminta perusahaan asuransi anda mengganti kerugian anda tersebut berdasarkan polis asuransi anda, maka anda tidak boleh meminta cek tetangga anda itu, kecuali untuk jumlah kerugiain yang tidak diganti oleh perusahaan asuransi anda. Akan tetapi, penanggung (perusahaan asuransi anda) berhak memperoleh cek tetangga anda itu untuk jumlah yang tercantum dalam polis anda, dan bahkan memintanya jika tetangga itu tidak otomatis membayarnya. Lihat Ibid., hlm. 107
[28]  Marjuki Zuhdi, Pandangan Ulama Terhadap Asuransi Konvensional, http//www. takaful.com/whitepaper/whitepaper.html., hlm. 32-33
[29]   Al-Maidah (5): 90
[30]   Al-Baqarah (2): 278-279
[31] Muslim, Sahih Muslim, “Babu La’ana Akila ar-Riba wa Muwakkalah” (Bandung: al-Ma’arif, tt), I: 697. Hadis sahih riwayat Muslim dari Jabir. Lihat juga al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Bulug  al-Maram (Surabaya: al-Hidayah, tt), hlm.169
lintasberita

Tidak ada komentar: