Kamis, Juni 07, 2012

Mengatasi Konflik Rumah Tangga


Mengatasi Konflik Rumah Tangga 

Siapa pasangan suami istri yang mau bertengkar hebat? Rasanya tak ada yang menginginkan terjadi konflik dalam setiap rumah tangga. Karena sudah pasti, segala sesuatu menjadi terganggu karenanya.
Mungkin perasaan tak enak yang selama ini dipendam menjadi muncul tiba-tiba layaknya bom waktu yang meledak. Hati menjadi mudah tersinggung sehingga salah ucap sedikit bisa membuat kemarahan hebat. Komunikasi menjadi macet, serba salah. Berkata sesuatu ditanggapi keliru, diampun disangka meremehkan.
Anak-anak sering menjadi korban. Kelucuan mereka tiba-tiba menjadi begitu menyebalkan. Semakin mereka berulah, semakin panas suasana seakan ada badai api neraka. Siapa ingin suasana seperti ini?
Tentu saja, bertengkar terus-menerus tanpa ada penyelesaian sangat tidak dianjurkan. Manakala pertengkaran sudah begitu hebatnya dan dikhawatirkan akan menimbulkan hal yang membahayakan, ini harus dicegah. Tanda-tanda dari konflik seperti ini antara lain: tidak ada yang mau mengalah, dan digunakannya cara-cara yang tidak Islami.
Dalam kasus di mana kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah, tentu saja akan terjadi konflik. Kedua pihak saling beradu pendapat dan argumentasi, masing-masing merasa pendapatnya yang benar dan menuntut agar pasangannya mau menerima pendapat tersebut. Selama keduanya berpegang teguh pada prinsip dan posisinya tanpa bersedia mengambil jalan tengah, konflik tidak akan bisa diselesaikan.
Konflik itu menjadi kian membahayakan bila sudah mengabaikan cara-cara yang sehat atau Islami. Cara marah yang tidak Islami adalah yang dikuasai syetan dan hawa nafsu. Gejalanya adalah diperlihatkannya perilaku tidak mendukung selama konflik terjadi. Yaitu perangai kemarahan berlebih-lebihan, dengan hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian berupa kata-kata kotor maupun ekspresi wajah merah padam menyeramkan.
Perangai-perangai tersebut hanya akan membuat jantung berdebar semakin keras, darah mengalir lebih cepat dan keringatpun mengucur lebih deras. Dalam kondisi seperti ini otak tak dapat berpikir jernih dan tenang karena sudah dikuasai emosi, sehingga keputusan yang diambil akan tidak menguntungkan.
Sementara itu, mereka yang berusaha keluar dari konflik ketika perseteruan tengah berlangsung --alias lari dari kenyataan-- juga tak akan mungkin menemukan jalan pemecahan yang baik. Mungkin mereka bisa bertahan dalam kondisi tidak terlalu baik, namun sebagian besar harus menyelesaikan dalam perpecahan keluarga yang sesungguhnya.
Beberapa ciri pasangan yang melarikan diri dari konflik yang sedang berlangsung antara lain:
1. Mengambil langkah seribu.
Ketika perdebatan sedang berlangsung, tiba-tiba salah seorang berdiri dari duduknya dan dengan penuh kejengkelan pergi ke kamar, membanting pintu, dan menguncinya dari dalam. Atau salah seorang memilih pergi, mengganti baju, mengambil uang secukupnya, lantas meninggalkan rumah tanpa pamit.
Jika kondisi seperti ini terjadi berulang-ulang, kapan permasalahan bisa diselesaikan? Tindakan lari menghindari konflik tanpa berusaha mencari penyelesaian seperti ini sama artinya dengan menunda konflik hingga berkepanjangan. Atau menyimpan konflik baru untuk diteruskan bersambung di waktu lain.
2. Membutakan mata dan telinga.
Pertengkaran model ini terus berlangsung dengan sengit, tetapi salah seorang menampakkan ketidakpeduliannya. Ia membiarkan pasangannya mengeluh dan mengomel sebanyak-banyaknya tanpa ia masukkan ke dalam hati.
Kadangkala salah satu pihak sudah berusaha dengan baik untuk mencari jalan penyelesaian mengakhiri konflik. Tetapi ketika tiba saatnya mempertentangkan argumen masing-masing, salah satu pihak berkeras tak mau mengubah pendiriannya, bahkan tak mau peduli terhadap upaya apapun.
Ini seperti saat Amri yang selalu pulang terlambat dengan banyak alasan tanpa seijin Iin, istrinya, dan tak mau mendengar apapun alasan istrinya itu. Iin sudah berusaha mengajak bicara mengapa ia ingin Amri menelepon dulu jika akan pulang terlambat, atau setidaknya mengurangi jadwal lemburnya dalam seminggu. Tetapi Amri yang menganggap harapan istrinya itu tidak masuk akal serta merendahkan martabatnya, sama sekali tak mau tahu.
Dan jika keduanya sudah masuk dalam konflik percakapan mengenai hal ini, Amri lebih banyak mengeluarkan kata-kata klise seperti, "Kau selalu menginginkan itu-itu juga. Kan tidak mungkin aku bisa lakukan." atau ungkapan, "Paling- paling kau nasehati aku agar tidak lembur," kemudian mengambil surat kabar sembari pura-pura mencari berita. Badan Amri memang ada di sana tetapi mata dan telinganya menghindar dari istrinya dan pikirannya pun melayang.
Perbuatan meneruskan konflik hingga makin panas dann hebat, maupun lari dari kancah konflik dengan membiarkan masalah jadi menggantung, sama-sama tak menyelesaikan masalah. Kedua jenis perbuatan ini adalah karakter khas pasangan bermasalah yang menurut penelitian sering mengakhiri konflik panjang dengan perceraian.
Nampak kurang adanya niat dari salah satu atau kedua pihak yang mengalami konflik untuk bersungguh-sungguh mencari jalan keluar. Mungkin juga ada niat untuk segera menyelesaikan konflik, tetapi belum melewati teknis yang benar sehingga jalan akhirnya tetap buntu.
Sebuah penelitian yang dilakukan para ahli menyimpulkan, bahwa pasangan bermasalah menghabiskan waktu lebih banyak untuk bertengkar dalam konflik dari pada pasangan yang bahagia. Tetapi pasangan tak bahagia ini juga ternyata lebih sering lari dari konflik yang terjadi dibanding pasangan yang berbahagia.
Intinya, pasangan yang berbahagia tidak suka menghabiskan waktunya untuk bertengkar. Tetapi kalaupun mereka terpaksa menemukan konflik, mereka akan bertahan menghadapinya dengan cara sebaik-baiknya hingga menemukan jalan penyelesaian.
Bagaimana agar bisa bertahan menghadapi konflik tanpa harus meledakkannya ataupun lari dari kenyataan?
Intinya adalah niat dari masing-masing pihak untuk mencari jalan penyelesaian. Niat ini baru bisa tumbuh manakala masing-masing yakin bahwa ikatan pernikahan harus dipertahankan. Dan kesamaan ide antara keduanya tentang dasar-dasar pernikahan, yaitu dasar aqidah, akan semakin memperkuat niat tersebut.
Jika niat sudah ada, berarti telah ada tekad untuk mencari jalan penyelesaian, walau itu memerlukan usaha berat. Tidak perlu putus asa jika sesekali menemukan hambatan. Selanjutnya, tak kalah pentingnya adalah teknik menghadapi konflik itu sendiri.
Islam telah menyumbangkan ide tata cara bertengkar yang baik demi mencapai penyelesaian. Beberapa di antaranya adalah:
-Tidak memperturutkan hawa nafsu dalam mempertahankan argumentasi.
-Mau berlapang dada menerima pendapat pihak lain.
-Tidak dikuasai emosi sehingga bisa menahan diri agar jantung tidak terlalu berdebar keras, aliran darah dan keringat terkontrol.
-Cepat mengingat Allah dengan membaca dzikir dan istighfar.
-Mengendalikan nafas agar tetap tenang dan teratur.
-Berbicara lebih diperlambat dan menahan untuk mencela, memaki dan mengumpat.
-Berusaha agar tetap duduk di tempat.
-Jika usaha tidak membuahkan hasil dan konflik makin memanas, bisa berhenti dulu untuk mengerjakan hal lain sambil mendinginkan suasana.
-Akhirnya, niat baik dan tekat kuat untuk bermusyawarah disertai komunikasi terbuka insya-Allah akan membimbing keduanya menemukan jalan terbaik.
lintasberita

Tidak ada komentar: