PEMIKIRAN KH. IDHAM
CHALID TENTANG DEMOKRASI
A. Demokrasi Terpimpin: Konsep Awal
Demokrasi
Terpimpin sebagai sebuah sistem politik adalah sesuatu yang khas bahkan identik
dengan Soekarno. Mendiang presiden pertama inilah yang mempopulerkan istilah Demokrasi
Terpimpin dalam kampanyenya “melawan” sistem parlementer yang disebutnya
sebagai “Demokrasi Barat” atau “Demokrasi 50 persen lebih satu”. Soekarno pula
yang berjaya memimpin pemerintahan di bawah sistem ini selama hampir enam tahun
(1959-1965). Tetapi sebagai sebuah konsep, Demokrasi Terpimpin sebelumnya
pernah disebut oleh tokoh lain dan hal ini diakui oleh Soekarno. Suatu ketika
Soekarno mengatakan :
“Sebelum Bung Karno pergi
ke R.R.Tj., sebelum Bung Karno pergi ke Sovjet Uni, Bung Karno sudah kadang2
mengutjapkan Demokrasi Terpimpin. Bahkan tanja kepada Ki Hadjar Dewantara, saudara2, di dalam tahun 1928, tiga
puluh tahun jang lalu, Ki Hadjar Dewantara telah berkata dalam bahasa Belanda,
kita memerlukan “Democratie met leiderschap”. Bukan demokrasi jang sekedar
zonder leider, zonder pimpinan, de helft plus heeft altijd gelijk. Bukan !
tetapi demokrasi met leiderschap”. [1]
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pergerakan dan pendidikan
yang- karena jasa-jasanya, hari lahirnya dijadikan sebagai hari pendidikan
nasional.[2]
Dalam sebuah tulisannya yang dimuat “Wasita”, tahun ke-1, no. 4 bulan Juni
1935, berjudul “Sistim Trisentra” Ki Hajar Dewantara menyebut bahwa dalam
mendidik “guru-guru harus bersatu faham; kalau tidak dapat demikian, janganlah
organisasi perguruan didasarkan atas demokrasi secara Barat, tetapi harus
bersandar leiderschap atau pimpinan.[3]
Tulisan itu sendiri berbicara mengenai pentingnya tiga pusat (Tri Sentra)
dalam keberhasilan pendidikan. Tiga pusat tersebut adalah keluarga, sekolah,
dan pergerakan.
Istilah Democratie met
Leiderschap (demokrasi dengan kepemimpinan) itu sendiri, bagi Ki Hajar
Dewantara, sering dihubungkan dengan istilah “Demokrasi Kekeluargaan”.
Demokrasi Kekeluargaan adalah kondisi yang tercipta dari pendidikan yang berasaskan
kemerdekaan, berorientasi kepada kebudayaan sendiri, kerakyatan, kepercayaan
kepada kekuatan sendiri untuk tumbuh dan disertai rasa pengabdian tinggi,
memahami kemajuan sebagai bagian perkembangan kodrati dalam suatu sistem
among. Salah satu segi dari sistem among ialah kewajiban para guru untuk
bersikap “sebagai pemimpin yang mempengaruhi dari belakang, membangkitkan
pikiran murid bila berada di tangah-tengah mereka dan memberi contoh bila
didepan mereka”.[4]
Menurut konsep demokrasi
kekeluargaan, gambaran masyarakat yang dicita-citakan ialah (seperti dalam
hidup keluarga) di mana setiap orang sama derajatnya, sama haknya, sama-sama
bebas dan merdeka. Akan tetapi apabila kebebasan masing-masing itu akan
mengganggu ketertiban dan keselamatan masyarakat banyak harus ada tindakan
penyelamatan yang tegas, kalau perlu secara keras mengganggu
pengganggu-pengganggu ketertiban. Dan yang mengambil tindakan adalah pemimpin
yang bijaksana, yang tindakannya tidak berdasarkan kesewenang-wenangan atau
berdasarkan pikiran yang pendek, tetapi berdasarkan musyawarah dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya. Itulah yang kemudian dirumuskan sebagai
“hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dalam permusyawaratan/ perwakilan
di dalam Pancasila”.[5]
Sejauhmana hubungan antara konsep
Soekarno dan Ki Hajar Dewantara mengenai Demokrasi Terpimpin atau Democratie
met Leiderschap tentunya masih memerlukan penelitian lebih lanjut.[6] Di
sini penyusun tidak berpretensi untuk melakukan pelacakan, kecuali untuk
menghadirkannya sebagai pengantar. Hal ini karena Idham Chalid mengutip ucapan
Soekarno (yang juga mengutip Ki Hajar Dewantara) mengenai Demokrasi Terpimpin
dalam buku yang menjadi rujukan utama penelitian ini. Hal yang relevan untuk
disebutkan di sini adalah konsep Demokrasi Terpimpin yang dipaparkan Soekarno
sejak tahun 1956.
Pada bulan
Oktober 1956 Presiden Soekarno mengecam apa yang disebutnya sebagai ‘penyakit
partai’ dan mendesak agar partai-partai sebaiknya “dikubur”. Soekarno
mengusulkan “Demokrasi Liberal” diganti dengan “Demokrasi Terpimpin”, demokrasi
dengan kepemimpinan, dan mengatakan bahwa ia memiliki ‘konsepsi’ untuk
mengatasi berbagai masalah politik di Indonesia. Rincian ‘konsepsi’ akan
diumumkan oleh Soekarno di kemudian hari.[7]
Soekarno
kemudian mengumumkan konsepsinya di depan 900 tokoh politik dan pemimpin
lainnya di Istana pada 21 Februari 1957. Sebagai titik tolak, ia mengulangi
peringatannya supaya tidak meniru bentuk-bentuk bangunan politik negara lain,
tetapi dengan memperhatikan lembaga-lembaga yang sesuai dengan sifat-sifat dan
jiwa bangsa sendiri. Ia menolak gagasan demokrasi liberal dengan alasan bahwa
demokrasi jenis itu adalah bentuk yang diimpor dari Barat, yang mengizinkan
pemaksaan mayoritas atas minoritas. Ini bukanlah cara Indonesia. Ia mengatakan
telah mendapatkan suatu gaya untuk mencapai kata sepakat dalam pengambilan
keputusan pemerintah yang telah berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia –
dalam bentuk musyawarah di pedesaan. Keputusan-keputusan hanya diambil sesudah
pertimbangan-pertimbangan yang lama dan cermat. Selama ada golongan minoritas
yang belum yakin akan suatu usul, musyawarah diteruskan, sampai akhirnya di
bawah tuntutan seorang pimpinan, dicapai kata sepakat. Tata cara musyawarah
untuk mufakat yang khas Indonesia ini bersama dengan Kepemimpinan, memungkinkan
semua pendapat dipertimbangkan dengan menenggang perasaan minoritas; dan ini
seharusnya menjadi model untuk bangsa Indonesia. Demokrasi liberal didasarkan
kepada pertentangan – tata kerja musyawarah untuk mufakat meningkatkan
kerukunan.[8]
Dalam
menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam bentuk perangkat politik nyata,
Soekarno mengajukan dua usul. Pertama, ia menyarankan dibentuknya apa yang
dinamakannya ‘kabinet gotong-royong’ yang mewakili semua partai. PKI sekarang
sudah menjadi unsur yang sangat penting sehingga tidak mungkin tidak
memasukkannya ke dalam kekuasaan, katanya. Partai ini adalah satu bagian yang
sah dari revolusi dan ia seharusnya diberi kesempatan untuk ikut serta dalam
pembentukan suatu kesepakatan nasional. Dengan demikian, suatu pemerintahan
yang berdiri di atas empat kaki, terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI, dan
mungkin dibantu oleh wakil-wakil partai kecil lainnya, Kabinet gotong-royong
ini akan lebih mampu menjalankan kebijaksanaan politik nasional yang dapat
diterima dan meningkatkan kerukunan persatuan nasional daripada suatu kabinet
koalisi yang terus-menerus diganggu oleh oposisi. Perkataan ‘gotong-royong’,
kata Soekarno, adalah perkataan asli Indonesia yang menggambarkan jiwa
Indonesia yang semurni-murninya. [9]
Ia selanjutnya
mengatakan, bahwa ini bukan langkah ke kiri. “Ada orang berkata, Bung Karno
mengusulkan konsepsi ini untuk membawa kabinet ke aliran kiri. Tidak,
saudara-saudara, buat saya tidak ada istilah kiri, tidak ada istilah kanan! Saya
sekedar menghendaki bangsa Indonesia utuh kembali”. Pernyataan ini kembali
ditegaskan oleh Soekarno dalam kuliah umum di depan mahasiswa universitas
Pajajaran bulan Mei 1958. Sambil “memamerkan” kemampuannya berbahasa asing,
Soekarno berkata :
Saja
sudah memberi keterangan, apa itu demokrasi terpimpin. Bahwa demokrasi
terpimpin itu his nothing to do with communism, bahwa demokrasi
terpimpin itu heeft niets te maken met communisme, bahwa demokrasi
terpimpin sama sekali tidak ada hubungannja dengan komunis. [10]
Kedua, ia
mengusulkan pembentukan suatu Dewan Nasional, di bawah pimpinannya yang dapat
memusyawarahkan garis-garis besar politik nasional. Dewan ini bukan suatu badan
perwakilan partai-partai, tetapi perwakilan dari golongan-golongan fungsional –
terdiri dari wakil-wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha nasional – Islam,
Protestan, Katolik – angkatan bersenjata, organisasi pemuda, organisasi wanita,
dan juga wakil-wakil daerah. Dewan Nasional ini, katanya, adalah pencerminan
dari masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana kabinet empat kaki itu adalah
pencerminan dari perlemen. Dengan memasukkan unsur-unsur utama dari masyarakat
bangsa, maka keduanya, Pemerintah dan Dewan Nasional, akan dapat mengambil
keputusan yang bukan didasarkan kepada penjegalan minoritas oleh mayoritas,
tetapi didasarkan kepada musyawarah untuk mufakat, dan dengan demikian akan
mendapat dukungan seluruh bangsa.[11]
Itulah konsep
Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin, dan bila kita berusaha menangkap kata
kunci dari konsep ini, dapatlah kita sebut beberapa di antaranya : musyawarah
mufakat (sebagai lawan dari voting) dan pemimpin. Sementara keterlibatan PKI
dalam pemerintahan dan pembentukan Dewan Nasional merupakan wacana politik yang
akan dikampanyekan Soekarno. Berikut kita akan masuk kepada pemikiran Idham
Chalid.
B. Demokrasi dan Syura
Idham Chalid, ketua umum partai NU,
adalah salah seorang yang berusaha “membaca” gagasan Soekarno ini. Sebuah
gagasan yang menimbulkan pro-kontra baik di tingkatan pemikiran maupun politik
praktis. Sebuah gagasan yang hadir di tengah pencarian bentuk demokrasi yang
cocok untuk diterapkan di Indonesia (Syamsuddin Haris: 1994), bahkan di tengah
pergumulan “pencarian identitas” sebagai sebuah bangsa yang baru lepas dari
cengkeraman kolonialisme.
Marilah kita lihat bagaimana Idham melakukan “pembacaannya”
atas Demokrasi Terpimpin. Demokrasi didasarkan pada keyakinan bahwa semua
manusia adalah anggota masyarakat yang bebas dan memiliki hak yang sama. Lawan
Demokrasi ialah Oligarki (dari bahasa Yunani : Oligoi, golongan kecil). Yakni,
pemerintahan oleh segolongan kecil yang berkuasa. Demokrasi bersandar pada hak
suara setiap anggota masyarakat yang dewasa untuk memilih parlemen, yang
merupakan badan perwakilan segala partai, agama dan sebagainya seperti
termaktub dalam undang-undang dasar. Hakekat demokrasi ialah menghormati
pendapat golongan minoritas dan inilah perbedaannya dengan diktatur.
Penjelasan di atas dikutip dari
bagian ketiga buku “Islam dan Demokrasi Terpimpin” (h. 31). Bagian tersebut
membahas tentang Demokrasi. Paham Demokrasi, lanjut Idham, sudah sejak lama
hidup di muka bumi ini, yaitu sejak zaman keemasan kebudayaan Yunani. Telah
banyak sarjana yunani kuno seperti Plato dan lain-lainnya yang membicarakan
subyek ini. Walaupun demikian, sebenarnya demokrasi yang dipraktikkan di Yunani
itu sangat jauh dari sempurna, karena perbedaan dalam hak-hak manusia dan
status sosial dianggap sesuatu yang wajar.[12]
Perbedaan muncul karena masih adanya perbudakan di zaman Yunani, serta karena
anak-anak dan para wanita tidak memiliki hak politik. Hanya kaum laki-laki
dewasa dan merdeka yang memiliki hak untuk menentukan kebijakan.[13]
Paham demokrasi tumbuh dan
berkembang begitu rupa selama ribuan tahun sesudahnya, sehingga sekarang kita
melihat negara-negara atau pemerintahan-pemerintahan di dunia ini menamakan
diri sebagai Pelaksana atau penganut Demokrasi.
Idham mengkualifikasi dua macam demokrasi : Demokrasi Politik dan
Demokrasi Masyarakat Sosial. Demokrasi politik berlambangkan “pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Sedangkan Demokrasi Masyarakat Sosial berlambangkan “pemerintahan untuk
kepentingan rakyat”. Tidak peduli siapa yang memerintah, bagaimana caranya dan
atas hak apa mereka memerintah.[14]
Yang paling menonjol dan yang
menjadi syarat mutlak bagi orang di dalam menilai suatu “demokrasi” biasanya
ialah : sampai di mana kebebasan rakyat untuk bersuara menyatakan pikirannya,
atau dengan kata lain, sampai di mana pihak yang berkuasa menghargai atau
menjunjung “musyawarah” dan meletakkannya dalam badan apa, bagaimana
pembentukan badan tersebut, sebesar apa kekuatannya, dan sampai di mana faktor
musyawarah itu mempengaruhi dalam setiap kebijakan negara.[15]
Bagi rakyat yang berpikir sederhana,
apabila disebut “Demokrasi”, maka yang terbayang pertama kalinya di otak mereka
bukanlah hak yang bermacam-macam yang dilahirkan oleh demokrasi itu. Tetapi
yang paling pertama ialah mereka merasa bahwa negaranya diperintah dengan
musyawarah, di mana mereka pun juga dalam tingkat tertentu diajak bertukar
pendapat (musyawarah). Idham menyimpulkan bahwa faktor musyawarah, bagaimanapun
caranya dan apapun peranannya di dalam sebuah negara adalah termometer
(alat ukur) demokrasi di negara itu. Alasannya adalah karena dalam pengalaman
sejarah apabila hak mengeluarkan suara atau hak musyawarah telah diperkosa atau
dihilangkan, maka hak-hak yang lain sudah pasti tak ada lagi. Dengan demikian
faktor “musyawarah” adalah “ukuran minimal” dari demokrasi suatu negara.[16]
Paparan Idham tentang demokrasi bisa
disimpulkan dalam tiga poin utama. Yakni, (1) bahwa hakikat demokrasi adalah
menghargai pendapat golongan minoritas, (2) kebebasan rakyat menyatakan
pendapat atau kemauan penguasa bermusyawarah merupakan ukuran demokrasi dalam
suatu negara dan terakhir (3), bahwa musyawarah adalah ukuran minimal dari
demokrasi. Dan dari tiga poin di atas dapat terlihat bahwa demokrasi, dalam
pemikiran Idham, sangat berkaitan dengan musyawarah.
Setelah
menemukan keterkaitan antara demokrasi dan musyawarah, Idham mulai menengok ke
dalam tradisi Islam. Idham menyatakan bahwa kita dapat menemukan sebagian
bukti-bukti “Demokrasi dalam Islam”. Bukti-bukti tersebut “berciri” musyawarah
yang dapat ditemukan dalam tradisi Islam, baik pada teks-teks suci, yakni
al-Qur’an dan al-Hadits, jejak langkah para sahabat maupun karya para ulama.[17]
Beberapa “bukti”
mengenai keberadaan demokrasi dalam Islam, yaitu :
1. al-Qur’an
والَذين استجابوا لربِهم
وأَقاموا الصّلاة وأَمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون[18]
فبِما رحمة من الله لنت لهم ولو
كنت فظا غليظ القَلب لانفضوا من حولك فاعف عنهم واستغفر لهم وشاورهم في الأَمر فإِذا
عزمت فتوكل على اللّه إِن اللّه يحب الْمتوكلين [19]
2. Pendapat Syaikh al-Azhar, Ustazd al-akbar Mahmud Syalthut
dalam karyanya al Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah. Syalthut, sebagaimana
dikutip Idham, menjelaskan bahwa musyawarah adalah dasar dari segala hukum yang
sempurna dan merupakan sebuah metode mencari kebenaran. Dalam musyawarah dapat
ditemukan pikiran-pikiran yang matang.[20]
Al-Qur’an
memerintahkan syura (musyawarah) dan menjadikannya sebagian unsur
dalam pemerintahan Islam. Sebuah surah di dalam kitab suci dinamai “asy Syura”
menempatkan musyawarah pada posisi yang tinggi, yakni sebagai salah satu sendi
keimanan. Musyawarah menjadi satu rangkaian dengan kesucian hati dan tawakkal,
pemeliharaan diri dari perbuatan nista, serta taqarrub ilallah dengan
melaksanakan sholat .[21]
Musyawarah memunculkan solidaritas dan
perasaan bersaudara (ukhuwwah), serta memicu orang untuk mengorbankan
harta benda di jalan Allah. Dengan syura kejahatan dan angkara murka
akan dikalahkan. Demikianlah yang disimpulkan Syalthut dari surah asy Syura
ayat 36-39.
Ayat ini, ujar Syeikh al Azhar, diturunkan sesudah kekalahan
pahit kaum muslimin di perang Uhud. Setelah itu Allah memerintahkan Rasulullah
untuk bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam berbagai persoalan,
termasuk pengembangan masyarakat. Hal ini antara lain menyebabkan terikatnya
hati rakyat dan memunculkan rasa tanggung jawab bersama dalam menghadapi
tantangan. [22]
3. Sebuah hadits yang diriwayatkan al Baihaqi dari Ibnu
Abbas. Para periwayat ini menjelaskan ketika turun ayat وشاورهم في الأَمر, rasulullah bersabda:
4. Dalam tafsir as Shawi juz IV, sebagaimana dikutip Idham,
disebutkan bahwa sebelum rasulullah hijrah, orang-orang Anshar (muslim Madinah)
telah mempraktikkan musyawarah di antara sesama mereka dalam hampir setiap
masalah. Allah memuji mereka dan memerintahkan rasul-Nya untuk bermusyawarah
dengan mereka lewat firmannya: وشاورهم في الأَمر
Musyawarah itu menarik lebih banyak simpati dan menjinakkan
hati. Metode musyawarah digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan ijtihadiyyah
(yang tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an
dan al Hadits), seperti strategi berperang, mekanisme bertahan dan
sebagainya. Tentu saja Rasulullah tidak mengajak bermusyarah dalam soal-soal
Syara’, karena masalah itu harus dikembalikan kepada wahyu. [24]
Sepeninggal Nabi, para sahabat bermusyawarah di antara sesama
mereka dalam masalah agama maupun dunia. Yang pertama kalinya mereka
musyawarahkan adalah soal Khilafah (pengganti Rasulullah), karena tidak
ada wasiat tertentu dari Rasulullah untuk masalah ini. Dalam sidang itu Umar
bin Khattab berucap : ”kami bisa percayakan urusan dunia kami pada seseorang
sebagaimana kami percayakan urusan agama kami pada Rasulullah semasa hidupnya”.
Sebagai hasil dari pertemuan itu, Abu Bakar as Siddiq terpilih menjadi khalifah
pertama.[25]
Empat poin di atas semuanya berbicara mengenai syura
(musyawarah). Menurut Idham syura adalah bukti demokrasi dalam Islam
atau dengan kata lain, Idham ingin mengatakan demokrasi dalam Islam adalah syura
(musyawarah)
C. Syura : Kritik atas Demokrasi Parlementer.
Lalu bagaimana harusnya bermusyawarah? Siapa saja yang diajak
bermusyawarah dan bagaimana cara mengambil keputusan di dalamnya? Idham
melakukan pencarian mengenai “panduan bermusyawarah” di dalam jejak langkah
Rasulullah dan para sahabat (dikutip dari karya Chudari Bek). Rasulullah selalu
bermusyawarah dan mendengarkan pendapat para ahli di bidangnya masing-masing.
Abu Bakar dan Umar bin Khattab, dua sahabat yang menjadi tokoh dan dikenal masyarakat karena
kepemimpinannya, diajak Rasulullah bermusyawarah dalam hal peperangan,
pemerintahan sehari-hari, dan soal hubungan dengan negara-negara lain.
Pendapat Hubab bin Mundzir diambil ketika menentukan posisi
yang strategis dalam perang Badr. Soal tawanan perang Badr juga dimusyawarahkan dengan para sahabat.
Dalam soal pertahanan kota Madinah, Rasulullah menyepakati usulan Salman al
Farisi. Ali bin Abi Thalib diajak bermusyawarah dalam masalah rumah tangga dan
banyak lagi contah-contah lainnya.
Demikianlah, ujar Idham, dalam setiap musyawarah tersebut
Rasulullah menunjukkan penghargaan terhadap pendapat orang lain, terutama para
ahli (experts) dalam setiap bidang
dan
...nampak
kelihatan bahwa Rasulullah SAW tidak MUSJAWARAH asal MUSJAWARAH sadja, ja’ni
berunding dengan setiap orang dalam segala persoalan dan kemudian untuk mengambil
kesimpulan/ keputusan diadakan stem-steman adu kekuatan, cari menang-menangan
suara semata, seperti jang biasa dalam Demokrasi Parlementer Barat jang
sudah usang. Tidak ! Rasulullah tidak pernah memberikan tjontoh demikian.
Rasulullah memberikan tjontoh bagaimana orang ber-MUSJAWARAH bukan berdebat
atau berkelahi dengan kata-kata ![26]
Pendapat terbanyak bukanlah segalanya di dalam menentukan
keputusan, menurut Idham. Dia mengajukan dua contoh kasus yang dialami para
sahabat. Pertama, ketika Khalifah Abu Bakar baru memulai tugasnya, ia langsung
menghadapi sekian masalah. Ada sekelompok orang yang meninggalkan Islam, ada
yang tidak mau membayar zakat, dan ada pula yang mengaku sebagai Nabi, seperti
Musailamah al Kazdzdab di Yamamah, Dzu al Himar di Yaman, Thulaihah bin
Chuwailid dari Banu As’ad. Abu Bakar lalu bermusyawarah dengan para sahabat
untuk menentukan sikap dan kebijakan.
Pendapat yang mendapat dukungan terbanyak adalah mengusahakan
jalan damai dengan kelompok-kelompok tersebut. Pertimbangannya adalah jumlah
para penyeleweng lebih besar dari pada kaum muslim yang tetap loyal dan taat
pada Khalifah. Mendengar pendapat sebagian besar anggota sidang musyawarah yang
serba ragu-ragu dan takut bertindak tegas ini, Abu Bakar berseru dengan suara
yang menggetarkan: “Demi Allah, demi keselamatan Agama ini, kita harus
bertindak tegas kepada penyeleweng-penyeleweng itu semua sampai mereka sadar
dan mau kembali kepada yang haq, atau sampai Abu Bakar mati dalam menegakkan kalimah
Allah”.
Walaupun
djumlah anggauta sidang permusjawaratan jang sependapat dengan Chalifah Abu
Bakar Shiddieq r.a. pada mulanja merupakan golongan jang lebih sedikit
(minderheid), tetapi sidang para sahabat jang mengerti benar2 arti MUSJAWARAT,
arti PIMPINAN, dan arti TANGGUNG DJAWAB dalam Islam, maka achirnja mereka pun
tunduk pada keputusan tersebut….[27]
Kedua, ketika terjadi perang Shiffin (antara Khalifah
‘Ali bin Abi Thali>b dan Mu’awiyah), dan nampak kemenangan pasukan Ali
hampir dapat dipastikan, tiba-tiba dari pihak tentara Mua’wiyah ada orang yang
mengangkat Mushhaf sambil berteriak : “inilah kitab yang harus
menyelesaikan persengketaan kita!”
Banyak tentara Ali yang terpesona oleh teriakan itu. Mereka
lalu mendesak Ali agar menghentikan pertempuran, walaupun kemenangan sudah nyata
di depan mata. Sebagai ahli politik dan strategi perang Ali mula-mula menolak
permintaan ini. Tapi, ada yang berkata dengan tajam : “Mereka memanggil kita
untuk berhukum dengan Kitab Allah dan angkau masih mau berhukum dengan
pedang?!”. Kata-kata itu terlalu menusuk perasaan khalifah Ali dan banyak yang
mendukung usul ini. Akhirnya, Ali bin Abi Tha>lib mengalah.
Sebagaimana kita ketahui kemudian,
disepakatilah tahkim[28] dimana Ali dikalahkan secara menyakitkan.
Khalifah Ali terkecoh, karena beliau pada saat yang begitu menentukan “hanya
tunduk pada suara yang terbanyak yang belum tentu HAQ dan BUKAN AHLI-nya”.[29]
Anehnya sesudah selesainya peristiwa dramatis itu, banyak dari orang-orang yang
telah memberi anjuran atau memaksa untuk gencatan senjata dan ber-tahkim, malah
berkata pada Ali :“memang kami keliru, tetapi kenapa engkau mau menuruti
kekeliruan kami ?! padahal engkau adalah khalifah, seharusnya lebih jauh
pandangan dan lebih teliti pemikiran dari kami”, demikianlah akhirnya ucapan
mereka. Idham menutup kisah ini dengan komentar :
Boleh
djadi kita djidjik atau bentji terhadap mentaliteit pengikut Ali jang serupa
itu, tetapi setjara djudjur terpaksa kita akui, bahwa ada benarnja “isi”
utjapan itu.
Mengapa
waktu itu hanja berpedoman kepada suara terbanjak (meerderheid) sadja;
sedangkan Rasulullah SAW menjuruh musyawarah dan memimpin, bukan musyawarah
sekedar tjari suara banjak, sehingga harus mengenjampingkan pendapat seorang
Pemimpin Besar, Penanggung djawab, seorang ahli jang melebihi sahabat2 lainnja
pada masa itu.[30]
Islam tidak mengajarkan untuk mengadu suara dalam mengambil
keputusan. Pendapat yang paling benar dan tepat bukanlah yang didukung
mayoritas, melainkan didasarkan pada faktor dari mana pendapat itu berasal:
dari seorang ahli atau bukan. Jika terjadi perbedaan pendapat di antara sesama
anggota permusyawaratan, padahal kapasitas mereka setara dalam arti sama-sama
ahli untuk bermusyawarah (ahl halli wal ‘aqd), maka dalam kondisi itu
Rasulullah, sebagaimana dijelaskan Idham,
memberi petunjuk
…فاذ اختلفتم فعليكم بالسواد الاعظم مع الحق و
اهله [31]
Ungkapan sawad al ‘adzam
(suara mayoritas) adalah sesuatu yang umum (lafdz Al ‘Amm)
telah di takhsis dengan kalimat ma’ al haq wa ahlih (disertai
kebenaran dan keahlian).[32]
Dengan bahasa langsung bisa dijelaskan dengan “suara yang terbanyak (meerdeheid,
majoriteit) yang disertai kebenaran dan keahlian”.
Keputusan yang didasarkan semata-mata pada suara terbanyak
tanpa melihat haq dan keahlian, bisa menjerumuskan kepada bahaya dan
kesesatan. Firman Allah:
وإِن تطع
أَكثر من في الأَرضِ يضلُوك عن سبِيلِ اللّه إِن يتبعون إِلا الظّنّ وإِن هم إِلا
يخرصون[33]
Lewat contoh-contoh yang di dapat dari para sahabat, Idham
melakukan kritik terhadap cara pengambilan keputusan di dalam demokrasi
Parlementer. Dalam sistem tersebut, sebuah pendapat bisa lolos menjadi
keputusan apabila mendapat dukungan mayoritas. Cara ini dianggap demokratis dan
mendekati kebenaran. Persoalannya kemudian, apakah pendapat yang didukung
mayoritas selalu benar? Lalu bagaimanakah mencari tahu sebuah keputusan itu
benar atau salah?. Bagaimana pula dengan faktor kepentingan yang bermain di
setiap “pertarungan” mengambil keputusan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
senantiasa memunculkan perdebatan. Yang jelas, bagi Idham kesadaran akan arti
tanggung jawab (baik terhadap rakyat
atau keyakinan) haruslah tertanam dalam diri setiap orang yang
bermusyawarah.
Seorang pemimpin yang baik tidak hanya harus menghargai
pendapat para ahli dalam mengambil keputusan, ia juga mesti mengerti arti
tanggung jawab yang diembannya, sehingga tidak sembarang memutuskan. Pada titik
ini, walaupun tidak merinci lebih jauh, Idham menganggap penting arti dan
kedudukan seorang pemimpin. Idham menegaskan arti tanggung jawab bagi seorang
pemimpin dengan mengutip sebuah hadits yang sangat terkenal :
كلكم راع و
كلكم مسئول عن رعيته. فالامام راع وهو مسئول عن رعيته[34]
Hal-hal yang telah dibahas di atas, yakni bermusyawarah
dengan para ahli, tidak semata-mata mengandalkan suara terbanyak dalam
mengambil keputusan, dan pentingnya kesadaran akan tanggung jawab bagi seorang
pemimpin dan anggota permusyawaratan adalah pokok-pokok pikiran Idham tentang syura.
Syura yang menurut Idham merupakan bentuk demokrasi di dalam Islam.
Idham berkesimpulan bahwa demokrasi dalam Islam sangat
berbeda dengan demokrasi liberal Barat (menunjuk pada sistem Parlementer)
…yang
memakai de helft plus een altijd gelijk (separuh lebih satu, harus
selalu benar). Demokrasi Islam juga bukan demokrasi pura-pura (schijn
democratie) dimana seorang diktator telah memutuskan sesuatu sebelum
musyawarah. Musyawarah yang berlangsung kemudian tidak lebih sebagai formalitas
untuk melegalisir kemauan para diktator saja.[35]
Dengan demikian apa yang hendak dikatakan oleh Idham
sesungguhnya adalah bahwa jika yang dikritisi oleh Demokrasi Terpimpin dari
sistem liberal adalah pentingnya suara mayoritas, maka Islam melakukan hal yang
sama. Islam tidak pernah mengajarkan mengambil keputusan semata-mata karena
banyaknya dukungan. Begitu pula, jika yang diandaikan oleh Demokrasi Terpimpin
adalah suasana yang menghargai pendapat minoritas, musyawarah mufakat yang
menghasilkan keharmonisan tanpa mengadu perlu suara, bukannya perpecahan
sebagaimana yang menjadi efek samping sistem liberal, maka Islam pun
mengajarkan hal yang sama. Oleh karena itu, Demokrasi Terpimpin sesungguhnya
sejalan dengan syura dalam Islam.
Tetapi, Idham tidak berhenti sampai di sini saja. Ia juga
mewaspadai bahaya kediktatoran seorang pemimpin. Kediktatoran yang telah
tercium sejak Soekarno mengkampanyekan gagasannya. Bagi Idham, seorang pemimpin
tak boleh hanya mengandalkan kekuasaannya. Ia mesti mendengar dan
sungguh-sungguh menghargai pendapat orang. Demokrasi terpimpin dalam Islam
menurut Idham “bukanlah terpimpin oleh kemauan seseorang, bukan oleh nafsu
berkuasa manusia, dan bukan oleh sembojan2 kosong, tetapi terpimpin oleh haq
dan ahlinya.”[36]
Akhirnya, Demokrasi Terpimpin bisa sesuai dengan Islam
apabila ada dua unsur yang saling melengkapi, saling mengisi dan saling
mengawasi. Kedua unsur tersebut adalah: unsur musyawarah yang menghargai
pimpinan dan unsur pimpinan yang menghargai musyawarah, atau dengan kata lain
“sang pemimpin yang menghargai hikmat kebijaksanaan musyawarah dan ahli
musyawarah yang menyadari dan menghargai leiderschap seorang pemimpin.”[37]
[1]
Dikutip dari Idham Chalid, Islam dan Demokrasi Terpimpin (Jakarta:
Madjalah Sepekan Api Islam, 1965), hlm. 38.
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lambang Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1978). Dikutip dari Abdurrachman
Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia
Modern (Jakarta: Sinar Harapan, 1986), hlm.9 . Abdurrachman Surjomiharjdo
juga merupakan salah satu anggota panitia pengumpulan karya-karya Ki Hadjar
Dewantara.
[3] Ki
Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama : Pandidikan,
cet. II (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), hlm. 75.
[4]
Abdurrachman Surjomihardjo, Ki Hadjar Dewantara, hlm. 29.
[5] Ibid.,
hlm. 30. Seorang penulis mengkritik
konsep Ki Hajar Dewantara ini sebagai “domestikasi” gagasan demokrasi
sebagaimana yang dikembangkan kaum tradisionalis Jawa. Padahal sebelumnya,
bersama dengan Tjipto Mangunkusumo ia adalah sedikit dari elit pergerakan asal
Jawa yang sungguh-sungguh berbicara tentang demokrasi dengan nilai-nilainya
yang universal. Lih. Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia, Gagasan dan
Pengalaman (Jakarta: LP3ES, 1995), hlm. 107-109.
[6]
Sebuah perkembangan lebih lanjut dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang
demokrasi tercermin dalam karyanya kemudian berjudul “Demokrasi dan
Leiderschap”. Karya ini merupakan tanggapan atas sistem Demokrasi Terpimpinnya
Soekarno. Diterbitkan Majelis Luhur Taman Siswa pada tahun 1959.
[7]
John D. Legge, Soekarno, Sebuah Biografi Politik (Jakarta: Sinar
Harapan, tt), hlm. 321-323.
[8]
John D. Legge, Soekarno, hlm. 325.
[9] Ibid.,
hlm. 326.
[10]
Dikutip dari Idham Chalid, Islam, hlm. 37.
[11]
John D. Legge, Soekarno, hlm. 327.
[12]
Idham Chalid, Islam, hlm. 32.
[13] The New Encyclopedia Britanica, vol.
4, Micropedia, Ready Reference, Encyclopedia Britania Inc. (Chicago:
University of Chicago Press, 1998), hlm. 5. Dikutip dari Masykuri Abdillah, Demokrasi
di Persimpangan Makna, Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep
Demokrasi (1966-1993), hlm. 71.
[14]
Idham Chalid, Islam, hlm.32
[15] Ibid.,
hlm. 33.
[16] Ibid.
[17]
Gaya pemaparan seperti ini sangat-lah khas Idham. Pemaparan yang diselingi
kisah yang diambil dari sejarah Islam. Dengan menggunakan metode ini, konsep
yang rumit dianggap lebih mudah untuk dipahami, dan disisi lain menunjukkan bahwa Idham sangat
menguasai pengetahuan keagamaan. Lih. Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama,
Sejarah NU 1952-1967, hlm. 231 dan wawancara dengan H. Syafriansyah, 21 November 2004 di Banjarmasin. Tentang
Syafriansyah telah diterangkan di bab II, catatan no. 65.
[19] Ali Imra>n (3) : 159.
[20]
Idham Chalid, Islam, hlm. 40
[21] Ibid.,
hlm. 41
[22] Ibid.,
hm. 42
[23] Ibid.,
hlm. 44. Idham menyebutkan sumber kutipan sebagai berikut: (Tafsir al
Alusi, juz IV) tanpa menyebut halaman.
[24] Ibid.,
hlm. 45.
[25] Ibid.
[26] Ibid.,
hlm. 47.
[27] Ibid.,
hlm. 49.
[28] Tahki>m sering
dipadankan dengan arbitrasi, atau
penunjukan seorang penengah yang disepakati bersama untuk menyelesaikan suatu
masalah. Lih. Hans Wehr, A Dictionary
of Modern written Arabic, Arabic-English, cet. III, kerjasama antara
(Beirut: Librairie du Liban, dan London: MacDonald & Evans Ltd, 1980), hlm.
197. Dalam kasus perang Shiffi>n kelompok Ali menunjuk Abu
Musa Al Asy’ary, sementara kelompok Mua’wiyah mendelegasikan ‘Amr bin al
‘Ash..
[29]
Idham Chalid, Islam, hlm. 50.
[30] Ibid.,
hlm. 51.
[31]
Idham Chalid, Islam, hlm. 59. Idham tidak menyebutkan sumbernya.
Penyusun menemukan hadist tersebut dengan redaksi yang agak berbeda dalam Al Mazzi Abu al Hajj<aj,
Tahdzi>b al
Kama>l, Juz. 21 ( Libanon: Da>r
el Fikr, tt), hlm. 117. Selengkapnya berbunyi :
عن
أنس بن مالك، قال: سمعتُ رسول الله يقول: «إنَّ أُمتـي لا تَـجتـمع علـى ضَلالة،
فإذا رأيتُـم الاختلاف فعلـيكم بـالسَّواد الأعظم الـحق وأهله»
(أخرجهُ من حديث الولـيد
بن مُسلـم عن معاذ بن رفـاعة)
[32] Lafdz
al ‘A<mm
di sini bermakna suatu pedoman umum, sementara takhsi>s berarti spesifikasi atas
pedoman yang berlaku umum tersebut. Al ‘A<mm, al Kha>sh atau Takhsi>s merupakan
istilah dalam Ushu>l
Fiqh. Lebih lanjut lih. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj.
Moh. Zuhri dan Ahmad Qorib ( Semarang: Dina Utama, 1994), terutama kaidah
keenam dan ketujuh, hlm. 278-308.
[34]
Idham Chalid, Islam, hlm. 60. Penyusun menemukan hadits dengan redaksi
yang sama dalam Ibnu
Hibba>n, Shahih Ibnu Hibba>n,
Juz. 4 (Lebanon : Da>r
el Fikr, tt), hlm. 261.
[35]
Idham Chalid, Islam, hlm. 57.
[36] Ibid.,
hlm. 59.
[37] Ibid.,
hlm. 58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar