Senin, Juni 11, 2012

Pemikiran KH. Idham Cholid tentang Demokrasi


PEMIKIRAN KH. IDHAM CHALID TENTANG DEMOKRASI
             
A. Demokrasi Terpimpin: Konsep Awal
            Demokrasi Terpimpin sebagai sebuah sistem politik adalah sesuatu yang khas bahkan identik dengan Soekarno. Mendiang presiden pertama inilah yang mempopulerkan istilah Demokrasi Terpimpin dalam kampanyenya “melawan” sistem parlementer yang disebutnya sebagai “Demokrasi Barat” atau “Demokrasi 50 persen lebih satu”. Soekarno pula yang berjaya memimpin pemerintahan di bawah sistem ini selama hampir enam tahun (1959-1965). Tetapi sebagai sebuah konsep, Demokrasi Terpimpin sebelumnya pernah disebut oleh tokoh lain dan hal ini diakui oleh Soekarno. Suatu ketika Soekarno mengatakan :
“Sebelum Bung Karno pergi ke R.R.Tj., sebelum Bung Karno pergi ke Sovjet Uni, Bung Karno sudah kadang2 mengutjapkan Demokrasi Terpimpin. Bahkan tanja kepada Ki Hadjar Dewantara, saudara2, di dalam tahun 1928, tiga puluh tahun jang lalu, Ki Hadjar Dewantara telah berkata dalam bahasa Belanda, kita memerlukan “Democratie met leiderschap”. Bukan demokrasi jang sekedar zonder leider, zonder pimpinan, de helft plus heeft altijd gelijk. Bukan ! tetapi demokrasi met leiderschap”. [1]
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pergerakan dan pendidikan yang- karena jasa-jasanya, hari lahirnya dijadikan sebagai hari pendidikan nasional.[2] Dalam sebuah tulisannya yang dimuat “Wasita”, tahun ke-1, no. 4 bulan Juni 1935, berjudul “Sistim Trisentra” Ki Hajar Dewantara menyebut bahwa dalam mendidik “guru-guru harus bersatu faham; kalau tidak dapat demikian, janganlah organisasi perguruan didasarkan atas demokrasi secara Barat, tetapi harus bersandar leiderschap atau pimpinan.[3] Tulisan itu sendiri berbicara mengenai pentingnya tiga pusat (Tri Sentra) dalam keberhasilan pendidikan. Tiga pusat tersebut adalah keluarga, sekolah, dan pergerakan.
            Istilah Democratie met Leiderschap (demokrasi dengan kepemimpinan) itu sendiri, bagi Ki Hajar Dewantara, sering dihubungkan dengan istilah “Demokrasi Kekeluargaan”. Demokrasi Kekeluargaan adalah kondisi yang tercipta dari pendidikan yang berasaskan kemerdekaan, berorientasi kepada kebudayaan sendiri, kerakyatan, kepercayaan kepada kekuatan sendiri untuk tumbuh dan disertai rasa pengabdian tinggi, memahami kemajuan sebagai bagian perkembangan kodrati dalam suatu sistem among. Salah satu segi dari sistem among ialah kewajiban para guru untuk bersikap “sebagai pemimpin yang mempengaruhi dari belakang, membangkitkan pikiran murid bila berada di tangah-tengah mereka dan memberi contoh bila didepan mereka”.[4]
            Menurut konsep demokrasi kekeluargaan, gambaran masyarakat yang dicita-citakan ialah (seperti dalam hidup keluarga) di mana setiap orang sama derajatnya, sama haknya, sama-sama bebas dan merdeka. Akan tetapi apabila kebebasan masing-masing itu akan mengganggu ketertiban dan keselamatan masyarakat banyak harus ada tindakan penyelamatan yang tegas, kalau perlu secara keras mengganggu pengganggu-pengganggu ketertiban. Dan yang mengambil tindakan adalah pemimpin yang bijaksana, yang tindakannya tidak berdasarkan kesewenang-wenangan atau berdasarkan pikiran yang pendek, tetapi berdasarkan musyawarah dengan pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya. Itulah yang kemudian dirumuskan sebagai “hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dalam permusyawaratan/ perwakilan di dalam Pancasila”.[5]
            Sejauhmana hubungan antara konsep Soekarno dan Ki Hajar Dewantara mengenai Demokrasi Terpimpin atau Democratie met Leiderschap tentunya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[6] Di sini penyusun tidak berpretensi untuk melakukan pelacakan, kecuali untuk menghadirkannya sebagai pengantar. Hal ini karena Idham Chalid mengutip ucapan Soekarno (yang juga mengutip Ki Hajar Dewantara) mengenai Demokrasi Terpimpin dalam buku yang menjadi rujukan utama penelitian ini. Hal yang relevan untuk disebutkan di sini adalah konsep Demokrasi Terpimpin yang dipaparkan Soekarno sejak tahun 1956.
Pada bulan Oktober 1956 Presiden Soekarno mengecam apa yang disebutnya sebagai ‘penyakit partai’ dan mendesak agar partai-partai sebaiknya “dikubur”. Soekarno mengusulkan “Demokrasi Liberal” diganti dengan “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi dengan kepemimpinan, dan mengatakan bahwa ia memiliki ‘konsepsi’ untuk mengatasi berbagai masalah politik di Indonesia. Rincian ‘konsepsi’ akan diumumkan oleh Soekarno di kemudian hari.[7]
Soekarno kemudian mengumumkan konsepsinya di depan 900 tokoh politik dan pemimpin lainnya di Istana pada 21 Februari 1957. Sebagai titik tolak, ia mengulangi peringatannya supaya tidak meniru bentuk-bentuk bangunan politik negara lain, tetapi dengan memperhatikan lembaga-lembaga yang sesuai dengan sifat-sifat dan jiwa bangsa sendiri. Ia menolak gagasan demokrasi liberal dengan alasan bahwa demokrasi jenis itu adalah bentuk yang diimpor dari Barat, yang mengizinkan pemaksaan mayoritas atas minoritas. Ini bukanlah cara Indonesia. Ia mengatakan telah mendapatkan suatu gaya untuk mencapai kata sepakat dalam pengambilan keputusan pemerintah yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia – dalam bentuk musyawarah di pedesaan. Keputusan-keputusan hanya diambil sesudah pertimbangan-pertimbangan yang lama dan cermat. Selama ada golongan minoritas yang belum yakin akan suatu usul, musyawarah diteruskan, sampai akhirnya di bawah tuntutan seorang pimpinan, dicapai kata sepakat. Tata cara musyawarah untuk mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan Kepemimpinan, memungkinkan semua pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas; dan ini seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan kepada pertentangan – tata kerja musyawarah untuk mufakat meningkatkan kerukunan.[8]
Dalam menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam bentuk perangkat politik nyata, Soekarno mengajukan dua usul. Pertama, ia menyarankan dibentuknya apa yang dinamakannya ‘kabinet gotong-royong’ yang mewakili semua partai. PKI sekarang sudah menjadi unsur yang sangat penting sehingga tidak mungkin tidak memasukkannya ke dalam kekuasaan, katanya. Partai ini adalah satu bagian yang sah dari revolusi dan ia seharusnya diberi kesempatan untuk ikut serta dalam pembentukan suatu kesepakatan nasional. Dengan demikian, suatu pemerintahan yang berdiri di atas empat kaki, terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI, dan mungkin dibantu oleh wakil-wakil partai kecil lainnya, Kabinet gotong-royong ini akan lebih mampu menjalankan kebijaksanaan politik nasional yang dapat diterima dan meningkatkan kerukunan persatuan nasional daripada suatu kabinet koalisi yang terus-menerus diganggu oleh oposisi. Perkataan ‘gotong-royong’, kata Soekarno, adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa Indonesia yang semurni-murninya. [9]
Ia selanjutnya mengatakan, bahwa ini bukan langkah ke kiri. “Ada orang berkata, Bung Karno mengusulkan konsepsi ini untuk membawa kabinet ke aliran kiri. Tidak, saudara-saudara, buat saya tidak ada istilah kiri, tidak ada istilah kanan! Saya sekedar menghendaki bangsa Indonesia utuh kembali”. Pernyataan ini kembali ditegaskan oleh Soekarno dalam kuliah umum di depan mahasiswa universitas Pajajaran bulan Mei 1958. Sambil “memamerkan” kemampuannya berbahasa asing, Soekarno berkata  :
Saja sudah memberi keterangan, apa itu demokrasi terpimpin. Bahwa demokrasi terpimpin itu his nothing to do with communism, bahwa demokrasi terpimpin itu heeft niets te maken met communisme, bahwa demokrasi terpimpin sama sekali tidak ada hubungannja dengan komunis. [10]

Kedua, ia mengusulkan pembentukan suatu Dewan Nasional, di bawah pimpinannya yang dapat memusyawarahkan garis-garis besar politik nasional. Dewan ini bukan suatu badan perwakilan partai-partai, tetapi perwakilan dari golongan-golongan fungsional – terdiri dari wakil-wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha nasional – Islam, Protestan, Katolik – angkatan bersenjata, organisasi pemuda, organisasi wanita, dan juga wakil-wakil daerah. Dewan Nasional ini, katanya, adalah pencerminan dari masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana kabinet empat kaki itu adalah pencerminan dari perlemen. Dengan memasukkan unsur-unsur utama dari masyarakat bangsa, maka keduanya, Pemerintah dan Dewan Nasional, akan dapat mengambil keputusan yang bukan didasarkan kepada penjegalan minoritas oleh mayoritas, tetapi didasarkan kepada musyawarah untuk mufakat, dan dengan demikian akan mendapat dukungan seluruh bangsa.[11]    
Itulah konsep Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin, dan bila kita berusaha menangkap kata kunci dari konsep ini, dapatlah kita sebut beberapa di antaranya : musyawarah mufakat (sebagai lawan dari voting) dan pemimpin. Sementara keterlibatan PKI dalam pemerintahan dan pembentukan Dewan Nasional merupakan wacana politik yang akan dikampanyekan Soekarno. Berikut kita akan masuk kepada pemikiran Idham Chalid.

B.  Demokrasi dan Syura

            Idham Chalid, ketua umum partai NU, adalah salah seorang yang berusaha “membaca” gagasan Soekarno ini. Sebuah gagasan yang menimbulkan pro-kontra baik di tingkatan pemikiran maupun politik praktis. Sebuah gagasan yang hadir di tengah pencarian bentuk demokrasi yang cocok untuk diterapkan di Indonesia (Syamsuddin Haris: 1994), bahkan di tengah pergumulan “pencarian identitas” sebagai sebuah bangsa yang baru lepas dari cengkeraman kolonialisme.
Marilah kita lihat bagaimana Idham melakukan “pembacaannya” atas Demokrasi Terpimpin. Demokrasi didasarkan pada keyakinan bahwa semua manusia adalah anggota masyarakat yang bebas dan memiliki hak yang sama. Lawan Demokrasi ialah Oligarki (dari bahasa Yunani : Oligoi, golongan kecil). Yakni, pemerintahan oleh segolongan kecil yang berkuasa. Demokrasi bersandar pada hak suara setiap anggota masyarakat yang dewasa untuk memilih parlemen, yang merupakan badan perwakilan segala partai, agama dan sebagainya seperti termaktub dalam undang-undang dasar. Hakekat demokrasi ialah menghormati pendapat golongan minoritas dan inilah perbedaannya dengan diktatur.
            Penjelasan di atas dikutip dari bagian ketiga buku “Islam dan Demokrasi Terpimpin” (h. 31). Bagian tersebut membahas tentang Demokrasi. Paham Demokrasi, lanjut Idham, sudah sejak lama hidup di muka bumi ini, yaitu sejak zaman keemasan kebudayaan Yunani. Telah banyak sarjana yunani kuno seperti Plato dan lain-lainnya yang membicarakan subyek ini. Walaupun demikian, sebenarnya demokrasi yang dipraktikkan di Yunani itu sangat jauh dari sempurna, karena perbedaan dalam hak-hak manusia dan status sosial dianggap sesuatu yang wajar.[12] Perbedaan muncul karena masih adanya perbudakan di zaman Yunani, serta karena anak-anak dan para wanita tidak memiliki hak politik. Hanya kaum laki-laki dewasa dan merdeka yang memiliki hak untuk menentukan kebijakan.[13]  
            Paham demokrasi tumbuh dan berkembang begitu rupa selama ribuan tahun sesudahnya, sehingga sekarang kita melihat negara-negara atau pemerintahan-pemerintahan di dunia ini menamakan diri sebagai Pelaksana atau penganut Demokrasi.  Idham mengkualifikasi dua macam demokrasi : Demokrasi Politik dan Demokrasi Masyarakat Sosial. Demokrasi politik berlambangkan “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.  Sedangkan Demokrasi Masyarakat Sosial berlambangkan “pemerintahan untuk kepentingan rakyat”. Tidak peduli siapa yang memerintah, bagaimana caranya dan atas hak apa mereka memerintah.[14] 
            Yang paling menonjol dan yang menjadi syarat mutlak bagi orang di dalam menilai suatu “demokrasi” biasanya ialah : sampai di mana kebebasan rakyat untuk bersuara menyatakan pikirannya, atau dengan kata lain, sampai di mana pihak yang berkuasa menghargai atau menjunjung “musyawarah” dan meletakkannya dalam badan apa, bagaimana pembentukan badan tersebut, sebesar apa kekuatannya, dan sampai di mana faktor musyawarah itu mempengaruhi dalam setiap kebijakan negara.[15]
            Bagi rakyat yang berpikir sederhana, apabila disebut “Demokrasi”, maka yang terbayang pertama kalinya di otak mereka bukanlah hak yang bermacam-macam yang dilahirkan oleh demokrasi itu. Tetapi yang paling pertama ialah mereka merasa bahwa negaranya diperintah dengan musyawarah, di mana mereka pun juga dalam tingkat tertentu diajak bertukar pendapat (musyawarah). Idham menyimpulkan bahwa faktor musyawarah, bagaimanapun caranya dan apapun peranannya di dalam sebuah negara adalah termometer (alat ukur) demokrasi di negara itu. Alasannya adalah karena dalam pengalaman sejarah apabila hak mengeluarkan suara atau hak musyawarah telah diperkosa atau dihilangkan, maka hak-hak yang lain sudah pasti tak ada lagi. Dengan demikian faktor “musyawarah” adalah “ukuran minimal” dari demokrasi suatu negara.[16]  
            Paparan Idham tentang demokrasi bisa disimpulkan dalam tiga poin utama. Yakni, (1) bahwa hakikat demokrasi adalah menghargai pendapat golongan minoritas, (2) kebebasan rakyat menyatakan pendapat atau kemauan penguasa bermusyawarah merupakan ukuran demokrasi dalam suatu negara dan terakhir (3), bahwa musyawarah adalah ukuran minimal dari demokrasi. Dan dari tiga poin di atas dapat terlihat bahwa demokrasi, dalam pemikiran Idham, sangat berkaitan dengan musyawarah.
            Setelah menemukan keterkaitan antara demokrasi dan musyawarah, Idham mulai menengok ke dalam tradisi Islam. Idham menyatakan bahwa kita dapat menemukan sebagian bukti-bukti “Demokrasi dalam Islam”. Bukti-bukti tersebut “berciri” musyawarah yang dapat ditemukan dalam tradisi Islam, baik pada teks-teks suci, yakni al-Qur’an dan al-Hadits, jejak langkah para sahabat maupun karya para ulama.[17]
Beberapa “bukti” mengenai keberadaan demokrasi dalam Islam, yaitu :
1.  al-Qur’an
والَذين استجابوا لربِهم وأَقاموا الصّلاة وأَمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون[18]
فبِما رحمة من الله لنت لهم ولو كنت فظا غليظ القَلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأَمر فإِذا عزمت فتوكل على اللّه إِن اللّه يحب الْمتوكلين [19]
2. Pendapat Syaikh al-Azhar, Ustazd al-akbar Mahmud Syalthut dalam karyanya al Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah. Syalthut, sebagaimana dikutip Idham, menjelaskan bahwa musyawarah adalah dasar dari segala hukum yang sempurna dan merupakan sebuah metode mencari kebenaran. Dalam musyawarah dapat ditemukan pikiran-pikiran yang matang.[20]
Al-Qur’an  memerintahkan syura (musyawarah) dan menjadikannya sebagian unsur dalam pemerintahan Islam. Sebuah surah di dalam kitab suci dinamai “asy Syura” menempatkan musyawarah pada posisi yang tinggi, yakni sebagai salah satu sendi keimanan. Musyawarah menjadi satu rangkaian dengan kesucian hati dan tawakkal, pemeliharaan diri dari perbuatan nista, serta taqarrub ilallah dengan melaksanakan sholat .[21]
Musyawarah memunculkan solidaritas dan perasaan bersaudara (ukhuwwah), serta memicu orang untuk mengorbankan harta benda di jalan Allah. Dengan syura kejahatan dan angkara murka akan dikalahkan. Demikianlah yang disimpulkan Syalthut dari surah asy Syura ayat 36-39.
Ayat ini, ujar Syeikh al Azhar, diturunkan sesudah kekalahan pahit kaum muslimin di perang Uhud. Setelah itu Allah memerintahkan Rasulullah untuk bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam berbagai persoalan, termasuk pengembangan masyarakat. Hal ini antara lain menyebabkan terikatnya hati rakyat dan memunculkan rasa tanggung jawab bersama dalam menghadapi tantangan. [22]
3. Sebuah hadits yang diriwayatkan al Baihaqi dari Ibnu Abbas. Para periwayat ini menjelaskan ketika turun ayat  وشاورهم في الأَمر, rasulullah bersabda:
اما ان الله ورسوله لغنيان عنها ولكن جعلها الله رحمة لامتي ( رواه البيهقى [23](
4. Dalam tafsir as Shawi juz IV, sebagaimana dikutip Idham, disebutkan bahwa sebelum rasulullah hijrah, orang-orang Anshar (muslim Madinah) telah mempraktikkan musyawarah di antara sesama mereka dalam hampir setiap masalah. Allah memuji mereka dan memerintahkan rasul-Nya untuk bermusyawarah dengan mereka lewat firmannya: وشاورهم في الأَمر
Musyawarah itu menarik lebih banyak simpati dan menjinakkan hati. Metode musyawarah digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan ijtihadiyyah (yang tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an  dan al Hadits), seperti strategi berperang, mekanisme bertahan dan sebagainya. Tentu saja Rasulullah tidak mengajak bermusyarah dalam soal-soal Syara’, karena masalah itu harus dikembalikan kepada wahyu. [24]
Sepeninggal Nabi, para sahabat bermusyawarah di antara sesama mereka dalam masalah agama maupun dunia. Yang pertama kalinya mereka musyawarahkan adalah soal Khilafah (pengganti Rasulullah), karena tidak ada wasiat tertentu dari Rasulullah untuk masalah ini. Dalam sidang itu Umar bin Khattab berucap : ”kami bisa percayakan urusan dunia kami pada seseorang sebagaimana kami percayakan urusan agama kami pada Rasulullah semasa hidupnya”. Sebagai hasil dari pertemuan itu, Abu Bakar as Siddiq terpilih menjadi khalifah pertama.[25]
Empat poin di atas semuanya berbicara mengenai syura (musyawarah). Menurut Idham syura adalah bukti demokrasi dalam Islam atau dengan kata lain, Idham ingin mengatakan demokrasi dalam Islam adalah syura (musyawarah)
C. Syura : Kritik atas Demokrasi Parlementer.
Lalu bagaimana harusnya bermusyawarah? Siapa saja yang diajak bermusyawarah dan bagaimana cara mengambil keputusan di dalamnya? Idham melakukan pencarian mengenai “panduan bermusyawarah” di dalam jejak langkah Rasulullah dan para sahabat (dikutip dari karya Chudari Bek). Rasulullah selalu bermusyawarah dan mendengarkan pendapat para ahli di bidangnya masing-masing. Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dua sahabat yang  menjadi tokoh dan dikenal masyarakat karena kepemimpinannya, diajak Rasulullah bermusyawarah dalam hal peperangan, pemerintahan sehari-hari, dan soal hubungan dengan negara-negara lain.
Pendapat Hubab bin Mundzir diambil ketika menentukan posisi yang strategis dalam perang Badr. Soal tawanan perang Badr  juga dimusyawarahkan dengan para sahabat. Dalam soal pertahanan kota Madinah, Rasulullah menyepakati usulan Salman al Farisi. Ali bin Abi Thalib diajak bermusyawarah dalam masalah rumah tangga dan banyak lagi contah-contah lainnya.
Demikianlah, ujar Idham, dalam setiap musyawarah tersebut Rasulullah menunjukkan penghargaan terhadap pendapat orang lain, terutama para ahli (experts) dalam setiap bidang dan
...nampak kelihatan bahwa Rasulullah SAW tidak MUSJAWARAH asal MUSJAWARAH sadja, ja’ni berunding dengan setiap orang dalam segala persoalan dan kemudian untuk mengambil kesimpulan/ keputusan diadakan stem-steman adu kekuatan, cari menang-menangan suara semata, seperti jang biasa dalam Demokrasi Parlementer Barat jang sudah usang. Tidak ! Rasulullah tidak pernah memberikan tjontoh demikian. Rasulullah memberikan tjontoh bagaimana orang ber-MUSJAWARAH bukan berdebat atau berkelahi dengan kata-kata ![26]
Pendapat terbanyak bukanlah segalanya di dalam menentukan keputusan, menurut Idham. Dia mengajukan dua contoh kasus yang dialami para sahabat. Pertama, ketika Khalifah Abu Bakar baru memulai tugasnya, ia langsung menghadapi sekian masalah. Ada sekelompok orang yang meninggalkan Islam, ada yang tidak mau membayar zakat, dan ada pula yang mengaku sebagai Nabi, seperti Musailamah al Kazdzdab di Yamamah, Dzu al Himar di Yaman, Thulaihah bin Chuwailid dari Banu As’ad. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabat untuk menentukan sikap dan kebijakan.
Pendapat yang mendapat dukungan terbanyak adalah mengusahakan jalan damai dengan kelompok-kelompok tersebut. Pertimbangannya adalah jumlah para penyeleweng lebih besar dari pada kaum muslim yang tetap loyal dan taat pada Khalifah. Mendengar pendapat sebagian besar anggota sidang musyawarah yang serba ragu-ragu dan takut bertindak tegas ini, Abu Bakar berseru dengan suara yang menggetarkan: “Demi Allah, demi keselamatan Agama ini, kita harus bertindak tegas kepada penyeleweng-penyeleweng itu semua sampai mereka sadar dan mau kembali kepada yang haq, atau sampai Abu Bakar mati dalam menegakkan kalimah Allah”.
Walaupun djumlah anggauta sidang permusjawaratan jang sependapat dengan Chalifah Abu Bakar Shiddieq r.a. pada mulanja merupakan golongan jang lebih sedikit (minderheid), tetapi sidang para sahabat jang mengerti benar2 arti MUSJAWARAT, arti PIMPINAN, dan arti TANGGUNG DJAWAB dalam Islam, maka achirnja mereka pun tunduk pada keputusan tersebut….[27] 
Kedua, ketika terjadi perang Shiffin (antara Khalifah ‘Ali bin Abi Thali>b dan Mu’awiyah), dan nampak kemenangan pasukan Ali hampir dapat dipastikan, tiba-tiba dari pihak tentara Mua’wiyah ada orang yang mengangkat Mushhaf sambil berteriak : “inilah kitab yang harus menyelesaikan persengketaan kita!”
Banyak tentara Ali yang terpesona oleh teriakan itu. Mereka lalu mendesak Ali agar menghentikan pertempuran, walaupun kemenangan sudah nyata di depan mata. Sebagai ahli politik dan strategi perang Ali mula-mula menolak permintaan ini. Tapi, ada yang berkata dengan tajam : “Mereka memanggil kita untuk berhukum dengan Kitab Allah dan angkau masih mau berhukum dengan pedang?!”. Kata-kata itu terlalu menusuk perasaan khalifah Ali dan banyak yang mendukung usul ini. Akhirnya, Ali bin Abi Tha>lib mengalah. 
            Sebagaimana kita ketahui kemudian, disepakatilah tahkim[28]  dimana Ali dikalahkan secara menyakitkan. Khalifah Ali terkecoh, karena beliau pada saat yang begitu menentukan “hanya tunduk pada suara yang terbanyak yang belum tentu HAQ dan BUKAN AHLI-nya”.[29] Anehnya sesudah selesainya peristiwa dramatis itu, banyak dari orang-orang yang telah memberi anjuran atau memaksa untuk gencatan senjata dan ber-tahkim, malah berkata pada Ali :“memang kami keliru, tetapi kenapa engkau mau menuruti kekeliruan kami ?! padahal engkau adalah khalifah, seharusnya lebih jauh pandangan dan lebih teliti pemikiran dari kami”, demikianlah akhirnya ucapan mereka. Idham menutup kisah ini dengan komentar :
Boleh djadi kita djidjik atau bentji terhadap mentaliteit pengikut Ali jang serupa itu, tetapi setjara djudjur terpaksa kita akui, bahwa ada benarnja “isi” utjapan itu.
Mengapa waktu itu hanja berpedoman kepada suara terbanjak (meerderheid) sadja; sedangkan Rasulullah SAW menjuruh musyawarah dan memimpin, bukan musyawarah sekedar tjari suara banjak, sehingga harus mengenjampingkan pendapat seorang Pemimpin Besar, Penanggung djawab, seorang ahli jang melebihi sahabat2 lainnja pada masa itu.[30]
Islam tidak mengajarkan untuk mengadu suara dalam mengambil keputusan. Pendapat yang paling benar dan tepat bukanlah yang didukung mayoritas, melainkan didasarkan pada faktor dari mana pendapat itu berasal: dari seorang ahli atau bukan. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara sesama anggota permusyawaratan, padahal kapasitas mereka setara dalam arti sama-sama ahli untuk bermusyawarah (ahl halli wal ‘aqd), maka dalam kondisi itu Rasulullah, sebagaimana dijelaskan Idham,  memberi petunjuk
…فاذ اختلفتم فعليكم بالسواد الاعظم مع الحق و اهله  [31]
Ungkapan sawad al ‘adzam  (suara mayoritas) adalah sesuatu yang umum (lafdz Al ‘Amm) telah di takhsis dengan kalimat ma’ al haq wa ahlih (disertai kebenaran dan keahlian).[32] Dengan bahasa langsung bisa dijelaskan dengan “suara yang terbanyak (meerdeheid, majoriteit) yang disertai kebenaran dan keahlian”.
Keputusan yang didasarkan semata-mata pada suara terbanyak tanpa melihat haq dan keahlian, bisa menjerumuskan kepada bahaya dan kesesatan. Firman Allah:
وإِن تطع أَكثر من في الأَرضِ يضلُوك عن سبِيلِ اللّه إِن يتبعون إِلا الظّنّ وإِن هم إِلا يخرصون[33]
Lewat contoh-contoh yang di dapat dari para sahabat, Idham melakukan kritik terhadap cara pengambilan keputusan di dalam demokrasi Parlementer. Dalam sistem tersebut, sebuah pendapat bisa lolos menjadi keputusan apabila mendapat dukungan mayoritas. Cara ini dianggap demokratis dan mendekati kebenaran. Persoalannya kemudian, apakah pendapat yang didukung mayoritas selalu benar? Lalu bagaimanakah mencari tahu sebuah keputusan itu benar atau salah?. Bagaimana pula dengan faktor kepentingan yang bermain di setiap “pertarungan” mengambil keputusan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa memunculkan perdebatan. Yang jelas, bagi Idham kesadaran akan arti tanggung jawab (baik terhadap rakyat  atau keyakinan) haruslah tertanam dalam diri setiap orang yang bermusyawarah.
Seorang pemimpin yang baik tidak hanya harus menghargai pendapat para ahli dalam mengambil keputusan, ia juga mesti mengerti arti tanggung jawab yang diembannya, sehingga tidak sembarang memutuskan. Pada titik ini, walaupun tidak merinci lebih jauh, Idham menganggap penting arti dan kedudukan seorang pemimpin. Idham menegaskan arti tanggung jawab bagi seorang pemimpin dengan mengutip sebuah hadits yang sangat terkenal :
كلكم راع و كلكم مسئول عن رعيته. فالامام راع وهو مسئول عن رعيته[34]
Hal-hal yang telah dibahas di atas, yakni bermusyawarah dengan para ahli, tidak semata-mata mengandalkan suara terbanyak dalam mengambil keputusan, dan pentingnya kesadaran akan tanggung jawab bagi seorang pemimpin dan anggota permusyawaratan adalah pokok-pokok pikiran Idham tentang syura. Syura yang menurut Idham merupakan bentuk demokrasi di dalam Islam.
Idham berkesimpulan bahwa demokrasi dalam Islam sangat berbeda dengan demokrasi liberal Barat (menunjuk pada sistem Parlementer)
…yang memakai de helft plus een altijd gelijk (separuh lebih satu, harus selalu benar). Demokrasi Islam juga bukan demokrasi pura-pura (schijn democratie) dimana seorang diktator telah memutuskan sesuatu sebelum musyawarah. Musyawarah yang berlangsung kemudian tidak lebih sebagai formalitas untuk melegalisir kemauan para diktator saja.[35]
Dengan demikian apa yang hendak dikatakan oleh Idham sesungguhnya adalah bahwa jika yang dikritisi oleh Demokrasi Terpimpin dari sistem liberal adalah pentingnya suara mayoritas, maka Islam melakukan hal yang sama. Islam tidak pernah mengajarkan mengambil keputusan semata-mata karena banyaknya dukungan. Begitu pula, jika yang diandaikan oleh Demokrasi Terpimpin adalah suasana yang menghargai pendapat minoritas, musyawarah mufakat yang menghasilkan keharmonisan tanpa mengadu perlu suara, bukannya perpecahan sebagaimana yang menjadi efek samping sistem liberal, maka Islam pun mengajarkan hal yang sama. Oleh karena itu, Demokrasi Terpimpin sesungguhnya sejalan dengan syura dalam Islam.
Tetapi, Idham tidak berhenti sampai di sini saja. Ia juga mewaspadai bahaya kediktatoran seorang pemimpin. Kediktatoran yang telah tercium sejak Soekarno mengkampanyekan gagasannya. Bagi Idham, seorang pemimpin tak boleh hanya mengandalkan kekuasaannya. Ia mesti mendengar dan sungguh-sungguh menghargai pendapat orang. Demokrasi terpimpin dalam Islam menurut Idham “bukanlah terpimpin oleh kemauan seseorang, bukan oleh nafsu berkuasa manusia, dan bukan oleh sembojan2 kosong, tetapi terpimpin oleh haq dan ahlinya.”[36]
Akhirnya, Demokrasi Terpimpin bisa sesuai dengan Islam apabila ada dua unsur yang saling melengkapi, saling mengisi dan saling mengawasi. Kedua unsur tersebut adalah: unsur musyawarah yang menghargai pimpinan dan unsur pimpinan yang menghargai musyawarah, atau dengan kata lain “sang pemimpin yang menghargai hikmat kebijaksanaan musyawarah dan ahli musyawarah yang menyadari dan menghargai leiderschap seorang pemimpin.”[37]  




[1] Dikutip dari Idham Chalid, Islam dan Demokrasi Terpimpin (Jakarta: Madjalah Sepekan Api Islam, 1965), hlm. 38.
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lambang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1978). Dikutip dari Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm.9 . Abdurrachman Surjomiharjdo juga merupakan salah satu anggota panitia pengumpulan karya-karya Ki Hadjar Dewantara.
[3] Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama : Pandidikan, cet. II (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), hlm. 75. 
[4] Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara, hlm. 29.
[5] Ibid., hlm. 30. Seorang  penulis mengkritik konsep Ki Hajar Dewantara ini sebagai “domestikasi” gagasan demokrasi sebagaimana yang dikembangkan kaum tradisionalis Jawa. Padahal sebelumnya, bersama dengan Tjipto Mangunkusumo ia adalah sedikit dari elit pergerakan asal Jawa yang sungguh-sungguh berbicara tentang demokrasi dengan nilai-nilainya yang universal. Lih. Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan Pengalaman (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 107-109.
[6] Sebuah perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang demokrasi tercermin dalam karyanya kemudian berjudul “Demokrasi dan Leiderschap”. Karya ini merupakan tanggapan atas sistem Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Diterbitkan Majelis Luhur Taman Siswa pada tahun 1959.
[7] John D. Legge, Soekarno, Sebuah Biografi Politik (Jakarta: Sinar Harapan, tt), hlm. 321-323.
[8] John D. Legge, Soekarno, hlm. 325.
[9] Ibid., hlm. 326.
[10] Dikutip dari Idham Chalid, Islam, hlm. 37.
[11] John D. Legge, Soekarno, hlm. 327.
[12] Idham Chalid, Islam, hlm. 32. 
[13]  The New Encyclopedia Britanica, vol. 4, Micropedia, Ready Reference, Encyclopedia Britania Inc. (Chicago: University of Chicago Press, 1998), hlm. 5. Dikutip dari Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), hlm. 71.
[14] Idham Chalid, Islam, hlm.32
[15] Ibid., hlm. 33.
[16] Ibid.
[17] Gaya pemaparan seperti ini sangat-lah khas Idham. Pemaparan yang diselingi kisah yang diambil dari sejarah Islam. Dengan menggunakan metode ini, konsep yang rumit dianggap lebih mudah untuk dipahami, dan  disisi lain menunjukkan bahwa Idham sangat menguasai pengetahuan keagamaan. Lih. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama, Sejarah NU 1952-1967, hlm. 231 dan wawancara dengan H. Syafriansyah,  21 November 2004 di Banjarmasin. Tentang Syafriansyah telah diterangkan di bab II, catatan no. 65.
[18] asy Sy>ura (42) : 38.
[19] Ali Imra>n (3) : 159.
[20] Idham Chalid, Islam, hlm. 40
[21] Ibid., hlm. 41
[22] Ibid., hm. 42
[23] Ibid., hlm. 44. Idham menyebutkan sumber kutipan sebagai berikut: (Tafsir al Alusi, juz IV) tanpa menyebut halaman.
[24] Ibid., hlm. 45.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm. 47.
[27] Ibid., hlm. 49.
[28] Tahki>m sering dipadankan dengan  arbitrasi, atau penunjukan seorang penengah yang disepakati bersama untuk menyelesaikan suatu masalah. Lih. Hans Wehr,  A Dictionary of Modern written Arabic, Arabic-English, cet. III, kerjasama antara (Beirut: Librairie du Liban, dan London: MacDonald & Evans Ltd, 1980), hlm. 197. Dalam kasus perang Shiffi>n kelompok Ali menunjuk Abu Musa Al Asy’ary, sementara kelompok Mua’wiyah mendelegasikan ‘Amr bin al ‘Ash..  
[29] Idham Chalid, Islam, hlm. 50.
[30] Ibid., hlm. 51.
[31] Idham Chalid, Islam, hlm. 59. Idham tidak menyebutkan sumbernya. Penyusun menemukan hadist tersebut dengan redaksi yang agak berbeda dalam Al Mazzi Abu al Hajj<aj, Tahdzi>b al Kama>l, Juz. 21 ( Libanon: Da>r el Fikr, tt), hlm. 117. Selengkapnya berbunyi :
عن أنس بن مالك، قال: سمعتُ رسول الله يقول: «إنَّ أُمتـي لا تَـجتـمع علـى ضَلالة، فإذا رأيتُـم الاختلاف فعلـيكم بـالسَّواد الأعظم الـحق وأهله» (أخرجهُ من حديث الولـيد بن مُسلـم عن معاذ بن رفـاعة)
[32] Lafdz al ‘A<mm di sini bermakna suatu pedoman umum, sementara takhsi>s berarti spesifikasi atas pedoman yang berlaku umum tersebut.  Al ‘A<mm, al Kha>sh atau Takhsi>s merupakan istilah dalam Ushu>l Fiqh. Lebih lanjut lih. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib ( Semarang: Dina Utama, 1994), terutama kaidah keenam dan ketujuh, hlm. 278-308.
[33] al An’a>m  (6) : 116.
[34] Idham Chalid, Islam, hlm. 60. Penyusun menemukan hadits dengan redaksi yang sama dalam Ibnu Hibba>n, Shahih Ibnu Hibba>n, Juz. 4 (Lebanon : Da>r el Fikr, tt), hlm. 261.
[35] Idham Chalid, Islam, hlm. 57.

[36] Ibid., hlm. 59.

[37] Ibid., hlm. 58.
lintasberita

Tidak ada komentar: